Translate

Search

Kamis, 05 November 2015

B R E A T H

Ada yang pernah dengar kisah tentang Cinderella? Ah, saya rasa hampir setiap orang pernah mendengarnya. Nah, naskah yang saya garap saat ini berhubungan dengan kisah Cinderella yang sebelumnya saya tanyakan. Seperti kisah asli Cinderella, seperti itulah ide dasar dari naskah ini. Tapi, jangan bayangkan kalau kisahnya akan semanis kisah Cinderella yang pernah kalian baca atau dengarkan.

Cinderella dalam naskah ini bernama Calista, seorang yatim piatu yang kehilangan segalanya setelah orangtuanya meninggal. Ia terpuruk seorang diri tanpa siapa pun, benar-benar sebatang kara. Ia bertemu untuk pertama kali dengan pangerannya saat pemakaman kedua orangtuanya. Arka, seorang pemuda dari kerajaan bisnis ternama menjadi seseorang yang menyodorkan bahu saat Calista benar-benar terpuruk oleh kejamnya kenyataan, saat ayah Calista menghembuskan napas terakhir akibat kecelakaan, saat ibunya bunuh diri tanpa ia ketahui alasannya dan saat semua harta peninggalan orangtuanya disita hingga tak bersisa. Tapi siapa yang menyangka kalau pangeran yang dari luar tampak begitu sempurna ternyata juga menyimpan sebuah rahasia yang begitu menyakitkan. Kisah Calista sebagai seorang Cinderella modern tidak semulus dongeng Cinderella dahulu kala, begitu pun dengan sang pangeran.

Yuk, kita simak cuplikannya :)


Satu


“Persiapkan semuanya dengan baik dan berikan pelayanan maksimal kalian.”
Seiring dengan kalimat perintah tersebut, para karyawan toko buku yang tadinya hanya berdiri bengong mendengar ceramah panjang dari pria paruh baya bertubuh subur itu kini bergegas mengerjakan tugas masing-masing, semua tugas harus sempurna tak boleh ada kekurangan sedikit pun. Atau omelan yang jauh lebih panjang dan berbelit-belit menantimu di ruangannya.
Beberapa menit setelah kalimat perintah tersebut dilontarkan, toko buku yang tadinya cukup ramai oleh pengunjung kini menjadi sunyi senyap dan menyisakan para karyawan dan supervisornya yang bertubuh subur yang masih sibuk mengomel. Tidak beberapa lama setelah toko buku dikosongkan, rombongan berseragam hitam memasuki ruangan kemudian berpencar ke segala arah, berjaga-jaga.
“Selamat datang, Tuan,” sambut pria bertubuh subur yang mendadak ramah dengan senyum yang terlihat dibuat-buat. Mencari muka.
Seorang pemuda berumur sekitar dua puluh empat tahun yang mengenakan setelan jas lengkap dengan dasi berwarna merah menganggukkan kepala pada pria bertubuh subur yang menyapanya tadi. Dari tampilannya saja, si pemuda tampak bukan dari kalangan biasa. Semua yang melekat di tubuhnya terlihat mewah dan berharga, bahkan wangi tubuhnya bisa tercium dari jarak yang cukup jauh. Wajahnya nyaris sempurna yang didukung dengan tubuhnya yang tinggi. Ia memiliki mata berwarna caramel yang sangat menawan, kadang-kadang terlihat seperti puppy eyes, mata jernih yang sangat innocent. Eyes smile,  mata yang akan ikut tersenyum ketika ia mengembangkan senyum. Mata tersebut dibingkai oleh alis yang tampak seperti semut hitam yang berjejer, rambut hitamnya tersisir dengan rapi. Ia tampak bak patung dewa bahkan saat ia sedang terdiam.
Tatapan si pemuda menyapu ke segala arah, dan yang disaksikannya hanyalah para karyawan yang sejak tadi meundukkan kepala dan tak ada yang berani menatapnya.
“Senang sekali rasanya Tuan bisa berkunjung kemari,” ucap pria bertubuh subur itu lagi untuk memecah keheningan yang tercipta. Si pemuda mengacuhkan kalimat yang didengarnya, ia masih sibuk menyapu ruangan dengan tatapannya. Kemudian sebuah senyum simpul terukir di wajahnya ketika tatapnya menemukan apa yang menjadi alasan kedatangannya.
“Lalu … apa gerangan yang membuat Tuan sampai datang kemari sendiri? Apakah ada yang bisa saya bantu?”
Pemuda itu tersenyum pada pria bertubuh subur di sebelahnya yang tidak berhenti mengoceh. “Pak Suryo, apa salah kalau saya kemari untuk membeli buku?” tanyanya sambil tersenyum. Senyum yang sangat manis.
Pria bernama Suryo itu terlihat terkejut dengan jawaban dari sang pemuda. “Tentu tidak, Tuan. Bukan itu maksud saya. Maksud saya, Tuan bisa menghubungi saya untuk membawakan buku yang Tuan butuhkan,” ralatnya buru-buru.
Sang pemuda kembali melempar senyum. “Saya ingin mencari beberapa buku.”
“Buku apa yang Tuan cari? Tentu akan saya bantu semampu saya.” Pak Suryo kemudian mencoba tersenyum ceria walau hasilnya tentu saja gagal mengingat pribadinya yang tidak ramah itu mendominasi raut wajahnya.
“Tidak perlu repot-repot, Pak. Saya bisa mencari sendiri apa yang saya butuhkan,” katanya sambil menepuk pundak pak Suryo.
Kemudian pandangan pemuda itu kembali tertuju pada alasan keberadaannya di sini, pada seorang gadis cantik berambut panjang dengan mata bulat dan bibir tipis yang berdiri tidak jauh dari tempatnya berdiri sekarang. Ia melangkahkan kaki dengan mantap dan memandangi si gadis dengan tatapan yang kuat, gadis itu balas menatap tanpa takut.
“Siapa namamu?” tanya pemuda itu ketika ia berdiri di depan sang gadis.
“Calista,” jawab gadis tersebut. Masih menatap sengit ke pemuda yang berada di hadapannya.
“Calista, bisa kau tunjukkan di mana letak buku-buku tentang bisnis di toko ini?”
Calista mengangguk. “Silakan ikut saya.”
Pemuda tersebut mengekor di belakang Calista tanpa pengawalan. Mereka menuju rak buku yang berada di sudut ruang, sudut yang paling sunyi dan sulit dijangkau oleh pandangan karyawan lainnya yang tentu tak berani bergerak dari tempatnya.
Tepat di saat mereka berada di sudut ruang yang diapit oleh rak-rak yang tinggi, pemuda tersebut menarik lengan Calista yang berjalan mendahuluinya.
“Ngapain ke sini sih, Ka?” bisik Calista. Ia berusaha agar suaranya tak terdengar oleh siapa pun kecuali Arka. Kepalanya lalu bergerak ke kanan kiri untuk membaca kondisi.
Arka menyandarkan tubuhnya pada salah satu rak, tangannya masih menggenggam lengan Calista. Sebuah senyum yang teramat sangat manis terlukis di wajahnya, senyum yang hanya ia tujukan hanya untuk gadis cantik di hadapannya.
Miss you to the highest level, dear,” ucapnya tulus. “Tidak melihatmu selama beberapa hari benar-benar membuatku gila.”
Calista terdiam sejenak, ia menatap pemuda di hadapannya. Arkadean Al Farizi, pemuda yang baru saja mengucap kalimat rindu padanya adalah seorang putra mahkota dari kerajaan bisnis ternama, Farizi Corp. Farizi Corp adalah perusahaan dengan jaringan usaha yang menjelma bak gurita raksasa yang menancapkan lengannya di berbagai bidang bisnis, mulai dari bidang keuangan, finansial, multimedia, properti hingga investasi. Perusahaan yang berkembang pesat bak bola salju yang menggelinding, tak terhentikan. Bahkan toko buku tempat Calista bekerja berada di dalam sebuah mall milik Farizi Corp.
Calista menghembuskan napas pelan. “Tapi… aku kan lagi kerja, Ka. Kedatanganmu malah membuat kehebohan dan pengunjung dengan berat hati harus meninggalkan toko. Apa itu tidak terlalu berlebihan?” protes Calista dengan suara seadanya.
Lagi-lagi Arka tersenyum hangat. “Inilah konsekuensi karena tidak mengangkat teleponku sejak tadi. Jadi, dari bandara aku langsung kemari.”
Calista meringis, benar-benar mati akal menghadapi kekasihnya ini. “Bagaimana kalau ada yang melihat kita di sini? Apa kau tidak takut hah?”
Arka menggeleng. “Tidak akan ada yang tahu. Mereka semua terpaku di tempatnya saat ini.”
“Kalau begitu cepatlah pergi sebelum kita benar-benar ketahuan oleh mereka.”
Arka mendesah. “Masih kangen.”
Giliran Calista yang menarik napas dalam-dalam. “Sayang, aku harus kerja,” bujuknya.
Arka terlihat kecewa, tatapannya yang sejak tadi tertuju ke Calista kini ke arah yang berbeda. “Baiklah. Sore ini aku ingin kita bertemu setelah magrib di tempat biasa.”
“Jam segitu aku masih kerja, Ka.”
“Tidak apa. Tidak apa.” Arka menganguk-anggukkan kepala. “Biar aku sendiri yang meminta pada pak Suryo supaya dia memberi waktu pada kekasihku ini untuk menemuiku,” ancam Arka.
Calista akhirnya menyerah. “Oke. Oke. Akan kuusahakan menemuimu secepat yang kubisa.” Kemudian Calista memasang wajah innocent yang menjadi kelebihannya, wajah yang membuat Arka akan rela melakukan apa saja yang dimintanya. “Sayang, kau tahu kan kalau aku mencintaimu sebanyak kau mencintaiku. Nah, bisakah sekarang kau pergi membawa para pengawalmu yang menyeramkan itu?”
Arka tertawa kecil dan melepas genggamannya dari Calista. “Baiklah, aku akan pergi sekarang. Tapi kau harus ingat dengan janjimu tadi. Ingat! Ancamanku tidak main-main, sayang.”
Calista mengangguk pasrah.
Love you” ucap Arka sambil mengedipkan mata sebelum meninggalkan Calista yang masih berdiri di tempatnya.
*****
“Hati-hati, Ka. Kabarin kalau udah sampai rumah, ya,” kata Calista ketika menutup pintu mobil.
Arka mengangguk sambil tersenyum. “Kamu juga hati-hati naik tangganya.”
Calista membalas senyuman tersebut kemudian melambaikan tangan lalu membuka pagar rumah sederhana yang disewanya bersama seorang teman. Rumah sederhana berukuran 5 x 5m dengan satu kamar tidur, dapur dan ruang tamu seadanya, sesuai dengan biaya sewanya yang memang tidak telalu mahal. Rumah sederhana yang baru disewanya tiga bulan lalu tepat di saat ia diterima untuk bekerja di sebuah toko buku yang cukup ternama.
“Calistaaaa …”
Suara itu mengisi ruangan tepat di saat Calista membuka pintu rumah. Calista yang sudah terbiasa dengan kondisi itu hanya bisa menutup telinga mendengar suara cempreng teman sekamarnya, Ana. Ana yang sejak tadi menunggu kedatangan Calista sontak berdiri menyambut kedatangan gadis cantik itu untuk mendengarkan kisah cinta yang menurutnya jauh lebih menarik dibanding kisah cinta mana pun di dunia ini.
“Ta, tadi abis kencan, ya? Gimana? Gimana? Kencan dimana? Restoran mewah? Terus ngapain aja?” Calista diberondongi sejuta pertanyaan. “Ta, ayo dijawab.”
Calista menghela napas panjang. Membuka jaketnya kemudian menyandarkan tubuhnya ke sofa di ruang tamu yang berukuran 2 x 2 meter tersebut. “Tanyanya satu-satu, Na. Kan bingung mau jawabnya gimana.”
Ana tersenyum lebar. Pernyataan Calista barusan pertanda rasa penasarannya akan dijawab oleh teman sekamarnya ini. “Kencan di restoran mewah mana, Ta?”
“Cuma di taman depan kompleks kok. Itu pun cuma di dalam mobil sambil nyemil cimol.”
Ana membelalakkan mata tidak percaya. “Serius?”
Calista mengangguk. “Serius. Kami memang selalu bertemu di tempat sunyi macam itu. Berbahaya kalau ada wartawan yang mengetahui hubungan seorang pewaris kerajaan bisnis Farizi Corp dengan karyawan biasa sepertiku. Dunia bisa gempar.”
“Apa kau tahu, Ta? Aku selalu tertarik mendengar kisah cinta kalian.”
“Dan apa kau tahu kalau kau ini terlalu polos?” balas Calista. “Tapi karena itulah aku menyukaimu dan memercayaimu sebagai seorang sahabat walau baru berjumpa tiga bulan yang lalu.”
“Benarkah?” Ana sumringah. “Kuanggap itu sebagai pujian.”
Calista gemas sendiri melihat tingkah Ana yang berada di sebelahnya. Dirangkulnya Ana dengan tangan kanan kemudia mengacak rambut sahabatnya itu hingga tak berbentuk. Gadis berkaca mata dengan rambut sebahu itu pun mencoba meloloskan diri dari rangkulan Calista yang dirasakannya makin kuat.
“Engap tauk, Ta.” Ana akhirnya berhasil meloloskan diri. “Awalnya aku tidak percaya dengan kisah Cinderella. Tapi, sekarang aku benar-benar percaya setelah melihat seorang Cinderella modern di hadapanku ini. Bagaimana bisa kau seberuntung ini?”
“Mungkin di kehidupan sebelumnya aku adalah pahlawan yang menyelamatkan dunia,” canda Calista yang disambut tawa Ana.
“Sudah berapa lama kalian bersama?” tanya Ana di ujung tawanya.
“Empat tahun.”
“Benarkah? Ah, hidupmu benar-benar seperti kisah cinta di drama Korea, Ta.” Ana berbicara pada dirinya sendiri. “Bagaimana kalian bertemu dan akhirnya memutuskan untuk menjalin sebuah hubungan?”
Calista menghela napas panjang kemudian dihembuskannya dengan berat. Sebenarnya dibalik kisah cinta yang begitu menarik bagi Ana terselip luka yang membuatnya merasa sesak setiap kali ia harus mengingatnya. Sebuah luka akan kehilangan orang-orang yang dikasihinya.
“Papaku adalah staf di salah satu anak perusahaan milik keluarga Arka.” Tatapan Calista kosong untuk beberapa saat sebelum melanjutkan. “Kemudian sebuah kecelakaan menimpa papa dan adikku yang akhirnya merenggut nyawa mereka. Di saat pemakaman merekalah aku bertemu Arka untuk pertama kali.”
Ana menggenggam tangan Calista, wajahnya yang tadi ceria berubah iba melihat Calista yang berusaha membendung air mata ketika mengingat luka yang selama ini disimpannya sendiri. “Ta, enggak usah dilanjutin. Maaf karena pertanyaanku malah membuatmu harus mengingat kenangan pahit.”
Calista tersenyum. “Tidak apa. Bukankan tidak ada lagi rahasia di antara kita?”
“Ta …”
“Apa kau mau mendengar kelanjutannya?”
Ana mengangguk.
“Sepeninggal papa, aku dan mama dililit hutang yang tidak sedikit. Ternyata papa dikhianati oleh rekan bisnisnya. Kami harus menjual semua aset yang kami miliki untuk membayar hutang tersebut, mulai dari rumah, tanah, rumah makan kecil-kecilan yang dirintis mama, mobil bahkan asuransi atas meninggalnya papa pun harus kami serahkan.
Tampaknya mama sulit untuk menerima kenyataan itu. Dua bulan kemudian, mama memutuskan untuk bunuh diri. Setelah kepergian mama, aku benar-benar sendiri, sebatang kara. Di pemakaman mama, aku bertemu Arka untuk yang kedua kalinya.”
Calista mencoba tersenyum sedangkan Ana mempererat genggamannya pada jemari Calista. Tak ada air mata yang jatuh dari mata bulat Calista, sepertinya air matanya telah mengering akibat pahitnya hidup yang  selama ini dijalaninya seorang diri sejak kehilangan keluarganya satu per satu.
“Miris bukan? Kisahku jauh dari kisah cinta seperti drama Korea yang sering kau tonton. Kami tidak bertemu karena saling bertabrakan kemudian saling menatap lalu saling jatuh cinta. Dua pertemuan kami malah dimulai dari pemakaman orang-orang yang kucintai,” Calista mencoba melucu tapi Ana tidak tertawa bahkan tersenyum. Hatinya ikut bersedih mendengar duka dari seorang sahabat yang begitu tulus padanya.
“Pertemuan ketiga kami untunglah bukan di pemakaman. Kalau saja kami bertemu untuk yang ketiga kalinya di pemakaman, mungkin aku akan berpikir bahwa Arka adalah malaikat maut yang sedang menyamar.”
“Lalu, dimana kalian bertemu?” Kali ini sebuah senyum kembali terukir di wajah Ana setelah mereka tidak lagi membahas keluarga Calista.
“Kami bertemu di toko buku.”
“Lalu? Lalu? Bagaimana kisah selanjutnya?” tanya Ana penasaran.
Calista menguap lebar. Ia menutup mulutnya yang terbuka dengan tangan. “Aku mengantuk. Kau tidak perlu khawatir karena masih banyak hari dimana kau bisa mendengar kelanjutannya.”
Ana memukul pelan pundah Calista. Ia membuat bibirnya semanyun mungkin pertanda ia tidak setuju kalau Calista menggantungkan kisahnya.
Calista tertawa kecil. “Bisakah kita tidak terlalu sering membahas Arka? Dia itu orang yang tidak bisa kau tebak. Bisa jadi saat membicarakannya dia lalu muncul tiba-tiba di hadapan kita. Seperti yang kau saksikan di toko buku tadi.”
Ana menautkan jemarinya di depan dada lalu hanyut dalam lamunannya untuk sesaat. “Yang tadi itu sangat romantis. Seorang tuan muda dari kerajaan bisnis ternama datang menemuimu langsung di tempat kerja.”
Calista tiba-tiba teringat sesuatu, ia mengurungkan niatnya untuk ke kamar. “Apa tidak ada yang curiga pada kami berdua tadi?” tanya Calista penasaran.
Giliran Ana yang tersenyum jahil. “Awalnya ada beberapa teman kita yang curiga saat Arka menunjukmu untuk menemaninya. Tapi, kenyataan bahwa strata kalian yang benar-benar jauh berbeda menutupi semua kecurigaan itu hingga hilang tak berbekas.”
“Syukurlah kalau begitu. Dan … hei itu terdengar seperti kau sedang menghinaku,” canda Calista.
“Aku pun tidak akan percaya seandainya tidak melihat dengan mata kepalaku sendiri saat tuan muda sepertinya datang ke rumah sederhana kita ini dua minggu lalu untuk menemuimu.”
“Dan seandainya aku hanya menceritakan hubunganku dengan Arka tanpa kau lihat kedatangannya dengan kepalamu sendiri, mungkin kau akan berpikir kalau aku sedang membual atau sedang bermimpi,” tambah Calista kemudian ia beranjak dari tempat duduknya menuju kamar.
“Hei … kau harus janji akan menceritakan kelanjutannya nanti,” teriak Ana tepat di saat Calista menutup pintu kamar.








Dua

Arka sampai di kamarnya yang megah setelah bertemu dengan Calista. Senyumnya otomastis terkembang ketika mengingat wajah gadis yang telah menjadi kekasihnya selama empat tahun itu. Entah mengapa, setiap kali bertemu dengan gadis itu, semua rasa lelahnya setelah bekerja seperti terangkat seketika.
Arka baru saja akan merebahkan tubuhnya yang sangat lelah ke tempat tidur saat pintunya diketuk oleh salah satu orang kepercayaan mamanya. Arka kemudian bangkit lalu membuka pintunya dengan berat hati.
“Maaf mengganggu Anda. Nyonya ingin bertemu di ruang keluarga,” kata pria paruh baya yang sudah dipercayai oleh keluarganya selama berpuluh tahun.
Arka mengangguk kemudian melangkah mengikuti sekretaris keluarga mereka yang biasa dipanggilnya paman.
Arka menghentikan langkah sejenak sesaat setelah ia sampai di ruang keluarga, ruang keluarga bergaya vitorian yang terlihat klasik, bagian lantau menggunakan keramik berukuran besar dan marmer. Untuk mempercantik ruang, pada bagian lantai dilapisi dengan karpet berwarna merah dengan motif segitiga berwarna coklat. perabot-perabot yang didatangkan langsung dari luar negeri dengan edisi terbatas. Di tengah ruang keluarga terlihat mamanya yang sedang mengenakan piyama berwarna biru tua di samping sebuah perapian. Wanita itu tetap tampak begitu anggun walau dalam balutan piyama, kulitnya masih kencang walau usianya sudah menginjak lima puluh tujuh tahun, begitu pun dengan badannya yang masih tampak bak model. Ia tetap menawan.
“Maaf mengganggu istirahatmu. Bagaimana harimu? Apa semuanya baik-baik saja?” tanya sang mama mendekati putra sulungnya yang masih terdiam di tempatnya.
“Apa tujuan Mama memanggilku ke sini?” tanya Arka dingin.
Sang mama tersenyum. Senyum yang mengandung sejuta arti. “Baiklah, mama tidak akan berbasa-basi lagi. Apa kau masih berhubungan dengan gadis itu?”
Rahang Arka menengang tiba-tiba, wajahnya terasa kaku. Ia tahu betul siapa gadis yang dimaksud mamanya tersebut. Ia tidak pernah suka membahas soal Calista dengan mamanya.
“Bukankah kita sudah pernah membahas soal ini, Mam? Aku selalu menuruti perintah mama, tidak pernah ada satu pun perintah yang tidak kupatuhi. Untuk urusan Calista, kurasa mama harus menepati janji mama.”
Mama Arka lagi-lagi tersenyum. Senyum yang tidak biasa. “Kenapa mendadak menjadi serius seperti ini, Ka? Mama kan hanya bertanya apakah kau masih menemuinya. Itu saja.”
“Jangan sentuh Calista, Mam. Ini ada dalam perjanjian kita.”
Wanita cantik itu kemudian melangkah menuju kursi berwarna putih yang dilapisi busa dan dibungkus dengan kulit yang berada tepat di tengah ruang. Kemudian ia menyandarkan tubuhnya sambil memainkan jemarinya. “Jangan cuma mengingatkan akan janji Mama. Apa kau ingat kalau kau juga punya janji? Tidak lama lagi Mama akan menagihnya. Mama tidak main-main akan perjanjian kita. Kau tahu akibatnya kan kalau kau tidak berhasil memenuhi target yang mama berikan?”
“Tentu, Mam. Aku selalu mengingatnya.” Arka masih sedingin tadi. Tatapannya sengit pada sang mama yang kini membelakanginya. “Aku lelah. Aku mau istirahat.”
“Ya. Beristirahatlah dengan baik.”
*****
Arka kembali memasuki kamarnya yang bernuansa biru muda. Berbeda dengan pertemuannya dengan Calista yang bisa membuatnya tersenyum, pertemuan dengan mamanya barusan benar-benar mengusik pikirannya, mengganggu hatinya.
Arka menghela napas berat berkali-kali. Ia memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa ingin pecah, sebelah tangannya mengepal dengan keras ketika ia menyandarkan tubuhnya ke tepi tempat tidurnya. Ia memang tidak pernah suka ketika mamanya ikut campur pada hubungannya dengan Calista. Ia tahu betul siapa mamanya. Ia tahu bagaimana mamanya sangat tidak setuju dengan hubungannya dengan Calista. Ia tahu kalau mamanya adalah orang yang menganut paham bahwa seseorang harus mencari pasangan sesuai status sosial mereka. Dan Arka tahu betul bagaima berbahayanya sang mama jika ia tidak menyukai sesuatu, semua hal bisa dilakukannya. Sampai saat ini yang melindungi Calista hingga tak tersentuh oleh mamanya hanya sebuah perjanjian, perjanjian yang terpaksa harus disetujui Arka untuk melindungi gadisnya.
Tok tok tok
“Kak Arka ada di dalam? Ini Dela, Kak.”
Sebuah suara yang sangat dikenalnya terdengar dari balik pintu. Arka buru-buru menormalkan raut wajahnya walau pikirannya tetap saja kacau. Ia melangkah ke pintu untuk menemui adik semata wayangnya.
“Ada apa, Del?”
“Boleh Dela masuk?” Dela tersenyum manis sehingga memperlihatkan gigi ginsulnya. Arka mengangguk kemudian kembali memasuki kamarnya yang diikuti Dela di belakangnya.
“Mama mempermasalahkan Kak Calista lagi, ya?” tanya Dela yang kini duduk di sebelah Arka.
“Tidak usah ikut campur urusan Kakak dan Mama. Kau hanya perlu memikirkan sekolahmu atau mama akan mengirimmu kembali ke Belanda.”
Dela seakan tidak mendengarkan kalimat kakaknya. Tampaknya ia akan tetap membahas topik yang sama hingga beberapa menit ke depan. “Sebenarnya Dela juga tidak setuju dengan paham elitisme yang dianut mama, dimana  golongan dari kelas atas harus menikah dengan seseorang dari golongan yang sama. Bukankah menikah dengan seseorang yang kita cintai terasa akan lebih menyenangkan sekali pun orang itu dari golongan yang berbeda?”
Arka tertawa kecil. “Anak berumur enam belas tahun bicara tentang pernikahan. Terdengar lucu sekali.”
Dela ikut tertawa. Gadis itu mewarisi kecantikan mamanya. Bola mata berwarna caramel  yang dibingkai oleh bulu mata yang indah, belum lagi dengan adanya lesung pipit di wajahnya, ia benar-benar terlihat seperti Barbie dalam kehidupan nyata. Dela adalah Arka versi wanita.
“Kak, aku mencari tahu tentang Kak Calista,” katanya agak takut.
Mendengar nama Calista, Arka sontak menoleh. “Kau mencari tahu tentangnya?”
Dela mengangguk. “Ya. Aku meminta paman untuk mencari info tentangnya.”
“Apa motifmu?” tanya Arka lagi.
Dela menggeleng. “Tidak. Tidak ada motif apa-apa. Aku bukan mama. Aku hanya ingin mengenal gadis yang telah membuat kakakku jatuh cinta. Lagi pula… salah Kakak sendiri karena tidak pernah mau mengajakku bertemu dengannya, bahkan memperlihatkan fotonya saja Kakak tidak pernah mau. Jadi, jangan salahkan aku kalau aku mencari tahu karena penasaran.”
Arka merangkul adiknya. Ia kembali tersenyum, senyum yang sangat menenangkan. “Jangan menemuinya. Jangan mengganggunya. Dia akan terbebani kalau kau menemuinya tiba-tiba. Jangan sampai keluarga kita menambah beban di hidupnya. Calista sudah cukup menderita sejauh ini.”
“Aku menyukainya, Kak. Kak Calista terlihat sangat cantik di foto yang diberikan paman. Jauh lebih cantik dari putri kolega-kolega papa yang pernah diperkenalkan ke Kakak. Dan satu lagi, dia terlihat sangat baik. Aku seperti bisa merasakan aura kebaikannya walau hanya melihatnya lewat sebuah foto.”
“Benarkah?”
Dela mengangguk mantap. “Tidak peduli pada siapa pun Kakak nantinya, aku akan bahagia jika Kakak bahagia.”
Arka mengacak rambut panjang adiknya kemudian mempererat rangkulannya. “Adikku sudah benar-benar dewasa sekarang,” ucapnya lirih.


S K Y

Yeyeyeyey lalalala. Sekarang saya mau share tentang naskah favorit saya, naskah yang membuat saya selalu ingin melanjutkan kisah manis di dalamnya. Baik. Kenapa saya mengatakan kalau naskah ini adalah naskah favorit saya? Hmm... karena selama penggarapannya, saya ketagihan untuk terus menulis hingga naskah ini menemui ending yang manis nan romantis. Kisah yang ada di dalamnya juga ringan dengan konflik yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, bahkan mungkin ada salah satu dari kalian yang pernah merasakannya. Saya berani mengatakan bahwa ide awalnya cukup mainstream karena menyangkut bagaimana dua orang sahabat yang sebenarnya saling menyukai berusaha menutupi perasaannya masing-masing. Tapi... tapi salah satu hal yang 'kuat' dalam naskah ini adalah karakternya. Karakter Riby yang polos dan menggemaskan harus beradu dengan Sky yang pendiam dan malu-malu. Banyak adegan lucu dan menghibur di dalamnya.

Dan... kabar gembira untuk kamu yang penasaran dengan kisah mereka, kisah tentang Riby dan Sky ini sudah di-acc oleh salah satu penerbit. Penerbitnya juga penerbit favorit saya. Hihi naskah favorit yang berjodoh dengan penerbit favorit ~ lalalalala~. Semoga bisa segera menghiasi rak-rak novel fiksi di seluruh Indonesia. 

Oh iya, kisah ini melibatkan matahari, langit dan juga pohon cemara. Bagaimana keterkaitan antara ketiganya? Yuk, sama-sama kita simak cuplikannya.



Chapter 1

            Bel pulang adalah salah satu bunyi paling dinantikan oleh seluruh warga SMA Athira. Bel tersebut baru saja berbunyi nyaring. Biasanya seiring dengan bunyi bel tersebut, seluruh siswa akan bergegas membereskan peralatan sekolahnya masing-masing. Tapi, suasana berbeda kini tampak di kelas XII IPA 1. Sebagian besar penghuni kelas terlihat masih santai di tempat duduknya masing-masing.
            “Oh iya, By. Teman-teman kelas mau karokean bareng di Diva. Kamu ikut, kan?”
            Riby tidak memberi respon. Ia tetap sibuk membenahi buku-buku dan peralatan tulisnya.
“Ikut kan, By?” Letha mengulangi pertanyaannya. Ia memandangi cewek berambut panjang di sebelahnya yang sedang sibuk memasukkan buku ke dalam tas.
Riby menggeleng pelan. Ada sebuah senyuman di bibirnya yang mungil, senyum lebar yang membuat mata bulatnya yang indah menyipit.
Letha menjentikkan jarinya ketika teringat sesuatu.
“Ah iya, aku lupa! Hari ini Sky pulang, kan?” Letha menepuk jidatnya. “Pantesan… dari tadi pagi aku perhatiin, kamu senyam-senyum nggak jelas gitu.”
Riby mengangguk cepat, tetap dengan senyumannya.
“Ya udah. Cepetan pulang sana! Kalau kamu telat, nggak bisa liat Sky nanti,” kata Letha.
Riby lagi-lagi hanya membalas ocehan Letha dengan senyuman. Dan tanpa banyak tingkah lagi, ia bergegas meninggalkan kelasnya.
“Lain kali aku ikut kalian deh! Bye, Tha…”
****
          Sesampainya di rumah, Riby buru-buru menuju kamarnya bahkan tidak sempat membuka kaus kaki yang masih menempel di kakinya. Ia dengan tergesa-gesa menuju jendela kamarnya yang menghadap persis ke rumah yang berada di depan rumahnya.
Sebuah sedan hitam berhenti di depan rumah itu beberapa menit setelah Riby berdiri di samping jendelanya. Seraut wajah yang sangat ingin Riby lihat keluar dari mobil dengan menenteng koper di tangan kirinya. Itu… Sky.
Sky adalah sahabat Riby sejak kecil. Mulai dari TK sampai SMP mereka selalu berada di sekolah yang sama. Tapi, setelah lulus SMP, Sky memutuskan untuk masuk sekolah khusus pria, dan memilih untuk tinggal di asrama sekolah. Jadi, Sky hanya pulang ke rumah pada sabtu siang, dan kembali lagi ke asramanya saat minggu sore. Itulah sebabnya, Riby selalu menanti kepulangan Sky melalui jendela kamarnya secara sembunyi-sembunyi.
“Ahhh… bodohnya aku ini! Selalu seperti ini setiap minggunya,” kata Riby pada dirinya sendiri.
Pandangan Riby terus tertuju pada Sky sampai sosok itu benar-benar hilang dari pandangannya. Wajah Sky yang tampan ditambah mata yang tajam dan hidung mancung telah menjadi magnet tersendiri yang bisa membuat siapa pun yang memandangnya dibuat takjub, termasuk Riby.
“Aduh… jantungku bisa copot setiap kali melihatmu, Sky.”
*******
Sky langsung merebahkan tubuh di tempat tidurnya saat ia sampai di kamarnya. Seminggu telah berlalu lagi, dan ia kini kembali ke kamar kesayangannya. Sky memejamkan mata untuk sesaat, tiba-tiba bayangan seraut wajah muncul dalam ingatannya.
Sky buru-buru bangkit dari tempat tidurnya. Ia menuju ke jendela kamarnya, jendela yang berhadapan langsung dengan kamar Riby yang berada di sebelah jalan sana. Mata Sky mendadak liar mencari sosok Riby, pandangannya semakin liar saat ia tidak mendapati Riby yang biasa terlihat beraktivitas di kamarnya, kini tidak terlihat batang hidungnya.
“Kalau kangen ya ditemuin, Kak. Jangan cuma curi-curi pandang kayak gitu dari jendela. Jarang-jarang bisa ngeliat Kak Riby, cuma seminggu sekali, kan?”
Suara Fai yang muncul tiba-tiba membuat Sky salah tingkah. Sky buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah yang berbeda.
Fai tersenyum penuh arti di tempatnya berdiri.
“Ngapain kamu masuk kamar Kakak? Nggak pake ketuk pintu dulu lagi.”
“Yeee… aku ngetuk kok! Tapi, Kakak lagi sibuk nyariin Kak Riby, makanya nggak denger.” Fai cekikikan sendiri.
Wajah Sky perlahan berubah merah. Adiknya yang satu ini memang sangat blak-blakan, kalau ngomong nggak pernah disaring dulu, keluar begitu saja seperti apa yang ada di dalam pikirannya.
“Faiirryyyy…” teriak Sky agak kesal.
Fai masih cekikikan karena keberhasilannya menggoda kakaknya itu.
“Mama manggil Kakak di bawah. Makan siang dulu katanya,” kata Fai di akhir tawanya.
“Iya. Sana keluar! Kakak mau ganti baju.”
Fai mengikuti perintah kakaknya. Saat hendak menutup pintu, Fai teringat sesuatu yang menurutnya bisa membuat kakaknya sedikit menggalau.
“Oh iya, Kak. Kemarin sore, Kak Riby ditembak sama anak kompleks sebelah loh.” Senyuman jahil tercetak jelas di wajah Fai kali ini.
Sky menghela nafas panjang.
“Ngapain kamu laporan ke Kakak?”
“Karena… aku rasa Kakak perlu untuk tahu. Hahahaha…”
Fai menutup kamar kakaknya. Tapi, suara tawanya masih jelas terdengar di telinga Sky. Fai memang usil juga jahil, tapi Sky tahu kalau Fai tidak pernah berbohong. Sky jadi kepikiran kata-kata Fai tadi, ia jadi penasaran dengan jawaban Riby atas penembakan itu.
Diterima atau nggak, ya?” batin Sky.
Sky mengacak-acak rambutnya karena pertanyaan itu membayanginya.
*******
“Gimana? Kamu ketemu Sky, By?” tanya Letha dengan antusias.
Riby menggeleng pelan. “Nggak. Cuma liat dari jendela aja.”
Letha menepuk jidatnya. Putus asa sekaligus prihatin pada teman sebangkunya ini.
“Ck! Disapa kek, By. Apa susahnya sih nyapa Sky?”
Riby menggulum bibirnya. “Nggak berani, Tha. Malu juga… lagian Sky kan bukan anak-anak lagi kayak dulu yang bisa aku sapa seenaknya.”
“Kamu mau diem-dieman terus kayak gitu? Temenan nggak, musuhan juga nggak. Status kamu gantung banget, By.”
“Ya mau gimana lagi? Sky udah berubah… bukan Sky yang dulu lagi.”
“Kan mungkin aja Sky juga gengsi nyapa duluan, jadi kamu aja yang mulai nyapa duluan. Nggak salah kan?” lanjut Letha.
Riby memperbaiki poninya terlebih dahulu. “Kalau dicuekin gimana?”
“Aduh, By… yang penting kamu udah nyapa. Cuek atau nggak, itu perkara belakang.” Letha mulai emosi. Agak gemes dengan kasus Riby. “Masak iya dia tega nyuekin kamu?”
“Aku nggak siap hati, Tha,” kata Riby dengan wajah polosnya.
Akhirnya Letha menyerah untuk memberi saran. Ia hanya bisa menghela nafas panjang menyaksikan keunikan persahabatan Riby dan Sky.
“Tante-tante jomblo, lagi apa nih?”
Suara barusan sontak membuat Letha memandang sinis ke arah whiteboard tempat Kimby dan dua pengikutnya sedang berdiri berkacak pinggang.
Kimby, Fely, dan Naomi termasuk dalam jajaran teman-teman kelas Letha dan Riby. Tapi, keberadaan Kimby dan dua pengikutnya itu cukup mengusik Riby dan Letha. Akhir-akhir ini, Kimby memang sedang gencar melancarkan pem-bully-an terhadap Riby. Hal itu terjadi karena Kimby merasa tersaingi saat pelajaran seni musik dimana Riby menjadi satu-satunya siswa di kelasnya yang mendapatkan nilai sempurna karena Riby berhasil bernyanyi dan memainkan piano dengan tepat, tanpa ada nada yang meleset.
Kimby memiliki wajah yang sangat cantik, ia juga sangat pandai dalam berbagai hal, dan banyak siswa SMA Athirah yang mengaguminya. Namun, kesempurnaan yang Kimby miliki membuatnya enggan merasa tersaingi, itu sebabnya ia seringkali mengganggu orang-orang yang menurutnya dapat mengganggu kepopulerannya. Nah, kali ini Riby yang menjadi targetnya. Karena ulah Kimby dan dua pengikutnya, warga SMA Athirah sepakat memanggil ketiganya dengan sebutan The Sirik Gank.
“Mau ngapain lagi tuh The Sirik Gank nyapa-nyapa kita?” kata Letha dengan nada suara yang jelas terdengar kesal.
“Tauk. Udah ahh… nggak usah diladenin, ntar juga pergi sendiri,” jawab Riby.
Dan kata-kata Riby terbukti kebenarannya. Setelah bosan mengoceh sendiri di depan whiteboard tanpa ada seorang pun yang meladeni, Kimby akhirnya diam sendiri, dan menghilang begitu saja saat bel istirahat berbunyi.




Chapter 2

Sky baru tiba di rumahnya beberapa menit yang lalu, ia langsung duduk di depan laptop-nya setelah meluangkan waktu menengok keberadaan Riby melalui jendelanya. Tampaknya Riby belum pulang sekolah.
Mulai hari ini, Sky tidak menginap di asrama untuk beberapa lama. Asrama Sky sedang dalam tahap renovasi, dan kamar Sky menjadi salah satu yang terkena perbaikan. Jadi, Sky harus kembali ke rumah sampai kamarnya selesai diperbaharui.
Tok… tok… tok…
“Sky…” Suara mama terdengar dari luar kamar.
“Masuk aja, Ma. Nggak dikunci kok!”
“Kamu lagi sibuk, Sky?”
Sky menoleh ke mamanya yang masih berdiri di depan pintu.
“Nggak. Ada apa, Ma?”
“Mama mau minta tolong kamu untuk nganterin barang.”
Sky menutup laptop di hadapannya setelah di shut down. “Barang apa?”
“Oleh-oleh dari Papamu.”
“Emangnya mau diantar kemana, Ma?”
“Ke Tante Inka. Deket kan?”
Sky tersentak kaget. Tante Inka kan mamanya Riby, berarti…
“Kenapa nggak nyuruh Fairy aja, Ma?” Wajah Sky berubah khawatir.
“Fairy lagi ke rumah temennya. Kamu aja,” pinta mamanya.
“Ta… pi… Ma…”
Mamanya memandang Sky dengan raut wajah yang terlihat agak marah sambil menyilangkan kedua lengan di sekitar diafragmanya.
“Sejak kapan anak Mama jadi pintar ngebantah kayak gini?”
Sky menyerah, ia tahu bagaimana pedasnya singgungan mamanya. Sky menghela nafas panjang, ia tidak mampu membantah lagi.
“Iya deh. Mana barangnya, Ma?”
Raut wajah sang mama langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Sebuah senyum mengembang di wajahnya. Tidak lama setelah Sky mengiyakan, mama datang dengan membawa bingkisan dodol yang dibawa papanya dari Garut tadi malam.
Sky melangkah dengan enggan ketika keluar dari rumahnya. Cukup lama ia memandangi rumah yang berada persis di depan rumahnya itu. Sudah lama sekali ia tidak kesana. Padahal saat masih kecil, ia tidak pernah absen menginjakkan kakinya di rumah Riby bahkan sampai ketiduran di sana pun juga pernah.
Sky akhirnya memantapkan hati untuk ke rumah Riby. Toh, Riby juga tampaknya tidak ada di rumah, jadi kemungkinan untuk bertemu dengannya sangat tipis. Ia akan cepat-cepat memberikan bingkisan itu lalu pergi, cukup segitu saja. Daripada harus mendengar omelan mamanya yang tidak akan habis dalam semalam.
Sky mulai kembali melangkahkan kaki walau ada keraguan dalam hatinya.
*****
          Ting… tong… ting… tong…
Bel rumah Riby berbunyi nyaring.
“By, bukain pintunya! Ada tamu!” teriak mamanya dari dapur.
Riby baru saja menginjakkan kaki di puncak tangga untuk menuju kamarnya saat mamanya berteriak dari dapur. Ia baru tiba dari sekolahnya, seragam juga masih lengkap di badannya. Sebenarnya ia mendengar bunyi bel yang meraung-raung sejak tadi, tapi ia malas untuk turun kembali, dan berharap mamanya lah yang akan membuka pintu.
Riby berjalan malas-malasan menuju pintunya. Lelah sangat terlihat di wajahnya.
Ceklek. Pintu terbuka.
Ketika melihat siapa yang kini berada di depan pintunya, Riby terpaku di tempatnya untuk beberapa lama. Ia sampai tidak sadar kalau mulutnya menganga saat melihat Sky benar-benar nyata di hadapannya.
Sky juga terdiam tanpa kata. Cukup canggung baginya untuk memulai percakapan kembali dengan Riby setelah waktu yang selama ini dilewatkannya tanpa saling menyapa.
“Eh, kamu Sky? Ayo masuk!”
Suara mama yang tiba-tiba muncul dari dalam membuat mereka sadar dari keterkejutan masing-masing.
“Kamu ini, By! Kok ada tamu malah nggak disuruh kedalam,” tegur mama pada Riby yang sedang salah tingkah.
“Nggak usah, Tan. Sky cuma mau nganterin bingkisan dari Mama.” Sky menyodorkan bingkisan berwarna hijau yang dibawanya.
Mama Riby tidak membiarkan Sky untuk pergi begitu saja, Sky ditarik paksa ke dalam rumahnya. Sky kembali tidak bisa berbuat apa-apa.
“Buat minum, By!” perintah mamanya.
Riby buru-buru menuju dapurnya. Ia berusaha mengatur nafasnya yang sempat berhenti ketika melihat Sky. Jantungnya berdebar tidak karuan, seakan bisa melompat dari tempatnya saat ini juga.
Riby menenangkan dirinya sebelum melangkah ke ruang tamu dengan membawa nampan berisi dua gelas minuman.
Setelah mengantarkan minuman untuk mamanya dan Sky, Riby buru-buru meninggalkan mereka. Berada lebih lama lagi di dekat Sky bisa membuat jantungnya benar-benar melompat dari tempatnya saking kencangnya si jantung berdetak.
“Mau kemana, By? Sini ngobrol dulu… Sky kan jarang-jarang ada datang kesini. Dulu kan kalian akrab banget!”
“Riby ada PR, Ma.”
Riby menaiki tangga tanpa menoleh lagi. Ia harus cepat-cepat mengambil jarak untuk segera menyelamatkan jantungnya yang berdetak hebat. Tapi, Riby tidak langsung masuk kamarnya, ia menguping dari puncak tangga. Suara Sky yang sedang ngobrol dengan mamanya terdengar samar, tapi Riby tetap bisa menangkap setiap detail dari percakapan mereka, terutama Sky.
“Loh, bukannya kamu baru pulang ke rumah hari sabtu, Sky? Ini kan hari kamis, kok ada di rumah?” tanya mama Riby.
“Iya, Tante. Asramaku lagi direnovasi, dan kamarku juga jadi salah satu yang ikut dibongkar. Jadi, sampai asrama selesai dibangun, aku nginap di rumah dulu.”
Riby hampir meloncat kegirangan saat mendengar kabar bahwa Sky akan berada di rumahnya dalam waktu yang cukup lama. Dengan begitu, intensitasnya untuk melihat Sky juga akan bertambah. Riby bersorak dalam hati.
Riby memegangi dadanya.
“Suara Sky… ahh sudah lama aku tidak mendengarnya,” kata Riby pada dirinya sendiri.
Saat mendengar Sky pamit pada mamanya, Riby buru-buru menuju jendela kamarnya. Ia tentu saja ingin melihat Sky yang sedang berjalan pulang menuju rumah yang berada di seberang jalan sana.
Sky memang tampan, bahkan memiliki kadar ketampanan jauh di atas rata-rata. Wajahnya yang menawan sangat  didukung oleh tubuhnya yang tinggi juga kulit yang putih bersih. Benar-benar ideal untuk dijadikan tipe idaman.
Riby kembali terpaku di tempatnya. Sosok Sky begitu mempesonanya.
*****
“Kak Ribyyyy… selamat pagi,” teriak Fai dari depan rumahnya.
Riby melambaikan tangannya setelah mengunci pagar rumah.
“Pagi, Fai.”
“Mau ke sekolah ya, Kak?”
“Iya, Fai. Fai juga kan?”
Belum sempat Fai menjawab, Sky sudah keluar dari rumahnya. Riby yang melihat Sky, buru-buru memalingkan wajah ke arah yang berbeda. Wajahnya mendadak panas.
Fai sumringah. Ia kembali teriak. “Kak Riby, berangkatnya bareng kita aja. Sekolah Kakak kan deketan sama sekolahnya Kak Sky.”
Riby melirik Sky sebentar, tapi Sky tidak memberi respon apa-apa. Riby buru-buru menolaknya.
“Nggak usah, Fai. Aku mau berangkat sama temen. Duluan ya… bye.”
Tanpa menoleh lagi, Riby bergegas melangkahkan kaki.
Sky memandangi tubuh Riby yang makin menjauh. Wajah Riby masih sama imutnya seperti dulu, hanya saja rambutnya sekarang tergerai indah hampir menyentuh pinggang, padahal dulu hanya sebatas bahu saja. Riby tumbuh menjadi remaja yang cantik, dan tidak membosankan untuk dipandang.
Cukup lama Sky memandangi seraut wajah yang dulu begitu dekat dengannya, tak terpisahkan dengannya, selalu ada di sampingnya.
Sky melihat gelang coklat yang berada di tangan Riby sekilas. Ia lalu menghela nafas berat.
“Ishhh… Kakak ini kok kaku banget sih? Kak Riby kan sahabat Kakak dari kecil, kenapa sekarang jadi kayak nggak saling kenal?”
Sky terdiam.
“Kenapa nggak ngajakin Kak Riby berangkat bareng kita aja, Kak?” lanjut Fai dengan nada suara yang kesal.
“Kamu kan udah ngajak. Lagian, dia juga nggak mau kok.”
Fai menghentakkan kaki saking sebalnya.
“Ya ampun, Kak! Basa-basi dikit kenapa sih? Lagian apa salahnya kalau Kakak juga ikut ngajak Kak Riby?”
“Masuk mobil gih! Atau Kakak tinggal nih,” ancam Sky saat memasuki mobilnya.
Fai mendengus kesal tapi tetap nurut untuk segera memasuki mobil.
“Kenapa Kakak dan Kak Riby jadi saling menjauh gini sih?” Fai melanjutkan ocehannya. “Padahal, dulu itu kemana-mana barengan. Ckckckck… dunia SMA memang sulit untuk dimengerti.”
Sky tetap berkonsentrasi pada kegiatan menyetirnya.
“Kakak itu harus lebih peka. Kak Riby diambil orang lain baru nyesel loh…”
“Anak kecil diam aja!” perintah Sky.
“Eh enak aja! Aku ini udah kelas sembilan SMP, Kak. Bentar lagi juga udah pake seragam SMA. Pengalaman hidupku bahkan jauh lebih banyak dibanding Kakak yang menghabisakan waktu dengan cara membosankan di asrama.”
Sky tertawa kecil menanggapi kebawelan adiknya.
“Bisa diam nggak. Fai? Kakak turunin di tengah jalan nih!” ancam Sky dengan nada bercanda.
*****
          Pulang sekolah tadi, Riby sepakat untuk mengerjakan tugas di rumah Letha. Mereka berdua sedang dalam perjalanan menuju rumah Letha yang terletak di dekat SMP tempat Riby dulu bersekolah.
Riby tidak hentinya memandangi gelang coklat yang sudah bertahun-tahun menghiasi tangannya. Gelang coklat itu adalah hadiah dari Sky saat ia berulang tahun yang ke-14. Riby jadi senyum-senyum sendiri mengingat Sky yang tidak akan kembali ke asrama dalam waktu yang cukup lama.
Letha mencolek pundak Riby yang berjalan di sebelahnya. “Dari pagi senyam-senyum sendiri. Nggak kering tuh gigi?”
Riby menoleh ke arah Letha sambil tersenyum malu-malu. “Kemarin, Sky ke rumahku, Tha.”
Letha terlonjak kaget. Ini benar-benar suatu kemajuan pikirnya.
“Serius? Jadi kalian ngobrol apa aja? Aduhh, By… akhirnya… akhirnya.”
Raut wajah Riby mendadak berubah. Ia terlihat sedikit kecewa.
“Nggak ngobrol, Tha.”
“Ahh??? Nggak ngobrol? Trus ngapain aja?” Letha kembali terkejut. Baru saja ia berpikir kalau Riby sudah mengalami kemajuan, tapi ternyata Riby hari ini masih saja sama dengan Riby di hari-hari sebelumnya.
“Ngobrolnya sama Mamaku, Tha. Tapi, aku nguping kok! Beneran!” Riby berusaha meyakinkan.
Letha menepuk jidatnya. Kembali putus asa.
“Ck! Sekat antara polos dan sedikit bodoh itu memang tipis,” kata Letha dengan nada suara yang diperkecil.
Tapi, Riby mendengar kata-kata Letha barusan, dan sukses membuat Letha menerima pukulan di lengannya.
“Tunggu… bukannya kemarin hari kamis, By? Kok Sky ada di rumah?” tanya Letha penasaran.
“Asramanya lagi dibangun, dan kamar Sky juga dibongkar. Makanya, Sky bakalan tinggal di rumahnya sampai asramanya selesai.” Riby menjelaskan dengan penuh semangat.
Setelah menyelesaikan kalimatnya, Riby mendadak menghentikan langkah di depan sebuah pohon cemara yang terletak tidak jauh dari SMP-nya dahulu.
“Nah, di pohon cemara ini ada mitos loh,” kata Letha yang tidak menyadari perubahan ekspresi wajah Riby. “Katanya kalau sepasang kekasih atau sepasang sahabat berada di bawah pohon cemara ini saat langit mendung, hubungan mereka akan berakhir perlahan-lahan. Kamu tau nggak?”
Riby mengangguk. “Aku tau.”
Ya, Riby memang tahu, bahkan sangat tahu. Ia sangat percaya bahwa mitos itu benar-benar terjadi. Mitos inilah yang membentangkan jarak antara ia dan Sky saat ini. Mitos inilah yang membangun tembok penghalang yang sangat tebal dalam persahabatan yang selama ini dijalinnya bersama Sky. Mitos inilah awal dari semua langkah-langkah Sky yang perlahan menjauh darinya.
Pikiran Riby tiba-tiba melayang pada masa SMP-nya dan Sky. Bermula dari keisengannya yang ingin membuktikan kebenaran dari mitos itu, ia mengajak Sky untuk berada di bawah pohon cemara tersebut saat langit berubah mendung. Awalnya Sky tidak mau, tapi akhirnya ia menyerah pada rengekan Riby yang sangat penasaran dengan mitos tersebut.
Beberapa bulan setelah mereka melakukan kenekatan itu, kutukan pohon cemara mulai terasa. Sejak selesainya acara kelulusan, Sky semakin menjauh setiap harinya, sampai membentangkan jarak yang saat ini sudah sangat sulit untuk dilalui, terlalu sulit untuk memulainya kembali.
Sampai saat ini, Riby begitu menyesal akan kebodohannya untuk membuktikan kutukan pohon cemara, sampai-sampai ia harus kehilangan sahabat yang selama ini selalu setia berada di sisinya.
“By, kamu ngelamunin apa?”
Suara Letha menyadarkan Riby dari lamunannya.
Riby menggeleng cepat. “Nggak ada apa-apa. Yuk!”