Ada yang pernah dengar kisah tentang Cinderella? Ah, saya rasa hampir setiap orang pernah mendengarnya. Nah, naskah yang saya garap saat ini berhubungan dengan kisah Cinderella yang sebelumnya saya tanyakan. Seperti kisah asli Cinderella, seperti itulah ide dasar dari naskah ini. Tapi, jangan bayangkan kalau kisahnya akan semanis kisah Cinderella yang pernah kalian baca atau dengarkan.
Cinderella dalam naskah ini bernama Calista, seorang yatim piatu yang kehilangan segalanya setelah orangtuanya meninggal. Ia terpuruk seorang diri tanpa siapa pun, benar-benar sebatang kara. Ia bertemu untuk pertama kali dengan pangerannya saat pemakaman kedua orangtuanya. Arka, seorang pemuda dari kerajaan bisnis ternama menjadi seseorang yang menyodorkan bahu saat Calista benar-benar terpuruk oleh kejamnya kenyataan, saat ayah Calista menghembuskan napas terakhir akibat kecelakaan, saat ibunya bunuh diri tanpa ia ketahui alasannya dan saat semua harta peninggalan orangtuanya disita hingga tak bersisa. Tapi siapa yang menyangka kalau pangeran yang dari luar tampak begitu sempurna ternyata juga menyimpan sebuah rahasia yang begitu menyakitkan. Kisah Calista sebagai seorang Cinderella modern tidak semulus dongeng Cinderella dahulu kala, begitu pun dengan sang pangeran.
Satu
“Persiapkan semuanya dengan baik dan berikan
pelayanan maksimal kalian.”
Seiring dengan kalimat perintah
tersebut, para karyawan toko buku yang tadinya hanya berdiri bengong mendengar
ceramah panjang dari pria paruh baya bertubuh subur itu kini bergegas
mengerjakan tugas masing-masing, semua tugas harus sempurna tak boleh ada
kekurangan sedikit pun. Atau omelan yang jauh lebih panjang dan berbelit-belit
menantimu di ruangannya.
Beberapa menit setelah kalimat perintah
tersebut dilontarkan, toko buku yang tadinya cukup ramai oleh pengunjung kini
menjadi sunyi senyap dan menyisakan para karyawan dan supervisornya yang
bertubuh subur yang masih sibuk mengomel. Tidak beberapa lama setelah toko buku
dikosongkan, rombongan berseragam hitam memasuki ruangan kemudian berpencar ke
segala arah, berjaga-jaga.
“Selamat datang, Tuan,” sambut pria
bertubuh subur yang mendadak ramah dengan senyum yang terlihat dibuat-buat.
Mencari muka.
Seorang pemuda berumur sekitar dua puluh
empat tahun yang mengenakan setelan jas lengkap dengan dasi berwarna merah
menganggukkan kepala pada pria bertubuh subur yang menyapanya tadi. Dari
tampilannya saja, si pemuda tampak bukan dari kalangan biasa. Semua yang
melekat di tubuhnya terlihat mewah dan berharga, bahkan wangi tubuhnya bisa
tercium dari jarak yang cukup jauh. Wajahnya nyaris sempurna yang didukung
dengan tubuhnya yang tinggi. Ia memiliki mata berwarna caramel yang sangat menawan, kadang-kadang terlihat seperti puppy eyes, mata jernih yang sangat innocent. Eyes smile, mata yang akan ikut tersenyum ketika ia
mengembangkan senyum. Mata tersebut dibingkai oleh alis yang tampak seperti
semut hitam yang berjejer, rambut hitamnya tersisir dengan rapi. Ia tampak bak
patung dewa bahkan saat ia sedang terdiam.
Tatapan si pemuda menyapu ke segala
arah, dan yang disaksikannya hanyalah para karyawan yang sejak tadi meundukkan
kepala dan tak ada yang berani menatapnya.
“Senang sekali rasanya Tuan bisa
berkunjung kemari,” ucap pria bertubuh subur itu lagi untuk memecah keheningan
yang tercipta. Si pemuda mengacuhkan kalimat yang didengarnya, ia masih sibuk
menyapu ruangan dengan tatapannya. Kemudian sebuah senyum simpul terukir di
wajahnya ketika tatapnya menemukan apa yang menjadi alasan kedatangannya.
“Lalu … apa gerangan yang membuat Tuan
sampai datang kemari sendiri? Apakah ada yang bisa saya bantu?”
Pemuda itu tersenyum pada pria bertubuh
subur di sebelahnya yang tidak berhenti mengoceh. “Pak Suryo, apa salah kalau
saya kemari untuk membeli buku?” tanyanya sambil tersenyum. Senyum yang sangat
manis.
Pria bernama Suryo itu terlihat terkejut
dengan jawaban dari sang pemuda. “Tentu tidak, Tuan. Bukan itu maksud saya.
Maksud saya, Tuan bisa menghubungi saya untuk membawakan buku yang Tuan
butuhkan,” ralatnya buru-buru.
Sang pemuda kembali melempar senyum.
“Saya ingin mencari beberapa buku.”
“Buku apa yang Tuan cari? Tentu akan
saya bantu semampu saya.” Pak Suryo kemudian mencoba tersenyum ceria walau
hasilnya tentu saja gagal mengingat pribadinya yang tidak ramah itu mendominasi
raut wajahnya.
“Tidak perlu repot-repot, Pak. Saya bisa
mencari sendiri apa yang saya butuhkan,” katanya sambil menepuk pundak pak
Suryo.
Kemudian pandangan pemuda itu kembali
tertuju pada alasan keberadaannya di sini, pada seorang gadis cantik berambut
panjang dengan mata bulat dan bibir tipis yang berdiri tidak jauh dari
tempatnya berdiri sekarang. Ia melangkahkan kaki dengan mantap dan memandangi
si gadis dengan tatapan yang kuat, gadis itu balas menatap tanpa takut.
“Siapa namamu?” tanya pemuda itu ketika
ia berdiri di depan sang gadis.
“Calista,” jawab gadis tersebut. Masih
menatap sengit ke pemuda yang berada di hadapannya.
“Calista, bisa kau tunjukkan di mana
letak buku-buku tentang bisnis di toko ini?”
Calista mengangguk. “Silakan ikut saya.”
Pemuda tersebut mengekor di belakang
Calista tanpa pengawalan. Mereka menuju rak buku yang berada di sudut ruang,
sudut yang paling sunyi dan sulit dijangkau oleh pandangan karyawan lainnya
yang tentu tak berani bergerak dari tempatnya.
Tepat di saat mereka berada di sudut
ruang yang diapit oleh rak-rak yang tinggi, pemuda tersebut menarik lengan
Calista yang berjalan mendahuluinya.
“Ngapain ke sini sih, Ka?” bisik
Calista. Ia berusaha agar suaranya tak terdengar oleh siapa pun kecuali Arka.
Kepalanya lalu bergerak ke kanan kiri untuk membaca kondisi.
Arka menyandarkan tubuhnya pada salah
satu rak, tangannya masih menggenggam lengan Calista. Sebuah senyum yang
teramat sangat manis terlukis di wajahnya, senyum yang hanya ia tujukan hanya
untuk gadis cantik di hadapannya.
“Miss
you to the highest level, dear,” ucapnya tulus. “Tidak melihatmu selama
beberapa hari benar-benar membuatku gila.”
Calista terdiam sejenak, ia menatap
pemuda di hadapannya. Arkadean Al Farizi, pemuda yang baru saja mengucap
kalimat rindu padanya adalah seorang putra mahkota dari kerajaan bisnis
ternama, Farizi Corp. Farizi Corp adalah perusahaan dengan jaringan usaha yang
menjelma bak gurita raksasa yang menancapkan lengannya di berbagai bidang
bisnis, mulai dari bidang keuangan, finansial, multimedia, properti hingga
investasi. Perusahaan yang berkembang pesat bak bola salju yang menggelinding,
tak terhentikan. Bahkan toko buku tempat Calista bekerja berada di dalam sebuah
mall milik Farizi Corp.
Calista menghembuskan napas pelan. “Tapi…
aku kan lagi kerja, Ka. Kedatanganmu malah membuat kehebohan dan pengunjung
dengan berat hati harus meninggalkan toko. Apa itu tidak terlalu berlebihan?”
protes Calista dengan suara seadanya.
Lagi-lagi Arka tersenyum hangat. “Inilah
konsekuensi karena tidak mengangkat teleponku sejak tadi. Jadi, dari bandara
aku langsung kemari.”
Calista meringis, benar-benar mati akal
menghadapi kekasihnya ini. “Bagaimana kalau ada yang melihat kita di sini? Apa kau
tidak takut hah?”
Arka menggeleng. “Tidak akan ada yang
tahu. Mereka semua terpaku di tempatnya saat ini.”
“Kalau begitu cepatlah pergi sebelum
kita benar-benar ketahuan oleh mereka.”
Arka mendesah. “Masih kangen.”
Giliran Calista yang menarik napas
dalam-dalam. “Sayang, aku harus kerja,” bujuknya.
Arka terlihat kecewa, tatapannya yang
sejak tadi tertuju ke Calista kini ke arah yang berbeda. “Baiklah. Sore ini aku
ingin kita bertemu setelah magrib di tempat biasa.”
“Jam segitu aku masih kerja, Ka.”
“Tidak apa. Tidak apa.” Arka
menganguk-anggukkan kepala. “Biar aku sendiri yang meminta pada pak Suryo
supaya dia memberi waktu pada kekasihku ini untuk menemuiku,” ancam Arka.
Calista akhirnya menyerah. “Oke. Oke.
Akan kuusahakan menemuimu secepat yang kubisa.” Kemudian Calista memasang wajah
innocent yang menjadi kelebihannya,
wajah yang membuat Arka akan rela melakukan apa saja yang dimintanya. “Sayang,
kau tahu kan kalau aku mencintaimu sebanyak kau mencintaiku. Nah, bisakah
sekarang kau pergi membawa para pengawalmu yang menyeramkan itu?”
Arka tertawa kecil dan melepas
genggamannya dari Calista. “Baiklah, aku akan pergi sekarang. Tapi kau harus
ingat dengan janjimu tadi. Ingat! Ancamanku tidak main-main, sayang.”
Calista mengangguk pasrah.
“Love
you” ucap Arka sambil mengedipkan mata sebelum meninggalkan Calista yang
masih berdiri di tempatnya.
*****
“Hati-hati, Ka. Kabarin kalau udah
sampai rumah, ya,” kata Calista ketika menutup pintu mobil.
Arka mengangguk sambil tersenyum. “Kamu
juga hati-hati naik tangganya.”
Calista membalas senyuman tersebut
kemudian melambaikan tangan lalu membuka pagar rumah sederhana yang disewanya
bersama seorang teman. Rumah sederhana berukuran 5 x 5m dengan satu kamar
tidur, dapur dan ruang tamu seadanya, sesuai dengan biaya sewanya yang memang
tidak telalu mahal. Rumah sederhana yang baru disewanya tiga bulan lalu tepat
di saat ia diterima untuk bekerja di sebuah toko buku yang cukup ternama.
“Calistaaaa …”
Suara itu mengisi ruangan tepat di saat
Calista membuka pintu rumah. Calista yang sudah terbiasa dengan kondisi itu
hanya bisa menutup telinga mendengar suara cempreng teman sekamarnya, Ana. Ana
yang sejak tadi menunggu kedatangan Calista sontak berdiri menyambut kedatangan
gadis cantik itu untuk mendengarkan kisah cinta yang menurutnya jauh lebih
menarik dibanding kisah cinta mana pun di dunia ini.
“Ta, tadi abis kencan, ya? Gimana?
Gimana? Kencan dimana? Restoran mewah? Terus ngapain aja?” Calista diberondongi
sejuta pertanyaan. “Ta, ayo dijawab.”
Calista menghela napas panjang. Membuka
jaketnya kemudian menyandarkan tubuhnya ke sofa di ruang tamu yang berukuran 2
x 2 meter tersebut. “Tanyanya satu-satu, Na. Kan bingung mau jawabnya gimana.”
Ana tersenyum lebar. Pernyataan Calista
barusan pertanda rasa penasarannya akan dijawab oleh teman sekamarnya ini.
“Kencan di restoran mewah mana, Ta?”
“Cuma di taman depan kompleks kok. Itu
pun cuma di dalam mobil sambil nyemil cimol.”
Ana membelalakkan mata tidak percaya.
“Serius?”
Calista mengangguk. “Serius. Kami memang
selalu bertemu di tempat sunyi macam itu. Berbahaya kalau ada wartawan yang
mengetahui hubungan seorang pewaris kerajaan bisnis Farizi Corp dengan karyawan
biasa sepertiku. Dunia bisa gempar.”
“Apa kau tahu, Ta? Aku selalu tertarik
mendengar kisah cinta kalian.”
“Dan apa kau tahu kalau kau ini terlalu
polos?” balas Calista. “Tapi karena itulah aku menyukaimu dan memercayaimu
sebagai seorang sahabat walau baru berjumpa tiga bulan yang lalu.”
“Benarkah?” Ana sumringah. “Kuanggap itu
sebagai pujian.”
Calista gemas sendiri melihat tingkah
Ana yang berada di sebelahnya. Dirangkulnya Ana dengan tangan kanan kemudia
mengacak rambut sahabatnya itu hingga tak berbentuk. Gadis berkaca mata dengan
rambut sebahu itu pun mencoba meloloskan diri dari rangkulan Calista yang
dirasakannya makin kuat.
“Engap tauk, Ta.” Ana akhirnya berhasil
meloloskan diri. “Awalnya aku tidak percaya dengan kisah Cinderella. Tapi,
sekarang aku benar-benar percaya setelah melihat seorang Cinderella modern di
hadapanku ini. Bagaimana bisa kau seberuntung ini?”
“Mungkin di kehidupan sebelumnya aku
adalah pahlawan yang menyelamatkan dunia,” canda Calista yang disambut tawa
Ana.
“Sudah berapa lama kalian bersama?”
tanya Ana di ujung tawanya.
“Empat tahun.”
“Benarkah? Ah, hidupmu benar-benar
seperti kisah cinta di drama Korea, Ta.” Ana berbicara pada dirinya sendiri.
“Bagaimana kalian bertemu dan akhirnya memutuskan untuk menjalin sebuah
hubungan?”
Calista menghela napas panjang kemudian
dihembuskannya dengan berat. Sebenarnya dibalik kisah cinta yang begitu menarik
bagi Ana terselip luka yang membuatnya merasa sesak setiap kali ia harus
mengingatnya. Sebuah luka akan kehilangan orang-orang yang dikasihinya.
“Papaku adalah staf di salah satu anak
perusahaan milik keluarga Arka.” Tatapan Calista kosong untuk beberapa saat
sebelum melanjutkan. “Kemudian sebuah kecelakaan menimpa papa dan adikku yang
akhirnya merenggut nyawa mereka. Di saat pemakaman merekalah aku bertemu Arka
untuk pertama kali.”
Ana menggenggam tangan Calista, wajahnya
yang tadi ceria berubah iba melihat Calista yang berusaha membendung air mata
ketika mengingat luka yang selama ini disimpannya sendiri. “Ta, enggak usah
dilanjutin. Maaf karena pertanyaanku malah membuatmu harus mengingat kenangan
pahit.”
Calista tersenyum. “Tidak apa. Bukankan
tidak ada lagi rahasia di antara kita?”
“Ta …”
“Apa kau mau mendengar kelanjutannya?”
Ana mengangguk.
“Sepeninggal papa, aku dan mama dililit
hutang yang tidak sedikit. Ternyata papa dikhianati oleh rekan bisnisnya. Kami
harus menjual semua aset yang kami miliki untuk membayar hutang tersebut, mulai
dari rumah, tanah, rumah makan kecil-kecilan yang dirintis mama, mobil bahkan
asuransi atas meninggalnya papa pun harus kami serahkan.
Tampaknya mama sulit untuk menerima
kenyataan itu. Dua bulan kemudian, mama memutuskan untuk bunuh diri. Setelah
kepergian mama, aku benar-benar sendiri, sebatang kara. Di pemakaman mama, aku
bertemu Arka untuk yang kedua kalinya.”
Calista mencoba tersenyum sedangkan Ana
mempererat genggamannya pada jemari Calista. Tak ada air mata yang jatuh dari
mata bulat Calista, sepertinya air matanya telah mengering akibat pahitnya
hidup yang selama ini dijalaninya
seorang diri sejak kehilangan keluarganya satu per satu.
“Miris bukan? Kisahku jauh dari kisah
cinta seperti drama Korea yang sering kau tonton. Kami tidak bertemu karena
saling bertabrakan kemudian saling menatap lalu saling jatuh cinta. Dua
pertemuan kami malah dimulai dari pemakaman orang-orang yang kucintai,” Calista
mencoba melucu tapi Ana tidak tertawa bahkan tersenyum. Hatinya ikut bersedih
mendengar duka dari seorang sahabat yang begitu tulus padanya.
“Pertemuan ketiga kami untunglah bukan
di pemakaman. Kalau saja kami bertemu untuk yang ketiga kalinya di pemakaman,
mungkin aku akan berpikir bahwa Arka adalah malaikat maut yang sedang
menyamar.”
“Lalu, dimana kalian bertemu?” Kali ini
sebuah senyum kembali terukir di wajah Ana setelah mereka tidak lagi membahas
keluarga Calista.
“Kami bertemu di toko buku.”
“Lalu? Lalu? Bagaimana kisah
selanjutnya?” tanya Ana penasaran.
Calista menguap lebar. Ia menutup
mulutnya yang terbuka dengan tangan. “Aku mengantuk. Kau tidak perlu khawatir
karena masih banyak hari dimana kau bisa mendengar kelanjutannya.”
Ana memukul pelan pundah Calista. Ia
membuat bibirnya semanyun mungkin pertanda ia tidak setuju kalau Calista
menggantungkan kisahnya.
Calista tertawa kecil. “Bisakah kita
tidak terlalu sering membahas Arka? Dia itu orang yang tidak bisa kau tebak.
Bisa jadi saat membicarakannya dia lalu muncul tiba-tiba di hadapan kita.
Seperti yang kau saksikan di toko buku tadi.”
Ana menautkan jemarinya di depan dada
lalu hanyut dalam lamunannya untuk sesaat. “Yang tadi itu sangat romantis.
Seorang tuan muda dari kerajaan bisnis ternama datang menemuimu langsung di
tempat kerja.”
Calista tiba-tiba teringat sesuatu, ia
mengurungkan niatnya untuk ke kamar. “Apa tidak ada yang curiga pada kami
berdua tadi?” tanya Calista penasaran.
Giliran Ana yang tersenyum jahil.
“Awalnya ada beberapa teman kita yang curiga saat Arka menunjukmu untuk
menemaninya. Tapi, kenyataan bahwa strata kalian yang benar-benar jauh berbeda
menutupi semua kecurigaan itu hingga hilang tak berbekas.”
“Syukurlah kalau begitu. Dan … hei itu
terdengar seperti kau sedang menghinaku,” canda Calista.
“Aku pun tidak akan percaya seandainya
tidak melihat dengan mata kepalaku sendiri saat tuan muda sepertinya datang ke
rumah sederhana kita ini dua minggu lalu untuk menemuimu.”
“Dan seandainya aku hanya menceritakan hubunganku
dengan Arka tanpa kau lihat kedatangannya dengan kepalamu sendiri, mungkin kau
akan berpikir kalau aku sedang membual atau sedang bermimpi,” tambah Calista
kemudian ia beranjak dari tempat duduknya menuju kamar.
“Hei … kau harus janji akan menceritakan
kelanjutannya nanti,” teriak Ana tepat di saat Calista menutup pintu kamar.
Dua
Arka sampai di kamarnya yang megah
setelah bertemu dengan Calista. Senyumnya otomastis terkembang ketika mengingat
wajah gadis yang telah menjadi kekasihnya selama empat tahun itu. Entah
mengapa, setiap kali bertemu dengan gadis itu, semua rasa lelahnya setelah
bekerja seperti terangkat seketika.
Arka baru saja akan merebahkan tubuhnya
yang sangat lelah ke tempat tidur saat pintunya diketuk oleh salah satu orang
kepercayaan mamanya. Arka kemudian bangkit lalu membuka pintunya dengan berat
hati.
“Maaf mengganggu Anda. Nyonya ingin
bertemu di ruang keluarga,” kata pria paruh baya yang sudah dipercayai oleh
keluarganya selama berpuluh tahun.
Arka mengangguk kemudian melangkah
mengikuti sekretaris keluarga mereka yang biasa dipanggilnya paman.
Arka menghentikan langkah sejenak sesaat
setelah ia sampai di ruang keluarga, ruang keluarga bergaya vitorian yang terlihat klasik, bagian
lantau menggunakan keramik berukuran besar dan marmer. Untuk mempercantik
ruang, pada bagian lantai dilapisi dengan karpet berwarna merah dengan motif
segitiga berwarna coklat. perabot-perabot yang didatangkan langsung dari luar
negeri dengan edisi terbatas. Di tengah ruang keluarga terlihat mamanya yang
sedang mengenakan piyama berwarna biru tua di samping sebuah perapian. Wanita
itu tetap tampak begitu anggun walau dalam balutan piyama, kulitnya masih
kencang walau usianya sudah menginjak lima puluh tujuh tahun, begitu pun dengan
badannya yang masih tampak bak model. Ia tetap menawan.
“Maaf mengganggu istirahatmu. Bagaimana
harimu? Apa semuanya baik-baik saja?” tanya sang mama mendekati putra sulungnya
yang masih terdiam di tempatnya.
“Apa tujuan Mama memanggilku ke sini?”
tanya Arka dingin.
Sang mama tersenyum. Senyum yang
mengandung sejuta arti. “Baiklah, mama tidak akan berbasa-basi lagi. Apa kau
masih berhubungan dengan gadis itu?”
Rahang Arka menengang tiba-tiba,
wajahnya terasa kaku. Ia tahu betul siapa gadis yang dimaksud mamanya tersebut.
Ia tidak pernah suka membahas soal Calista dengan mamanya.
“Bukankah kita sudah pernah membahas
soal ini, Mam? Aku selalu menuruti perintah mama, tidak pernah ada satu pun
perintah yang tidak kupatuhi. Untuk urusan Calista, kurasa mama harus menepati
janji mama.”
Mama Arka lagi-lagi tersenyum. Senyum
yang tidak biasa. “Kenapa mendadak menjadi serius seperti ini, Ka? Mama kan
hanya bertanya apakah kau masih menemuinya. Itu saja.”
“Jangan sentuh Calista, Mam. Ini ada
dalam perjanjian kita.”
Wanita cantik itu kemudian melangkah
menuju kursi berwarna putih yang dilapisi busa dan dibungkus dengan kulit yang
berada tepat di tengah ruang. Kemudian ia menyandarkan tubuhnya sambil
memainkan jemarinya. “Jangan cuma mengingatkan akan janji Mama. Apa kau ingat
kalau kau juga punya janji? Tidak lama lagi Mama akan menagihnya. Mama tidak
main-main akan perjanjian kita. Kau tahu akibatnya kan kalau kau tidak berhasil
memenuhi target yang mama berikan?”
“Tentu, Mam. Aku selalu mengingatnya.”
Arka masih sedingin tadi. Tatapannya sengit pada sang mama yang kini
membelakanginya. “Aku lelah. Aku mau istirahat.”
“Ya. Beristirahatlah dengan baik.”
*****
Arka kembali memasuki kamarnya yang
bernuansa biru muda. Berbeda dengan pertemuannya dengan Calista yang bisa
membuatnya tersenyum, pertemuan dengan mamanya barusan benar-benar mengusik
pikirannya, mengganggu hatinya.
Arka menghela napas berat berkali-kali.
Ia memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa ingin pecah, sebelah tangannya
mengepal dengan keras ketika ia menyandarkan tubuhnya ke tepi tempat tidurnya.
Ia memang tidak pernah suka ketika mamanya ikut campur pada hubungannya dengan
Calista. Ia tahu betul siapa mamanya. Ia tahu bagaimana mamanya sangat tidak
setuju dengan hubungannya dengan Calista. Ia tahu kalau mamanya adalah orang
yang menganut paham bahwa seseorang harus mencari pasangan sesuai status sosial
mereka. Dan Arka tahu betul bagaima berbahayanya sang mama jika ia tidak
menyukai sesuatu, semua hal bisa dilakukannya. Sampai saat ini yang melindungi
Calista hingga tak tersentuh oleh mamanya hanya sebuah perjanjian, perjanjian
yang terpaksa harus disetujui Arka untuk melindungi gadisnya.
Tok
tok tok
“Kak Arka ada di dalam? Ini Dela, Kak.”
Sebuah suara yang sangat dikenalnya terdengar
dari balik pintu. Arka buru-buru menormalkan raut wajahnya walau pikirannya
tetap saja kacau. Ia melangkah ke pintu untuk menemui adik semata wayangnya.
“Ada apa, Del?”
“Boleh Dela masuk?” Dela tersenyum manis
sehingga memperlihatkan gigi ginsulnya. Arka mengangguk kemudian kembali
memasuki kamarnya yang diikuti Dela di belakangnya.
“Mama mempermasalahkan Kak Calista lagi,
ya?” tanya Dela yang kini duduk di sebelah Arka.
“Tidak usah ikut campur urusan Kakak dan
Mama. Kau hanya perlu memikirkan sekolahmu atau mama akan mengirimmu kembali ke
Belanda.”
Dela seakan tidak mendengarkan kalimat
kakaknya. Tampaknya ia akan tetap membahas topik yang sama hingga beberapa
menit ke depan. “Sebenarnya Dela juga tidak setuju dengan paham elitisme yang
dianut mama, dimana golongan dari kelas
atas harus menikah dengan seseorang dari golongan yang sama. Bukankah menikah
dengan seseorang yang kita cintai terasa akan lebih menyenangkan sekali pun
orang itu dari golongan yang berbeda?”
Arka tertawa kecil. “Anak berumur enam
belas tahun bicara tentang pernikahan. Terdengar lucu sekali.”
Dela ikut tertawa. Gadis itu mewarisi
kecantikan mamanya. Bola mata berwarna caramel
yang dibingkai oleh bulu mata yang
indah, belum lagi dengan adanya lesung pipit di wajahnya, ia benar-benar
terlihat seperti Barbie dalam kehidupan nyata. Dela adalah Arka versi wanita.
“Kak, aku mencari tahu tentang Kak
Calista,” katanya agak takut.
Mendengar nama Calista, Arka sontak
menoleh. “Kau mencari tahu tentangnya?”
Dela mengangguk. “Ya. Aku meminta paman
untuk mencari info tentangnya.”
“Apa motifmu?” tanya Arka lagi.
Dela menggeleng. “Tidak. Tidak ada motif
apa-apa. Aku bukan mama. Aku hanya ingin mengenal gadis yang telah membuat
kakakku jatuh cinta. Lagi pula… salah Kakak sendiri karena tidak pernah mau
mengajakku bertemu dengannya, bahkan memperlihatkan fotonya saja Kakak tidak
pernah mau. Jadi, jangan salahkan aku kalau aku mencari tahu karena penasaran.”
Arka merangkul adiknya. Ia kembali
tersenyum, senyum yang sangat menenangkan. “Jangan menemuinya. Jangan
mengganggunya. Dia akan terbebani kalau kau menemuinya tiba-tiba. Jangan sampai
keluarga kita menambah beban di hidupnya. Calista sudah cukup menderita sejauh
ini.”
“Aku menyukainya, Kak. Kak Calista
terlihat sangat cantik di foto yang diberikan paman. Jauh lebih cantik dari
putri kolega-kolega papa yang pernah diperkenalkan ke Kakak. Dan satu lagi, dia
terlihat sangat baik. Aku seperti bisa merasakan aura kebaikannya walau hanya
melihatnya lewat sebuah foto.”
“Benarkah?”
Dela mengangguk mantap. “Tidak peduli
pada siapa pun Kakak nantinya, aku akan bahagia jika Kakak bahagia.”
Arka mengacak rambut panjang adiknya
kemudian mempererat rangkulannya. “Adikku sudah benar-benar dewasa sekarang,”
ucapnya lirih.