Translate

Search

Kamis, 05 November 2015

S K Y

Yeyeyeyey lalalala. Sekarang saya mau share tentang naskah favorit saya, naskah yang membuat saya selalu ingin melanjutkan kisah manis di dalamnya. Baik. Kenapa saya mengatakan kalau naskah ini adalah naskah favorit saya? Hmm... karena selama penggarapannya, saya ketagihan untuk terus menulis hingga naskah ini menemui ending yang manis nan romantis. Kisah yang ada di dalamnya juga ringan dengan konflik yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, bahkan mungkin ada salah satu dari kalian yang pernah merasakannya. Saya berani mengatakan bahwa ide awalnya cukup mainstream karena menyangkut bagaimana dua orang sahabat yang sebenarnya saling menyukai berusaha menutupi perasaannya masing-masing. Tapi... tapi salah satu hal yang 'kuat' dalam naskah ini adalah karakternya. Karakter Riby yang polos dan menggemaskan harus beradu dengan Sky yang pendiam dan malu-malu. Banyak adegan lucu dan menghibur di dalamnya.

Dan... kabar gembira untuk kamu yang penasaran dengan kisah mereka, kisah tentang Riby dan Sky ini sudah di-acc oleh salah satu penerbit. Penerbitnya juga penerbit favorit saya. Hihi naskah favorit yang berjodoh dengan penerbit favorit ~ lalalalala~. Semoga bisa segera menghiasi rak-rak novel fiksi di seluruh Indonesia. 

Oh iya, kisah ini melibatkan matahari, langit dan juga pohon cemara. Bagaimana keterkaitan antara ketiganya? Yuk, sama-sama kita simak cuplikannya.



Chapter 1

            Bel pulang adalah salah satu bunyi paling dinantikan oleh seluruh warga SMA Athira. Bel tersebut baru saja berbunyi nyaring. Biasanya seiring dengan bunyi bel tersebut, seluruh siswa akan bergegas membereskan peralatan sekolahnya masing-masing. Tapi, suasana berbeda kini tampak di kelas XII IPA 1. Sebagian besar penghuni kelas terlihat masih santai di tempat duduknya masing-masing.
            “Oh iya, By. Teman-teman kelas mau karokean bareng di Diva. Kamu ikut, kan?”
            Riby tidak memberi respon. Ia tetap sibuk membenahi buku-buku dan peralatan tulisnya.
“Ikut kan, By?” Letha mengulangi pertanyaannya. Ia memandangi cewek berambut panjang di sebelahnya yang sedang sibuk memasukkan buku ke dalam tas.
Riby menggeleng pelan. Ada sebuah senyuman di bibirnya yang mungil, senyum lebar yang membuat mata bulatnya yang indah menyipit.
Letha menjentikkan jarinya ketika teringat sesuatu.
“Ah iya, aku lupa! Hari ini Sky pulang, kan?” Letha menepuk jidatnya. “Pantesan… dari tadi pagi aku perhatiin, kamu senyam-senyum nggak jelas gitu.”
Riby mengangguk cepat, tetap dengan senyumannya.
“Ya udah. Cepetan pulang sana! Kalau kamu telat, nggak bisa liat Sky nanti,” kata Letha.
Riby lagi-lagi hanya membalas ocehan Letha dengan senyuman. Dan tanpa banyak tingkah lagi, ia bergegas meninggalkan kelasnya.
“Lain kali aku ikut kalian deh! Bye, Tha…”
****
          Sesampainya di rumah, Riby buru-buru menuju kamarnya bahkan tidak sempat membuka kaus kaki yang masih menempel di kakinya. Ia dengan tergesa-gesa menuju jendela kamarnya yang menghadap persis ke rumah yang berada di depan rumahnya.
Sebuah sedan hitam berhenti di depan rumah itu beberapa menit setelah Riby berdiri di samping jendelanya. Seraut wajah yang sangat ingin Riby lihat keluar dari mobil dengan menenteng koper di tangan kirinya. Itu… Sky.
Sky adalah sahabat Riby sejak kecil. Mulai dari TK sampai SMP mereka selalu berada di sekolah yang sama. Tapi, setelah lulus SMP, Sky memutuskan untuk masuk sekolah khusus pria, dan memilih untuk tinggal di asrama sekolah. Jadi, Sky hanya pulang ke rumah pada sabtu siang, dan kembali lagi ke asramanya saat minggu sore. Itulah sebabnya, Riby selalu menanti kepulangan Sky melalui jendela kamarnya secara sembunyi-sembunyi.
“Ahhh… bodohnya aku ini! Selalu seperti ini setiap minggunya,” kata Riby pada dirinya sendiri.
Pandangan Riby terus tertuju pada Sky sampai sosok itu benar-benar hilang dari pandangannya. Wajah Sky yang tampan ditambah mata yang tajam dan hidung mancung telah menjadi magnet tersendiri yang bisa membuat siapa pun yang memandangnya dibuat takjub, termasuk Riby.
“Aduh… jantungku bisa copot setiap kali melihatmu, Sky.”
*******
Sky langsung merebahkan tubuh di tempat tidurnya saat ia sampai di kamarnya. Seminggu telah berlalu lagi, dan ia kini kembali ke kamar kesayangannya. Sky memejamkan mata untuk sesaat, tiba-tiba bayangan seraut wajah muncul dalam ingatannya.
Sky buru-buru bangkit dari tempat tidurnya. Ia menuju ke jendela kamarnya, jendela yang berhadapan langsung dengan kamar Riby yang berada di sebelah jalan sana. Mata Sky mendadak liar mencari sosok Riby, pandangannya semakin liar saat ia tidak mendapati Riby yang biasa terlihat beraktivitas di kamarnya, kini tidak terlihat batang hidungnya.
“Kalau kangen ya ditemuin, Kak. Jangan cuma curi-curi pandang kayak gitu dari jendela. Jarang-jarang bisa ngeliat Kak Riby, cuma seminggu sekali, kan?”
Suara Fai yang muncul tiba-tiba membuat Sky salah tingkah. Sky buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah yang berbeda.
Fai tersenyum penuh arti di tempatnya berdiri.
“Ngapain kamu masuk kamar Kakak? Nggak pake ketuk pintu dulu lagi.”
“Yeee… aku ngetuk kok! Tapi, Kakak lagi sibuk nyariin Kak Riby, makanya nggak denger.” Fai cekikikan sendiri.
Wajah Sky perlahan berubah merah. Adiknya yang satu ini memang sangat blak-blakan, kalau ngomong nggak pernah disaring dulu, keluar begitu saja seperti apa yang ada di dalam pikirannya.
“Faiirryyyy…” teriak Sky agak kesal.
Fai masih cekikikan karena keberhasilannya menggoda kakaknya itu.
“Mama manggil Kakak di bawah. Makan siang dulu katanya,” kata Fai di akhir tawanya.
“Iya. Sana keluar! Kakak mau ganti baju.”
Fai mengikuti perintah kakaknya. Saat hendak menutup pintu, Fai teringat sesuatu yang menurutnya bisa membuat kakaknya sedikit menggalau.
“Oh iya, Kak. Kemarin sore, Kak Riby ditembak sama anak kompleks sebelah loh.” Senyuman jahil tercetak jelas di wajah Fai kali ini.
Sky menghela nafas panjang.
“Ngapain kamu laporan ke Kakak?”
“Karena… aku rasa Kakak perlu untuk tahu. Hahahaha…”
Fai menutup kamar kakaknya. Tapi, suara tawanya masih jelas terdengar di telinga Sky. Fai memang usil juga jahil, tapi Sky tahu kalau Fai tidak pernah berbohong. Sky jadi kepikiran kata-kata Fai tadi, ia jadi penasaran dengan jawaban Riby atas penembakan itu.
Diterima atau nggak, ya?” batin Sky.
Sky mengacak-acak rambutnya karena pertanyaan itu membayanginya.
*******
“Gimana? Kamu ketemu Sky, By?” tanya Letha dengan antusias.
Riby menggeleng pelan. “Nggak. Cuma liat dari jendela aja.”
Letha menepuk jidatnya. Putus asa sekaligus prihatin pada teman sebangkunya ini.
“Ck! Disapa kek, By. Apa susahnya sih nyapa Sky?”
Riby menggulum bibirnya. “Nggak berani, Tha. Malu juga… lagian Sky kan bukan anak-anak lagi kayak dulu yang bisa aku sapa seenaknya.”
“Kamu mau diem-dieman terus kayak gitu? Temenan nggak, musuhan juga nggak. Status kamu gantung banget, By.”
“Ya mau gimana lagi? Sky udah berubah… bukan Sky yang dulu lagi.”
“Kan mungkin aja Sky juga gengsi nyapa duluan, jadi kamu aja yang mulai nyapa duluan. Nggak salah kan?” lanjut Letha.
Riby memperbaiki poninya terlebih dahulu. “Kalau dicuekin gimana?”
“Aduh, By… yang penting kamu udah nyapa. Cuek atau nggak, itu perkara belakang.” Letha mulai emosi. Agak gemes dengan kasus Riby. “Masak iya dia tega nyuekin kamu?”
“Aku nggak siap hati, Tha,” kata Riby dengan wajah polosnya.
Akhirnya Letha menyerah untuk memberi saran. Ia hanya bisa menghela nafas panjang menyaksikan keunikan persahabatan Riby dan Sky.
“Tante-tante jomblo, lagi apa nih?”
Suara barusan sontak membuat Letha memandang sinis ke arah whiteboard tempat Kimby dan dua pengikutnya sedang berdiri berkacak pinggang.
Kimby, Fely, dan Naomi termasuk dalam jajaran teman-teman kelas Letha dan Riby. Tapi, keberadaan Kimby dan dua pengikutnya itu cukup mengusik Riby dan Letha. Akhir-akhir ini, Kimby memang sedang gencar melancarkan pem-bully-an terhadap Riby. Hal itu terjadi karena Kimby merasa tersaingi saat pelajaran seni musik dimana Riby menjadi satu-satunya siswa di kelasnya yang mendapatkan nilai sempurna karena Riby berhasil bernyanyi dan memainkan piano dengan tepat, tanpa ada nada yang meleset.
Kimby memiliki wajah yang sangat cantik, ia juga sangat pandai dalam berbagai hal, dan banyak siswa SMA Athirah yang mengaguminya. Namun, kesempurnaan yang Kimby miliki membuatnya enggan merasa tersaingi, itu sebabnya ia seringkali mengganggu orang-orang yang menurutnya dapat mengganggu kepopulerannya. Nah, kali ini Riby yang menjadi targetnya. Karena ulah Kimby dan dua pengikutnya, warga SMA Athirah sepakat memanggil ketiganya dengan sebutan The Sirik Gank.
“Mau ngapain lagi tuh The Sirik Gank nyapa-nyapa kita?” kata Letha dengan nada suara yang jelas terdengar kesal.
“Tauk. Udah ahh… nggak usah diladenin, ntar juga pergi sendiri,” jawab Riby.
Dan kata-kata Riby terbukti kebenarannya. Setelah bosan mengoceh sendiri di depan whiteboard tanpa ada seorang pun yang meladeni, Kimby akhirnya diam sendiri, dan menghilang begitu saja saat bel istirahat berbunyi.




Chapter 2

Sky baru tiba di rumahnya beberapa menit yang lalu, ia langsung duduk di depan laptop-nya setelah meluangkan waktu menengok keberadaan Riby melalui jendelanya. Tampaknya Riby belum pulang sekolah.
Mulai hari ini, Sky tidak menginap di asrama untuk beberapa lama. Asrama Sky sedang dalam tahap renovasi, dan kamar Sky menjadi salah satu yang terkena perbaikan. Jadi, Sky harus kembali ke rumah sampai kamarnya selesai diperbaharui.
Tok… tok… tok…
“Sky…” Suara mama terdengar dari luar kamar.
“Masuk aja, Ma. Nggak dikunci kok!”
“Kamu lagi sibuk, Sky?”
Sky menoleh ke mamanya yang masih berdiri di depan pintu.
“Nggak. Ada apa, Ma?”
“Mama mau minta tolong kamu untuk nganterin barang.”
Sky menutup laptop di hadapannya setelah di shut down. “Barang apa?”
“Oleh-oleh dari Papamu.”
“Emangnya mau diantar kemana, Ma?”
“Ke Tante Inka. Deket kan?”
Sky tersentak kaget. Tante Inka kan mamanya Riby, berarti…
“Kenapa nggak nyuruh Fairy aja, Ma?” Wajah Sky berubah khawatir.
“Fairy lagi ke rumah temennya. Kamu aja,” pinta mamanya.
“Ta… pi… Ma…”
Mamanya memandang Sky dengan raut wajah yang terlihat agak marah sambil menyilangkan kedua lengan di sekitar diafragmanya.
“Sejak kapan anak Mama jadi pintar ngebantah kayak gini?”
Sky menyerah, ia tahu bagaimana pedasnya singgungan mamanya. Sky menghela nafas panjang, ia tidak mampu membantah lagi.
“Iya deh. Mana barangnya, Ma?”
Raut wajah sang mama langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Sebuah senyum mengembang di wajahnya. Tidak lama setelah Sky mengiyakan, mama datang dengan membawa bingkisan dodol yang dibawa papanya dari Garut tadi malam.
Sky melangkah dengan enggan ketika keluar dari rumahnya. Cukup lama ia memandangi rumah yang berada persis di depan rumahnya itu. Sudah lama sekali ia tidak kesana. Padahal saat masih kecil, ia tidak pernah absen menginjakkan kakinya di rumah Riby bahkan sampai ketiduran di sana pun juga pernah.
Sky akhirnya memantapkan hati untuk ke rumah Riby. Toh, Riby juga tampaknya tidak ada di rumah, jadi kemungkinan untuk bertemu dengannya sangat tipis. Ia akan cepat-cepat memberikan bingkisan itu lalu pergi, cukup segitu saja. Daripada harus mendengar omelan mamanya yang tidak akan habis dalam semalam.
Sky mulai kembali melangkahkan kaki walau ada keraguan dalam hatinya.
*****
          Ting… tong… ting… tong…
Bel rumah Riby berbunyi nyaring.
“By, bukain pintunya! Ada tamu!” teriak mamanya dari dapur.
Riby baru saja menginjakkan kaki di puncak tangga untuk menuju kamarnya saat mamanya berteriak dari dapur. Ia baru tiba dari sekolahnya, seragam juga masih lengkap di badannya. Sebenarnya ia mendengar bunyi bel yang meraung-raung sejak tadi, tapi ia malas untuk turun kembali, dan berharap mamanya lah yang akan membuka pintu.
Riby berjalan malas-malasan menuju pintunya. Lelah sangat terlihat di wajahnya.
Ceklek. Pintu terbuka.
Ketika melihat siapa yang kini berada di depan pintunya, Riby terpaku di tempatnya untuk beberapa lama. Ia sampai tidak sadar kalau mulutnya menganga saat melihat Sky benar-benar nyata di hadapannya.
Sky juga terdiam tanpa kata. Cukup canggung baginya untuk memulai percakapan kembali dengan Riby setelah waktu yang selama ini dilewatkannya tanpa saling menyapa.
“Eh, kamu Sky? Ayo masuk!”
Suara mama yang tiba-tiba muncul dari dalam membuat mereka sadar dari keterkejutan masing-masing.
“Kamu ini, By! Kok ada tamu malah nggak disuruh kedalam,” tegur mama pada Riby yang sedang salah tingkah.
“Nggak usah, Tan. Sky cuma mau nganterin bingkisan dari Mama.” Sky menyodorkan bingkisan berwarna hijau yang dibawanya.
Mama Riby tidak membiarkan Sky untuk pergi begitu saja, Sky ditarik paksa ke dalam rumahnya. Sky kembali tidak bisa berbuat apa-apa.
“Buat minum, By!” perintah mamanya.
Riby buru-buru menuju dapurnya. Ia berusaha mengatur nafasnya yang sempat berhenti ketika melihat Sky. Jantungnya berdebar tidak karuan, seakan bisa melompat dari tempatnya saat ini juga.
Riby menenangkan dirinya sebelum melangkah ke ruang tamu dengan membawa nampan berisi dua gelas minuman.
Setelah mengantarkan minuman untuk mamanya dan Sky, Riby buru-buru meninggalkan mereka. Berada lebih lama lagi di dekat Sky bisa membuat jantungnya benar-benar melompat dari tempatnya saking kencangnya si jantung berdetak.
“Mau kemana, By? Sini ngobrol dulu… Sky kan jarang-jarang ada datang kesini. Dulu kan kalian akrab banget!”
“Riby ada PR, Ma.”
Riby menaiki tangga tanpa menoleh lagi. Ia harus cepat-cepat mengambil jarak untuk segera menyelamatkan jantungnya yang berdetak hebat. Tapi, Riby tidak langsung masuk kamarnya, ia menguping dari puncak tangga. Suara Sky yang sedang ngobrol dengan mamanya terdengar samar, tapi Riby tetap bisa menangkap setiap detail dari percakapan mereka, terutama Sky.
“Loh, bukannya kamu baru pulang ke rumah hari sabtu, Sky? Ini kan hari kamis, kok ada di rumah?” tanya mama Riby.
“Iya, Tante. Asramaku lagi direnovasi, dan kamarku juga jadi salah satu yang ikut dibongkar. Jadi, sampai asrama selesai dibangun, aku nginap di rumah dulu.”
Riby hampir meloncat kegirangan saat mendengar kabar bahwa Sky akan berada di rumahnya dalam waktu yang cukup lama. Dengan begitu, intensitasnya untuk melihat Sky juga akan bertambah. Riby bersorak dalam hati.
Riby memegangi dadanya.
“Suara Sky… ahh sudah lama aku tidak mendengarnya,” kata Riby pada dirinya sendiri.
Saat mendengar Sky pamit pada mamanya, Riby buru-buru menuju jendela kamarnya. Ia tentu saja ingin melihat Sky yang sedang berjalan pulang menuju rumah yang berada di seberang jalan sana.
Sky memang tampan, bahkan memiliki kadar ketampanan jauh di atas rata-rata. Wajahnya yang menawan sangat  didukung oleh tubuhnya yang tinggi juga kulit yang putih bersih. Benar-benar ideal untuk dijadikan tipe idaman.
Riby kembali terpaku di tempatnya. Sosok Sky begitu mempesonanya.
*****
“Kak Ribyyyy… selamat pagi,” teriak Fai dari depan rumahnya.
Riby melambaikan tangannya setelah mengunci pagar rumah.
“Pagi, Fai.”
“Mau ke sekolah ya, Kak?”
“Iya, Fai. Fai juga kan?”
Belum sempat Fai menjawab, Sky sudah keluar dari rumahnya. Riby yang melihat Sky, buru-buru memalingkan wajah ke arah yang berbeda. Wajahnya mendadak panas.
Fai sumringah. Ia kembali teriak. “Kak Riby, berangkatnya bareng kita aja. Sekolah Kakak kan deketan sama sekolahnya Kak Sky.”
Riby melirik Sky sebentar, tapi Sky tidak memberi respon apa-apa. Riby buru-buru menolaknya.
“Nggak usah, Fai. Aku mau berangkat sama temen. Duluan ya… bye.”
Tanpa menoleh lagi, Riby bergegas melangkahkan kaki.
Sky memandangi tubuh Riby yang makin menjauh. Wajah Riby masih sama imutnya seperti dulu, hanya saja rambutnya sekarang tergerai indah hampir menyentuh pinggang, padahal dulu hanya sebatas bahu saja. Riby tumbuh menjadi remaja yang cantik, dan tidak membosankan untuk dipandang.
Cukup lama Sky memandangi seraut wajah yang dulu begitu dekat dengannya, tak terpisahkan dengannya, selalu ada di sampingnya.
Sky melihat gelang coklat yang berada di tangan Riby sekilas. Ia lalu menghela nafas berat.
“Ishhh… Kakak ini kok kaku banget sih? Kak Riby kan sahabat Kakak dari kecil, kenapa sekarang jadi kayak nggak saling kenal?”
Sky terdiam.
“Kenapa nggak ngajakin Kak Riby berangkat bareng kita aja, Kak?” lanjut Fai dengan nada suara yang kesal.
“Kamu kan udah ngajak. Lagian, dia juga nggak mau kok.”
Fai menghentakkan kaki saking sebalnya.
“Ya ampun, Kak! Basa-basi dikit kenapa sih? Lagian apa salahnya kalau Kakak juga ikut ngajak Kak Riby?”
“Masuk mobil gih! Atau Kakak tinggal nih,” ancam Sky saat memasuki mobilnya.
Fai mendengus kesal tapi tetap nurut untuk segera memasuki mobil.
“Kenapa Kakak dan Kak Riby jadi saling menjauh gini sih?” Fai melanjutkan ocehannya. “Padahal, dulu itu kemana-mana barengan. Ckckckck… dunia SMA memang sulit untuk dimengerti.”
Sky tetap berkonsentrasi pada kegiatan menyetirnya.
“Kakak itu harus lebih peka. Kak Riby diambil orang lain baru nyesel loh…”
“Anak kecil diam aja!” perintah Sky.
“Eh enak aja! Aku ini udah kelas sembilan SMP, Kak. Bentar lagi juga udah pake seragam SMA. Pengalaman hidupku bahkan jauh lebih banyak dibanding Kakak yang menghabisakan waktu dengan cara membosankan di asrama.”
Sky tertawa kecil menanggapi kebawelan adiknya.
“Bisa diam nggak. Fai? Kakak turunin di tengah jalan nih!” ancam Sky dengan nada bercanda.
*****
          Pulang sekolah tadi, Riby sepakat untuk mengerjakan tugas di rumah Letha. Mereka berdua sedang dalam perjalanan menuju rumah Letha yang terletak di dekat SMP tempat Riby dulu bersekolah.
Riby tidak hentinya memandangi gelang coklat yang sudah bertahun-tahun menghiasi tangannya. Gelang coklat itu adalah hadiah dari Sky saat ia berulang tahun yang ke-14. Riby jadi senyum-senyum sendiri mengingat Sky yang tidak akan kembali ke asrama dalam waktu yang cukup lama.
Letha mencolek pundak Riby yang berjalan di sebelahnya. “Dari pagi senyam-senyum sendiri. Nggak kering tuh gigi?”
Riby menoleh ke arah Letha sambil tersenyum malu-malu. “Kemarin, Sky ke rumahku, Tha.”
Letha terlonjak kaget. Ini benar-benar suatu kemajuan pikirnya.
“Serius? Jadi kalian ngobrol apa aja? Aduhh, By… akhirnya… akhirnya.”
Raut wajah Riby mendadak berubah. Ia terlihat sedikit kecewa.
“Nggak ngobrol, Tha.”
“Ahh??? Nggak ngobrol? Trus ngapain aja?” Letha kembali terkejut. Baru saja ia berpikir kalau Riby sudah mengalami kemajuan, tapi ternyata Riby hari ini masih saja sama dengan Riby di hari-hari sebelumnya.
“Ngobrolnya sama Mamaku, Tha. Tapi, aku nguping kok! Beneran!” Riby berusaha meyakinkan.
Letha menepuk jidatnya. Kembali putus asa.
“Ck! Sekat antara polos dan sedikit bodoh itu memang tipis,” kata Letha dengan nada suara yang diperkecil.
Tapi, Riby mendengar kata-kata Letha barusan, dan sukses membuat Letha menerima pukulan di lengannya.
“Tunggu… bukannya kemarin hari kamis, By? Kok Sky ada di rumah?” tanya Letha penasaran.
“Asramanya lagi dibangun, dan kamar Sky juga dibongkar. Makanya, Sky bakalan tinggal di rumahnya sampai asramanya selesai.” Riby menjelaskan dengan penuh semangat.
Setelah menyelesaikan kalimatnya, Riby mendadak menghentikan langkah di depan sebuah pohon cemara yang terletak tidak jauh dari SMP-nya dahulu.
“Nah, di pohon cemara ini ada mitos loh,” kata Letha yang tidak menyadari perubahan ekspresi wajah Riby. “Katanya kalau sepasang kekasih atau sepasang sahabat berada di bawah pohon cemara ini saat langit mendung, hubungan mereka akan berakhir perlahan-lahan. Kamu tau nggak?”
Riby mengangguk. “Aku tau.”
Ya, Riby memang tahu, bahkan sangat tahu. Ia sangat percaya bahwa mitos itu benar-benar terjadi. Mitos inilah yang membentangkan jarak antara ia dan Sky saat ini. Mitos inilah yang membangun tembok penghalang yang sangat tebal dalam persahabatan yang selama ini dijalinnya bersama Sky. Mitos inilah awal dari semua langkah-langkah Sky yang perlahan menjauh darinya.
Pikiran Riby tiba-tiba melayang pada masa SMP-nya dan Sky. Bermula dari keisengannya yang ingin membuktikan kebenaran dari mitos itu, ia mengajak Sky untuk berada di bawah pohon cemara tersebut saat langit berubah mendung. Awalnya Sky tidak mau, tapi akhirnya ia menyerah pada rengekan Riby yang sangat penasaran dengan mitos tersebut.
Beberapa bulan setelah mereka melakukan kenekatan itu, kutukan pohon cemara mulai terasa. Sejak selesainya acara kelulusan, Sky semakin menjauh setiap harinya, sampai membentangkan jarak yang saat ini sudah sangat sulit untuk dilalui, terlalu sulit untuk memulainya kembali.
Sampai saat ini, Riby begitu menyesal akan kebodohannya untuk membuktikan kutukan pohon cemara, sampai-sampai ia harus kehilangan sahabat yang selama ini selalu setia berada di sisinya.
“By, kamu ngelamunin apa?”
Suara Letha menyadarkan Riby dari lamunannya.
Riby menggeleng cepat. “Nggak ada apa-apa. Yuk!”















Tidak ada komentar:

Posting Komentar