Yeyeyeyey lalalala. Sekarang saya mau share tentang naskah favorit saya, naskah yang membuat saya selalu ingin melanjutkan kisah manis di dalamnya. Baik. Kenapa saya mengatakan kalau naskah ini adalah naskah favorit saya? Hmm... karena selama penggarapannya, saya ketagihan untuk terus menulis hingga naskah ini menemui ending yang manis nan romantis. Kisah yang ada di dalamnya juga ringan dengan konflik yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, bahkan mungkin ada salah satu dari kalian yang pernah merasakannya. Saya berani mengatakan bahwa ide awalnya cukup mainstream karena menyangkut bagaimana dua orang sahabat yang sebenarnya saling menyukai berusaha menutupi perasaannya masing-masing. Tapi... tapi salah satu hal yang 'kuat' dalam naskah ini adalah karakternya. Karakter Riby yang polos dan menggemaskan harus beradu dengan Sky yang pendiam dan malu-malu. Banyak adegan lucu dan menghibur di dalamnya.
Dan... kabar gembira untuk kamu yang penasaran dengan kisah mereka, kisah tentang Riby dan Sky ini sudah di-acc oleh salah satu penerbit. Penerbitnya juga penerbit favorit saya. Hihi naskah favorit yang berjodoh dengan penerbit favorit ~ lalalalala~. Semoga bisa segera menghiasi rak-rak novel fiksi di seluruh Indonesia.
Oh iya, kisah ini melibatkan matahari, langit dan juga pohon cemara. Bagaimana keterkaitan antara ketiganya? Yuk, sama-sama kita simak cuplikannya.
Chapter 1
Bel
pulang adalah salah satu bunyi paling dinantikan oleh seluruh warga SMA Athira.
Bel tersebut baru saja berbunyi nyaring. Biasanya seiring dengan bunyi bel
tersebut, seluruh siswa akan bergegas membereskan peralatan sekolahnya
masing-masing. Tapi, suasana berbeda kini tampak di kelas XII IPA 1. Sebagian
besar penghuni kelas terlihat masih santai di tempat duduknya masing-masing.
“Oh
iya, By. Teman-teman kelas mau karokean bareng di Diva. Kamu ikut, kan?”
Riby
tidak memberi respon. Ia tetap sibuk membenahi buku-buku dan peralatan
tulisnya.
“Ikut kan, By?” Letha mengulangi
pertanyaannya. Ia memandangi cewek berambut panjang di sebelahnya yang sedang
sibuk memasukkan buku ke dalam tas.
Riby menggeleng pelan. Ada sebuah
senyuman di bibirnya yang mungil, senyum lebar yang membuat mata bulatnya yang
indah menyipit.
Letha menjentikkan jarinya ketika
teringat sesuatu.
“Ah iya, aku lupa! Hari ini Sky pulang,
kan?” Letha menepuk jidatnya. “Pantesan… dari tadi pagi aku perhatiin, kamu
senyam-senyum nggak jelas gitu.”
Riby mengangguk cepat, tetap dengan
senyumannya.
“Ya udah. Cepetan pulang sana! Kalau
kamu telat, nggak bisa liat Sky nanti,” kata Letha.
Riby lagi-lagi hanya membalas ocehan
Letha dengan senyuman. Dan tanpa banyak tingkah lagi, ia bergegas meninggalkan
kelasnya.
“Lain kali aku ikut kalian deh! Bye, Tha…”
****
Sesampainya di rumah, Riby buru-buru menuju kamarnya
bahkan tidak sempat membuka kaus kaki yang masih menempel di kakinya. Ia dengan
tergesa-gesa menuju jendela kamarnya yang menghadap persis ke rumah yang berada
di depan rumahnya.
Sebuah sedan hitam berhenti di depan
rumah itu beberapa menit setelah Riby berdiri di samping jendelanya. Seraut
wajah yang sangat ingin Riby lihat keluar dari mobil dengan menenteng koper di
tangan kirinya. Itu… Sky.
Sky adalah sahabat Riby sejak kecil.
Mulai dari TK sampai SMP mereka selalu berada di sekolah yang sama. Tapi,
setelah lulus SMP, Sky memutuskan untuk masuk sekolah khusus pria, dan memilih
untuk tinggal di asrama sekolah. Jadi, Sky hanya pulang ke rumah pada sabtu
siang, dan kembali lagi ke asramanya saat minggu sore. Itulah sebabnya, Riby
selalu menanti kepulangan Sky melalui jendela kamarnya secara
sembunyi-sembunyi.
“Ahhh… bodohnya aku ini! Selalu seperti
ini setiap minggunya,” kata Riby pada dirinya sendiri.
Pandangan Riby terus tertuju pada Sky
sampai sosok itu benar-benar hilang dari pandangannya. Wajah Sky yang tampan
ditambah mata yang tajam dan hidung mancung telah menjadi magnet tersendiri
yang bisa membuat siapa pun yang memandangnya dibuat takjub, termasuk Riby.
“Aduh… jantungku bisa copot setiap kali
melihatmu, Sky.”
*******
Sky langsung merebahkan tubuh di tempat
tidurnya saat ia sampai di kamarnya. Seminggu telah berlalu lagi, dan ia kini
kembali ke kamar kesayangannya. Sky memejamkan mata untuk sesaat, tiba-tiba
bayangan seraut wajah muncul dalam ingatannya.
Sky buru-buru bangkit dari tempat
tidurnya. Ia menuju ke jendela kamarnya, jendela yang berhadapan langsung
dengan kamar Riby yang berada di sebelah jalan sana. Mata Sky mendadak liar
mencari sosok Riby, pandangannya semakin liar saat ia tidak mendapati Riby yang
biasa terlihat beraktivitas di kamarnya, kini tidak terlihat batang hidungnya.
“Kalau kangen ya ditemuin, Kak. Jangan
cuma curi-curi pandang kayak gitu dari jendela. Jarang-jarang bisa ngeliat Kak
Riby, cuma seminggu sekali, kan?”
Suara Fai yang muncul tiba-tiba membuat
Sky salah tingkah. Sky buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah yang berbeda.
Fai tersenyum penuh arti di tempatnya
berdiri.
“Ngapain kamu masuk kamar Kakak? Nggak
pake ketuk pintu dulu lagi.”
“Yeee… aku ngetuk kok! Tapi, Kakak lagi
sibuk nyariin Kak Riby, makanya nggak denger.” Fai cekikikan sendiri.
Wajah Sky perlahan berubah merah.
Adiknya yang satu ini memang sangat blak-blakan, kalau ngomong nggak pernah
disaring dulu, keluar begitu saja seperti apa yang ada di dalam pikirannya.
“Faiirryyyy…” teriak Sky agak kesal.
Fai masih cekikikan karena
keberhasilannya menggoda kakaknya itu.
“Mama manggil Kakak di bawah. Makan
siang dulu katanya,” kata Fai di akhir tawanya.
“Iya. Sana keluar! Kakak mau ganti
baju.”
Fai mengikuti perintah kakaknya. Saat
hendak menutup pintu, Fai teringat sesuatu yang menurutnya bisa membuat
kakaknya sedikit menggalau.
“Oh iya, Kak. Kemarin sore, Kak Riby
ditembak sama anak kompleks sebelah loh.” Senyuman jahil tercetak jelas di
wajah Fai kali ini.
Sky menghela nafas panjang.
“Ngapain kamu laporan ke Kakak?”
“Karena… aku rasa Kakak perlu untuk
tahu. Hahahaha…”
Fai menutup kamar kakaknya. Tapi, suara
tawanya masih jelas terdengar di telinga Sky. Fai memang usil juga jahil, tapi
Sky tahu kalau Fai tidak pernah berbohong. Sky jadi kepikiran kata-kata Fai
tadi, ia jadi penasaran dengan jawaban Riby atas penembakan itu.
“Diterima
atau nggak, ya?” batin Sky.
Sky mengacak-acak rambutnya karena
pertanyaan itu membayanginya.
*******
“Gimana? Kamu ketemu Sky, By?” tanya
Letha dengan antusias.
Riby menggeleng pelan. “Nggak. Cuma liat
dari jendela aja.”
Letha menepuk jidatnya. Putus asa
sekaligus prihatin pada teman sebangkunya ini.
“Ck! Disapa kek, By. Apa susahnya sih
nyapa Sky?”
Riby menggulum bibirnya. “Nggak berani,
Tha. Malu juga… lagian Sky kan bukan anak-anak lagi kayak dulu yang bisa aku
sapa seenaknya.”
“Kamu mau diem-dieman terus kayak gitu?
Temenan nggak, musuhan juga nggak. Status kamu gantung banget, By.”
“Ya mau gimana lagi? Sky udah berubah…
bukan Sky yang dulu lagi.”
“Kan mungkin aja Sky juga gengsi nyapa
duluan, jadi kamu aja yang mulai nyapa duluan. Nggak salah kan?” lanjut Letha.
Riby memperbaiki poninya terlebih
dahulu. “Kalau dicuekin gimana?”
“Aduh, By… yang penting kamu udah nyapa.
Cuek atau nggak, itu perkara belakang.” Letha mulai emosi. Agak gemes dengan
kasus Riby. “Masak iya dia tega nyuekin kamu?”
“Aku nggak siap hati, Tha,” kata Riby
dengan wajah polosnya.
Akhirnya Letha menyerah untuk memberi
saran. Ia hanya bisa menghela nafas panjang menyaksikan keunikan persahabatan
Riby dan Sky.
“Tante-tante jomblo, lagi apa nih?”
Suara barusan sontak membuat Letha
memandang sinis ke arah whiteboard
tempat Kimby dan dua pengikutnya sedang berdiri berkacak pinggang.
Kimby, Fely, dan Naomi termasuk dalam
jajaran teman-teman kelas Letha dan Riby. Tapi, keberadaan Kimby dan dua
pengikutnya itu cukup mengusik Riby dan Letha. Akhir-akhir ini, Kimby memang
sedang gencar melancarkan pem-bully-an
terhadap Riby. Hal itu terjadi karena Kimby merasa tersaingi saat pelajaran
seni musik dimana Riby menjadi satu-satunya siswa di kelasnya yang mendapatkan
nilai sempurna karena Riby berhasil bernyanyi dan memainkan piano dengan tepat,
tanpa ada nada yang meleset.
Kimby memiliki wajah yang sangat cantik,
ia juga sangat pandai dalam berbagai hal, dan banyak siswa SMA Athirah yang
mengaguminya. Namun, kesempurnaan yang Kimby miliki membuatnya enggan merasa
tersaingi, itu sebabnya ia seringkali mengganggu orang-orang yang menurutnya
dapat mengganggu kepopulerannya. Nah, kali ini Riby yang menjadi targetnya.
Karena ulah Kimby dan dua pengikutnya, warga SMA Athirah sepakat memanggil
ketiganya dengan sebutan The Sirik Gank.
“Mau ngapain lagi tuh The Sirik Gank nyapa-nyapa kita?” kata
Letha dengan nada suara yang jelas terdengar kesal.
“Tauk. Udah ahh… nggak usah diladenin,
ntar juga pergi sendiri,” jawab Riby.
Dan kata-kata Riby terbukti
kebenarannya. Setelah bosan mengoceh sendiri di depan whiteboard tanpa ada seorang pun yang meladeni, Kimby akhirnya diam
sendiri, dan menghilang begitu saja saat bel istirahat berbunyi.
Chapter 2
Sky baru tiba di rumahnya beberapa menit
yang lalu, ia langsung duduk di depan laptop-nya
setelah meluangkan waktu menengok keberadaan Riby melalui jendelanya. Tampaknya
Riby belum pulang sekolah.
Mulai hari ini, Sky tidak menginap di
asrama untuk beberapa lama. Asrama Sky sedang dalam tahap renovasi, dan kamar
Sky menjadi salah satu yang terkena perbaikan. Jadi, Sky harus kembali ke rumah
sampai kamarnya selesai diperbaharui.
Tok…
tok… tok…
“Sky…” Suara mama terdengar dari luar
kamar.
“Masuk aja, Ma. Nggak dikunci kok!”
“Kamu lagi sibuk, Sky?”
Sky menoleh ke mamanya yang masih
berdiri di depan pintu.
“Nggak. Ada apa, Ma?”
“Mama mau minta tolong kamu untuk
nganterin barang.”
Sky menutup laptop di hadapannya setelah di shut
down. “Barang apa?”
“Oleh-oleh dari Papamu.”
“Emangnya mau diantar kemana, Ma?”
“Ke Tante Inka. Deket kan?”
Sky tersentak kaget. Tante Inka kan
mamanya Riby, berarti…
“Kenapa nggak nyuruh Fairy aja, Ma?”
Wajah Sky berubah khawatir.
“Fairy lagi ke rumah temennya. Kamu
aja,” pinta mamanya.
“Ta… pi… Ma…”
Mamanya memandang Sky dengan raut wajah
yang terlihat agak marah sambil menyilangkan kedua lengan di sekitar
diafragmanya.
“Sejak kapan anak Mama jadi pintar
ngebantah kayak gini?”
Sky menyerah, ia tahu bagaimana pedasnya
singgungan mamanya. Sky menghela nafas panjang, ia tidak mampu membantah lagi.
“Iya deh. Mana barangnya, Ma?”
Raut wajah sang mama langsung berubah
seratus delapan puluh derajat. Sebuah senyum mengembang di wajahnya. Tidak lama
setelah Sky mengiyakan, mama datang dengan membawa bingkisan dodol yang dibawa
papanya dari Garut tadi malam.
Sky melangkah dengan enggan ketika
keluar dari rumahnya. Cukup lama ia memandangi rumah yang berada persis di
depan rumahnya itu. Sudah lama sekali ia tidak kesana. Padahal saat masih
kecil, ia tidak pernah absen menginjakkan kakinya di rumah Riby bahkan sampai
ketiduran di sana pun juga pernah.
Sky akhirnya memantapkan hati untuk ke
rumah Riby. Toh, Riby juga tampaknya tidak ada di rumah, jadi kemungkinan untuk
bertemu dengannya sangat tipis. Ia akan cepat-cepat memberikan bingkisan itu
lalu pergi, cukup segitu saja. Daripada harus mendengar omelan mamanya yang tidak
akan habis dalam semalam.
Sky mulai kembali melangkahkan kaki
walau ada keraguan dalam hatinya.
*****
Ting… tong…
ting… tong…
Bel rumah Riby berbunyi nyaring.
“By, bukain pintunya! Ada tamu!” teriak
mamanya dari dapur.
Riby baru saja menginjakkan kaki di
puncak tangga untuk menuju kamarnya saat mamanya berteriak dari dapur. Ia baru
tiba dari sekolahnya, seragam juga masih lengkap di badannya. Sebenarnya ia
mendengar bunyi bel yang meraung-raung sejak tadi, tapi ia malas untuk turun
kembali, dan berharap mamanya lah yang akan membuka pintu.
Riby berjalan malas-malasan menuju
pintunya. Lelah sangat terlihat di wajahnya.
Ceklek. Pintu terbuka.
Ketika melihat siapa yang kini berada di
depan pintunya, Riby terpaku di tempatnya untuk beberapa lama. Ia sampai tidak
sadar kalau mulutnya menganga saat melihat Sky benar-benar nyata di hadapannya.
Sky juga terdiam tanpa kata. Cukup
canggung baginya untuk memulai percakapan kembali dengan Riby setelah waktu
yang selama ini dilewatkannya tanpa saling menyapa.
“Eh, kamu Sky? Ayo masuk!”
Suara mama yang tiba-tiba muncul dari
dalam membuat mereka sadar dari keterkejutan masing-masing.
“Kamu ini, By! Kok ada tamu malah nggak
disuruh kedalam,” tegur mama pada Riby yang sedang salah tingkah.
“Nggak usah, Tan. Sky cuma mau nganterin
bingkisan dari Mama.” Sky menyodorkan bingkisan berwarna hijau yang dibawanya.
Mama Riby tidak membiarkan Sky untuk
pergi begitu saja, Sky ditarik paksa ke dalam rumahnya. Sky kembali tidak bisa
berbuat apa-apa.
“Buat minum, By!” perintah mamanya.
Riby buru-buru menuju dapurnya. Ia
berusaha mengatur nafasnya yang sempat berhenti ketika melihat Sky. Jantungnya
berdebar tidak karuan, seakan bisa melompat dari tempatnya saat ini juga.
Riby menenangkan dirinya sebelum
melangkah ke ruang tamu dengan membawa nampan berisi dua gelas minuman.
Setelah mengantarkan minuman untuk
mamanya dan Sky, Riby buru-buru meninggalkan mereka. Berada lebih lama lagi di
dekat Sky bisa membuat jantungnya benar-benar melompat dari tempatnya saking
kencangnya si jantung berdetak.
“Mau kemana, By? Sini ngobrol dulu… Sky
kan jarang-jarang ada datang kesini. Dulu kan kalian akrab banget!”
“Riby ada PR, Ma.”
Riby menaiki tangga tanpa menoleh lagi.
Ia harus cepat-cepat mengambil jarak untuk segera menyelamatkan jantungnya yang
berdetak hebat. Tapi, Riby tidak langsung masuk kamarnya, ia menguping dari
puncak tangga. Suara Sky yang sedang ngobrol dengan mamanya terdengar samar,
tapi Riby tetap bisa menangkap setiap detail dari percakapan mereka, terutama
Sky.
“Loh, bukannya kamu baru pulang ke rumah
hari sabtu, Sky? Ini kan hari kamis, kok ada di rumah?” tanya mama Riby.
“Iya, Tante. Asramaku lagi direnovasi,
dan kamarku juga jadi salah satu yang ikut dibongkar. Jadi, sampai asrama
selesai dibangun, aku nginap di rumah dulu.”
Riby hampir meloncat kegirangan saat
mendengar kabar bahwa Sky akan berada di rumahnya dalam waktu yang cukup lama.
Dengan begitu, intensitasnya untuk melihat Sky juga akan bertambah. Riby
bersorak dalam hati.
Riby memegangi dadanya.
“Suara Sky… ahh sudah lama aku tidak
mendengarnya,” kata Riby pada dirinya sendiri.
Saat mendengar Sky pamit pada mamanya,
Riby buru-buru menuju jendela kamarnya. Ia tentu saja ingin melihat Sky yang
sedang berjalan pulang menuju rumah yang berada di seberang jalan sana.
Sky memang tampan, bahkan memiliki kadar
ketampanan jauh di atas rata-rata. Wajahnya yang menawan sangat didukung oleh tubuhnya yang tinggi juga kulit
yang putih bersih. Benar-benar ideal untuk dijadikan tipe idaman.
Riby kembali terpaku di tempatnya. Sosok
Sky begitu mempesonanya.
*****
“Kak Ribyyyy… selamat pagi,” teriak Fai
dari depan rumahnya.
Riby melambaikan tangannya setelah
mengunci pagar rumah.
“Pagi, Fai.”
“Mau ke sekolah ya, Kak?”
“Iya, Fai. Fai juga kan?”
Belum sempat Fai menjawab, Sky sudah
keluar dari rumahnya. Riby yang melihat Sky, buru-buru memalingkan wajah ke
arah yang berbeda. Wajahnya mendadak panas.
Fai sumringah. Ia kembali teriak. “Kak
Riby, berangkatnya bareng kita aja. Sekolah Kakak kan deketan sama sekolahnya
Kak Sky.”
Riby melirik Sky sebentar, tapi Sky
tidak memberi respon apa-apa. Riby buru-buru menolaknya.
“Nggak usah, Fai. Aku mau berangkat sama
temen. Duluan ya… bye.”
Tanpa menoleh lagi, Riby bergegas
melangkahkan kaki.
Sky memandangi tubuh Riby yang makin
menjauh. Wajah Riby masih sama imutnya seperti dulu, hanya saja rambutnya
sekarang tergerai indah hampir menyentuh pinggang, padahal dulu hanya sebatas
bahu saja. Riby tumbuh menjadi remaja yang cantik, dan tidak membosankan untuk
dipandang.
Cukup lama Sky memandangi seraut wajah
yang dulu begitu dekat dengannya, tak terpisahkan dengannya, selalu ada di
sampingnya.
Sky melihat gelang coklat yang berada di
tangan Riby sekilas. Ia lalu menghela nafas berat.
“Ishhh… Kakak ini kok kaku banget sih?
Kak Riby kan sahabat Kakak dari kecil, kenapa sekarang jadi kayak nggak saling
kenal?”
Sky terdiam.
“Kenapa nggak ngajakin Kak Riby
berangkat bareng kita aja, Kak?” lanjut Fai dengan nada suara yang kesal.
“Kamu kan udah ngajak. Lagian, dia juga
nggak mau kok.”
Fai menghentakkan kaki saking sebalnya.
“Ya ampun, Kak! Basa-basi dikit kenapa
sih? Lagian apa salahnya kalau Kakak juga ikut ngajak Kak Riby?”
“Masuk mobil gih! Atau Kakak tinggal
nih,” ancam Sky saat memasuki mobilnya.
Fai mendengus kesal tapi tetap nurut
untuk segera memasuki mobil.
“Kenapa Kakak dan Kak Riby jadi saling
menjauh gini sih?” Fai melanjutkan ocehannya. “Padahal, dulu itu kemana-mana
barengan. Ckckckck… dunia SMA memang sulit untuk dimengerti.”
Sky tetap berkonsentrasi pada kegiatan
menyetirnya.
“Kakak itu harus lebih peka. Kak Riby
diambil orang lain baru nyesel loh…”
“Anak kecil diam aja!” perintah Sky.
“Eh enak aja! Aku ini udah kelas
sembilan SMP, Kak. Bentar lagi juga udah pake seragam SMA. Pengalaman hidupku
bahkan jauh lebih banyak dibanding Kakak yang menghabisakan waktu dengan cara
membosankan di asrama.”
Sky tertawa kecil menanggapi kebawelan
adiknya.
“Bisa diam nggak. Fai? Kakak turunin di
tengah jalan nih!” ancam Sky dengan nada bercanda.
*****
Pulang sekolah tadi, Riby sepakat untuk mengerjakan
tugas di rumah Letha. Mereka berdua sedang dalam perjalanan menuju rumah Letha
yang terletak di dekat SMP tempat Riby dulu bersekolah.
Riby tidak hentinya memandangi gelang
coklat yang sudah bertahun-tahun menghiasi tangannya. Gelang coklat itu adalah
hadiah dari Sky saat ia berulang tahun yang ke-14. Riby jadi senyum-senyum
sendiri mengingat Sky yang tidak akan kembali ke asrama dalam waktu yang cukup
lama.
Letha mencolek pundak Riby yang berjalan
di sebelahnya. “Dari pagi senyam-senyum sendiri. Nggak kering tuh gigi?”
Riby menoleh ke arah Letha sambil
tersenyum malu-malu. “Kemarin, Sky ke rumahku, Tha.”
Letha terlonjak kaget. Ini benar-benar
suatu kemajuan pikirnya.
“Serius? Jadi kalian ngobrol apa aja?
Aduhh, By… akhirnya… akhirnya.”
Raut wajah Riby mendadak berubah. Ia
terlihat sedikit kecewa.
“Nggak ngobrol, Tha.”
“Ahh??? Nggak ngobrol? Trus ngapain
aja?” Letha kembali terkejut. Baru saja ia berpikir kalau Riby sudah mengalami
kemajuan, tapi ternyata Riby hari ini masih saja sama dengan Riby di hari-hari
sebelumnya.
“Ngobrolnya sama Mamaku, Tha. Tapi, aku
nguping kok! Beneran!” Riby berusaha meyakinkan.
Letha menepuk jidatnya. Kembali putus
asa.
“Ck! Sekat antara polos dan sedikit
bodoh itu memang tipis,” kata Letha dengan nada suara yang diperkecil.
Tapi, Riby mendengar kata-kata Letha
barusan, dan sukses membuat Letha menerima pukulan di lengannya.
“Tunggu… bukannya kemarin hari kamis,
By? Kok Sky ada di rumah?” tanya Letha penasaran.
“Asramanya lagi dibangun, dan kamar Sky
juga dibongkar. Makanya, Sky bakalan tinggal di rumahnya sampai asramanya
selesai.” Riby menjelaskan dengan penuh semangat.
Setelah menyelesaikan kalimatnya, Riby
mendadak menghentikan langkah di depan sebuah pohon cemara yang terletak tidak
jauh dari SMP-nya dahulu.
“Nah, di pohon cemara ini ada mitos
loh,” kata Letha yang tidak menyadari perubahan ekspresi wajah Riby. “Katanya
kalau sepasang kekasih atau sepasang sahabat berada di bawah pohon cemara ini
saat langit mendung, hubungan mereka akan berakhir perlahan-lahan. Kamu tau
nggak?”
Riby mengangguk. “Aku tau.”
Ya, Riby memang tahu, bahkan sangat
tahu. Ia sangat percaya bahwa mitos itu benar-benar terjadi. Mitos inilah yang
membentangkan jarak antara ia dan Sky saat ini. Mitos inilah yang membangun
tembok penghalang yang sangat tebal dalam persahabatan yang selama ini
dijalinnya bersama Sky. Mitos inilah awal dari semua langkah-langkah Sky yang
perlahan menjauh darinya.
Pikiran Riby tiba-tiba melayang pada
masa SMP-nya dan Sky. Bermula dari keisengannya yang ingin membuktikan
kebenaran dari mitos itu, ia mengajak Sky untuk berada di bawah pohon cemara
tersebut saat langit berubah mendung. Awalnya Sky tidak mau, tapi akhirnya ia
menyerah pada rengekan Riby yang sangat penasaran dengan mitos tersebut.
Beberapa bulan setelah mereka melakukan
kenekatan itu, kutukan pohon cemara mulai terasa. Sejak selesainya acara
kelulusan, Sky semakin menjauh setiap harinya, sampai membentangkan jarak yang
saat ini sudah sangat sulit untuk dilalui, terlalu sulit untuk memulainya
kembali.
Sampai saat ini, Riby begitu menyesal akan
kebodohannya untuk membuktikan kutukan pohon cemara, sampai-sampai ia harus
kehilangan sahabat yang selama ini selalu setia berada di sisinya.
“By, kamu ngelamunin apa?”
Suara Letha menyadarkan Riby dari
lamunannya.
Riby menggeleng cepat. “Nggak ada apa-apa.
Yuk!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar