Haloooo, readers. Kali ini saya kembali dengan novel terbaru saya dengan judul Tertinggal Waktu. Tertinggal Waktu adalah novel kedua saya, setelah sebelumnya melakukan debut di dunia literasi dengan novel perdana yang berjudul Simfoni Cinta ^^ Masih sama seperti sebelumnya, novel ini mengangkat kisah remaja yang masih unyu-unyu (kayak penulisnya haha). Nah, daripada penasaran. Yuk, kita simak sekilas tentang Tertinggal Waktu.

Penulis: Khairani Ali
Tebal: 163 halaman
Cetakan: 10 Juni 2015
Penerbit: Elex Media Komputindo
Harga: Rp. 34.800
Label: Teen Spirit
***
Rin berkejaran dengan waktu. Semua orang tahu itu.
Tapi, Rin tidak mau dianggap berbeda. Meski waktunya tak lagi sama.
Rin bergegas meraih mimpi. Meski waktu yang dia punya bisa jadi membatasi.
Menjadi seseorang yang berprestasi dan bisa membanggakan manusia di sekitarnya lewat hal yang dia suka: bola voli.
Di sebuah pertandingan, Rin mempertaruhkan waktu juga rasa cemas orang-orang yang dia sayang.
Bagaimana Rin mengejar mimpi saat waktu mengejar - bahkan menyalipnya?
"Bicara soal impian, kayaknya kita harus berkaca kepada Rin nih! Lewat Tertinggal Waktu, Khairani sukses meracuni saya dengan kegigihan Rin menggapai mimpinya. Cara bertuturnya sangat remaja. Two thumbs up!"
- Dita Safitri, penulis novel Grown, Perempuan Langit, dan Sirius' Secret
---------------------------------------------------
Satu
Udara siang itu terasa sejuk. Matahari
tidak bersinar terik walau langit tidak menandakan hujan akan menyapa bumi
Tuhan. Rin berjalan pelan ke ruang ganti setelah ia membantu pelatihnya di
lapangan voli yang terletak di belakang sekolah. Ia menyeret tas jaring berisi
beberapa bola voli yang harus ia masukkan ke gudang sekolahnya. Setiap kali
selesai dengan jadwal latihan, wajahnya pasti berubah riang walau ia seringkali
hanya duduk di bangku cadangan. Lagi-lagi menjadi cadangan.
Langkah Rin mendadak terhenti ketika
mendengar sebuah suara yang meronta kesakitan dari arah toilet pria. Walau agak
ragu, Rin tetap melangkahkan kakinya ke sumber suara. Ia bersembunyi di balik
sebuah tiang untuk memastikan apa yang ingin diketahuinya. Alangkah terkejutnya
ia ketika menyaksikan seorang pemuda tengah memukuli Doni, anak kelas sebelah
hingga berdarah-darah. Pemuda itu melayangkan pukulan di pipi Doni hingga
berubah merah. Selanjutnya ia mendaratkan pukulannya pada rusuk Doni yang
membuatnya mengerang tak terperihkan.
“Ya Tuhan.” Rin membekap mulutnya agar
keterkejutannya tidak disadari oleh pemuda yang memukul Doni itu.
Rin bergidik ngeri di tempatnya berdiri.
Apa yang harus ia lakukan sekarang? Gadis itu mengedarkan pandangannya. Sama
sekali tidak ada guru di sekitarnya. Sekolahnya telah lama sepi. Ia bisa saja
lari ke satpam dan minta tolong. Atau harusnya ia sendiri yang turun tangan
untuk menengahi? Tapi ini kan bukan urusannya.
Doni terlihat tak berdaya sama sekali.
Perkelahian itu diakhiri dengan sebuah tendangan pada ember bekas kain pel yang
berada tidak jauh dari pemuda itu. Sialnya, ember itu melayang ke tempat Rin
berdiri dan menyebabkan sebagian tubuhnya dibasahi oleh air kotor. Seragam
kebanggaannya pun dipenuhi bercak tanah. Dalam hati, Rin sama sekali tidak
terima tapi ia juga tidak memiliki cukup keberanian untuk melakukan aksi protes
pada pemuda kurang ajar yang membuat seragam kebanggaannya kotor.
Rin meniupi poninya yang basah dengan
kesal, poninya tidak bergerak sama sekali karena basah. Matanya menatap sengit
pada pemuda yang membuatnya kuyup seperti sekarang ini. Tatapan mereka sempat
bertemu di udara, Rin bisa melihat aura kebencian pada kedua bola mata yang
menatap tajam ke arahnya. Rin berjanji dalam hati untuk tidak berurusan lagi
dengan pemuda kasar itu. Tidak untuk yang kedua kalinya.
Saat pemuda itu bersiap meninggalkan
Doni, Rin buru-buru pergi. Ia baru sadar kalau ada seorang gadis yang berdiri
tidak jauh darinya yang turut menyaksikan perkelahian tak imbang itu dengan
tatapan ngeri yang sama dengannya tadi. Gadis itu bernama Shilka, salah satu
siswi kebanggaan sekolahnya. Tapi Rin tidak mau terlibat lebih lama lagi, ia
memilih meninggalkan tempat tersebut dalam diam.
Sialan!
Dasar cowok brutal! Umpat Rin dalam
hati.
Dua
“Snowy… jangan lari-lari!”
Rio mengejar Rin yang berlari-lari kecil di depannya.
Tapi Rin tetap saja berlari dan cenderung mempercepat larinya. Ulah Rin tersebut secara
otomatis membuat teriakan Rio juga makin keras, dan Rin selalu cekikikan tiap
kali mendengar omelan Rio. Ia sangat suka melihat wajah Rio yang memerah saat
mengomel.
Teriakan Rio
ini
sudah akrab di telinga Rin, bisa dibilang ia sudah sangat hafal dengan setiap
teguran-teguran dari Rio bahkan sebelum Rio sempat mengucapkannya.
Bau
khas tanah basah sehabis hujan pagi itu mengiringi langkah Rin dan Rio yang
memasuki gerbang sekolah. Sejauh mata memandang, sudah banyak siswa berseragam
putih hijau ---seragam khas SMA Cattleya--- yang menghiasi
sekolah di jam-jam segini.
SMA Cattleya adalah salah satu sekolah
swasta ternama yang terletak di jantung kota Makassar. Bangunannya yang
berlantai lima tampak begitu megah dengan pilar-pilar besar yang menopangnya.
Warna hijau muda yang dipadu dengan warna putih mendominasi di seluruh penjuru
arah.
“Pagi,
Rin,” sapa salah seorang siswa saat
Rin berlalu di dekatnya.
“Pagi…”
Dengan
senyum yang lebar di bibir mungilnya yang merah, Rin selalu membalas sapaan tiap
orang yang meyapanya, tidak jarang ia yang lebih dulu meyapa. Pembawaannya yang riang
dan sangat ceria membuat Rin memiliki banyak kenalan, tidak heran jika tiap pagi ia
harus mempersiapkan senyuman menawan bagi setiap orang yang menyapanya.
Senyumnya makin lebar ketika mengetahui
Rio tertinggal jauh di belakang akibat ditahan oleh teman-temannya dari kelas
sebelah.
“Kok senyum-senyum gitu, Rin?” tegur Linka pada
Rin.
“Rio ngomel mulu dari tadi pagi,” jawab Rin dengan polos saat menyimpan tas di
bangkunya.
Belum sempat melanjutkan obrolan, mereka
berdua sudah dibuat bingung dengan siswa-siswa di luar kelas yang mendadak
berlarian ke arah lapangan. Rin dan Linka tidak tinggal diam, mereka ikut
bergabung dalam kumpulan tersebut.
“Ada apa?” tanya Rin bingung. Linka yang
sudah sampai lebih dulu di tempat kejadian langsung mengetahui alasan mengapa
para penghuni Cattleya berkumpul di sekitaran lapangan.
“Biasa, Rin. Arga berulah lagi.” Linka
memanjangkan leher agar bisa melihat lebih jelas apa yang terjadi di lapangan.
Mendengar nama Arga disebut, Rin
langsung teringat pada kejadian yang menimpanya minggu lalu. Pemuda kasar itu
rupanya kembali berulah dengan tingkah brutalnya.
Di tengah lapangan, tampak seorang
pemuda seumuran Rin dan Linka yang sedang mencengkram kerah baju salah seorang
siswa yang diketahui adalah adik kelas, hanya karena adik kelas itu tidak sengaja
menumpahkan jus jeruk di sepatu Arga. Arga Fakhriza Fahri, murid dengan
ketampanan di atas kadar normal yang terlahir dengan gen yang nyaris sempurna,
tubuh yang tinggi, gigi putih yang tersusun rapi, rahang yang tegas, dan
sepasang bola mata berwarna caramel.
Namun tindakannya selalu dipenuhi unsur kriminal. Bukan penghuni Cattleya
namanya kalau tidak tahu bagaimana sikap brutal seorang Arga. Intinya, jangan
coba-coba mencari gara-gara pada pemuda tampan itu.
“Ke kelas yuk, Lin.” Tanpa menunggu
persetujuan Linka, Rin menarik paksa lengan teman sekelasnya itu.
“Aku masih pengin liat kelanjutannya,
Rin,” rengek Linka dalam perjalanan ke kelas.
“Nggak usah dilihat, kita udah tahu
gimana kelanjutannya. Adik kelas itu pasti babak belur. Gitu aja,” jelas Rin
tanpa melepaskan genggaman tangannya di lengan Linka.
“Ngomong-ngomong, Arga itu keren ya,
Rin.”
Rin langsung menghentikan langkah ketika
mendengar kalimat singkat Linka. Rasa dan logikanya sama sekali tidak bisa
menerima pernyataan Linka barusan.
“Keren? Keren apanya, Lin? Brutal kayak
preman gitu dibilang keren?” protes Rin.
Yang diprotes malah menyedekapkan kedua
tangannya di dada dengan mata berbinar. “Jelas keren, Rin. Aku enggak tahu
gimana harus ngejelasinnya ke kamu. Walaupun brutal, tapi Arga itu punya
karisma yang bisa ngebuat para cewek Cattleya klepek-klepek.”
“Termasuk kamu?” tanya Rin tidak
percaya.
Linka mengangguk mantap.
“Sayangnya aku masih normal untuk bisa
mengidolakan cowok macam itu,” kata Rin. Namun Linka tidak lagi menanggapi, ia
masih larut dalam keterpesonaannya pada sosok Arga.
“Lho, Rio mana? Bukannya tiap pagi kalian barengan?” tanya
Linka lagi.
“Ada
kok, bentar lagi juga muncul.”
Tepat
saat Rin menyelesaikan kalimatnya, Rio muncul di depan pintu dengan pipi yang
dikembungkan. Hidungnya yang mancung
terlihat tenggelam akibat pipinya yang menggembung. Kedua alisnya yang tampak
bagai barisan semut hitam terangkat pertanda ia sedang kesal. Rio memang cukup
tampan, tapi Rin lebih suka melihat ekspresi Rio yang seperti ini.
Rin
langsung memasang wajah innocent andalannya.
“Kamu ke mana aja, Snowy?
Aku cariin di kelas enggak ada. Di kantin juga enggak ada. Makanya kalau
dibilangin jangan lari-lari ya diturutin!”
Rin
masih dengan wajah innocent-nya. Rio menarik napas panjang lalu
berjalan menuju bangkunya yang terletak di baris sebelah Rin. Rin lalu duduk di sebelah Rio, bangku di sebelah Rio
masih kosong karena Roan belum menampakkan
batang hidung sejak dua hari yang lalu. Entah ke mana dia, tidak ada kabar sedikit pun.
“Ngambek nih ceritanya?” goda Rin pada
Rio yang masih tampak kesal karena tadi sempat kehilangan jejak Rin.
Rio
menoleh sebentar, lalu menarik napas panjang lagi.
Rio
menarik hidung Rin, dan sukses membuat cewek itu meringis. “Mana mungkin bisa
marah sama kamu, Snowy?”
Snowy adalah panggilan Rio pada Rin. Sudah delapan tahun
panggilan itu melekat padanya. Snowy adalah
nama yang diberikan pada Rin karena kulit Rin yang memang terlihat seperti
salju di saat winter. Dengan tubuhnya yang sedikit mungil, Rin selalu
tampak menggemaskan dengan tingkah imutnya. Paras Rin memang tidak bisa
dibandingkan dengan Selena Gomez, Perrie Edwards, atau Taeyeon ‘Girl’s
Geeneration’ tapi ada sesuatu dalam diri Rin yang membuat orang-orang betah
melihat wajahnya lebih lama. Apalagi ketika semburat jingga di pipinya muncul
saat ia tertawa, hal itulah yang menjadi salah satu daya tariknya.
“Rio, sarapan di kantin yuk!” Rin mengambil sekotak tisu dari tasnya kemudian
mengelap tangannya yang rasanya selalu saja berkeringat, bahkan di hari dingin
seperti ini.
“Nggak perlu beli sarapan.” Rio dengan
tersenyum mengeluarkan kotak bekal Rin yang ia simpan di laci mejanya. Kotak
bekal itu berisi roti gandum yang diolesi selai nanas kesukaan Rin.
“Aduh, Rio. Kamu ini, deh. Aku kan nggak
minta dibuatin sarapan.”
“Eh, kalau buat kamu. Aku sih merasa
nggak keberatan.”
****
Setelah bel pulang berbunyi dengan
sangat nyaring, Rin bergegas berlari ke ruang ganti untuk mengganti seragam
sekolahnya menjadi seragam latihan untuk berlatih voli di lapangan belakang
sekolah. Ia buru-buru kabur karena takutnya Rio akan kembali menghentikan
aksinya. Ya, Rin tahu kalau Rio bermaksud baik untuk melindunginya dari segala
macam hal yang bisa membahayakan dirinya, tapi Rin juga tidak ingin tinggal diam
dengan hanya melihat mimpinya untuk berlaga di Proliga terkubur dalam-dalam.
Olahraga voli adalah salah satu
kecintaan Rin. Menurutnya, voli bisa
membuatnya jauh lebih hidup dibanding hanya berdiam diri hingga saat terakhir
itu menyapanya.
“Snowy,” panggil Rio lembut.
Rin
yang saat itu tidak menyadari kehadiran Rio cukup kaget ketika mendengar suara
yang akrab di telinganya itu memanggil namanya. Rin menoleh sebentar,
didapatinya Rio tengah berdiri sambil menyandarkan tubuh di tembok depan ruang
ganti.
“Eh?
Sejak kapan kamu ada di sini?” tanya Rin heran. Tadinya ia yakin kalau Rio
tidak melihatnya saat kabur kemari.
“Sejak
kamu mengendap-endap keluar kelas.”
Rin
menepuk jidatnya. Ternyata ia kalah langkah dari Rio. Saat Rio tidak ada di
kelas tadi, Rin mengira kalau Rio sedang ke kantin, ternyata Rio sudah berdiri
manis sambil mengawasinya sejak tadi.
“Snowy, kamu enggak usah ikut latihan voli
lagi,” ucap Rio.
“Tapi
kamu kan tahu kalau voli adalah hal yang membuatku lebih hidup. Berlaga di
Proliga adalah impianku.”
“Ya,
tapi kesehatanmu …”
“Aku
baik-baik saja, Yo. Lihat aku nggak pingsan. Aku masih bisa bernapas.”
“Tapi
…” Rio masih berusaha mencegah berharap Rin mau mengerti alasan mengapa ia
bersikeras melarangnya.
Rin
tersenyum, ada sedih dalam sorot matanya. “Apa karena aku penderita Congenital Heart Disease? Apa karena
jantungku berlubang? Apa karena aku tidak sama denganmu?”
Mata
Rio membulat, pembicaraan ini sangat sensitif untuknya. “Bukan itu maksudku.”
Rin
menepuk pundak Rio. “Jangan perlakukan aku istimewa, Yo. Aku merasa tidak
nyaman. Selama udara masih mengisi rongga di dadaku, aku akan berjuang agar
kehadiranku diakui karena bakat dan prestasiku, bukan karena penyakitku. Aku
nggak akan tinggal diam.”
“Rin,”
panggil Rio lagi. Masih berusaha membujuk gadis itu agar mengurungkan niatnya.
“Kamu
cuma harus percaya aku, Yo. Aku kan udah gede. Aku tahu pilihanku.”
Sebelum
pergi, Rin tersenyum pada Rio. Senyuman maut yang membuat Rio tidak bisa
berkata apa-apa lagi untuk melarang gadis itu. Pada akhirnya, ia hanya akan
larut dalam kekhawatirannya sendiri sambil menatap was-was dari pinggir
lapangan.
*****
Senyuman Rin otomatis mengembang ketika
melihat tumpukan bola voli dan net yang sudah terpasang di tengah lapangan. Rin
menjadi anggota tim pertama yang hadir, selalu seperti ini setiap pertemuannya.
Tekadnya untuk menjadi atlet voli lebih kuat dari baja, dan hal itu sangat
disadari oleh sang pelatih yang melihat kesungguhan tersebut.
“Selamat siang, Pak,” sapa Rin pada Pak
Muhtar, pelatih voli sekaligus guru olahraganya.
“Selamat siang, Rin.”
Pak Muhtar memandangi Rin yang tampak
asyik menyusun bola voli ke dalam keranjang. Hatinya terenyuh menatapi gadis
yang selalu menyapanya dengan riang itu ternyata menanggung beban yang sangat
berat. Entah bagaimana caranya gadis itu masih bisa tersenyum lebar di saat
orang-orang yang bernasib sama dengannya malah meratapi nasib.
Pertama kali Pak Muhtar mengenal Rin
adalah di saat dilakukannya seleksi untuk mencari anggota tim voli putri
sekolah sekitar setahun yang lalu. Saat itu, Pak Muhtar dibuat terkagum-kagum
dengan bakat Rin dalam melakukan spike dan
service. Rin bahkan menguasai
berbagai macam teknik service mulai
dari tennis service, floating service, dan cekis. Bukan hanya bakat, anak itu
memiliki minat. Dan hal itu menambah keyakinan Pak Muhtar kalau gadis itu bisa
menjadi atlet handal, bukan hanya membela sekolah tapi bisa membawa nama
negara. Namun, keyakinan itu perlahan dihancurkan oleh sebuah kenyataan, kenyataan
mengenai waktu yang dimiliki Rin, waktu yang tidak sama seperti yang dimiliki
para pemain lain di timnya.
Tidak beberapa lama setelah kehadiran
Pak Muhtar, para pemain yang tergabung dalam tim sekolah mulai berdatangan.
Setelah semuanya lengkap, pelatih pun meminta mereka untuk melakukan pemanasan.
“Pak, aku gimana?” tanya Rin saat Pak
Muhtar malah menahannya ketika hendak berlari untuk bergabung dengan para
pemain lainnya.
“Kamu enggak usah pemanasan. Bantuin
Bapak absenin teman-teman kamu dulu,” jawab Pak Muhtar sambil menyodorkan
beberapa kertas.
Rin menghentakkan kaki sambil meniupi
poninya dengan kesal. Lagi-lagi diminta untuk melakukan hal yang sama setiap
kali pemanasan dimulai. Sedangkan, di tengah lapangan Pak Muhtar telah membagi
para pemain menjadi dua kelompok yang masing-masing terdiri dari enam orang.
Jadwal mereka hari ini adalah latih tanding.
“Pak, aku masuk tim yang mana?” teriak
Rin dari sisi lapangan.
“Kamu selesaikan dulu tugas yang Bapak
berikan tadi.”
“Udah, Pak,” teriak Rin mantap.
Pak Muhtar tampak berpikir sejenak,
kemudian melambaikan tangan pada Rin sebagai tanda kalau Rin juga harus segera
ke lapangan. Melihat hal tersebut, wajah Rin berubah sumringah. Akhirnya …
“Nah, kamu bantuin Bapak untuk jadi
wasit pertandingan mereka, ya.”
Lagi-lagi Rin menghentakkan kaki sambil
meniupi poninya. Kemudian mendengus kesal sebagai aksi protes pada pelatihnya.
“Pak, aku ini kepingin berlaga di Proliga. Jadi atlet, bukan jadi wasitnya.”
“Kamu belajar jadi wasit dulu aja. Wasit
juga sangat berguna di Proliga,” bujuk Pak Muhtar yang membuat Rin akhirnya
menurut.
“Kenapa sih aku diperlakukan berbeda,
Pak? Aku memang tidak sama dengan mereka kalau Bapak melihat dari segi
kesehatan. Tapi, aku bisa lebih baik dari mereka kalau Bapak mau memberikan
kesempatan untuk memperlihatkan kemampuanku.” Rin mengambil peluit dari tangan
pelatihnya ogah-ogahan. Ia terlihat tidak ikhlas.
Pak Muhtar tersenyum bijak. “Tidak ada
alasan lain. Bapak memang sedang membutuhkan wasit saat ini.”
“Aku akan membuktikan kalau aku bisa
bermain voli lebih baik dari tim inti,” ucap Rin pada dirinya sendiri sebelum
melaksanakan tugas yang diberikan oleh pelatihnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar