Hello, readers. Kali ini saya mau share tentang novel saya yang Inshaa Allah akan terbit tahun depan. Alhamdulillah, novel ini adalah novel ketiga yang saya garap dan telah menemukan jodohnya di salah satu penerbit. Sama seperti kebanyakan naskah yang saya buat, saya masih belum bisa move on dari kisah remaja unyu-unyu yang berseragam sekolah. Kisah pada novel yang berjudul Rainy ini terinspirasi saat hujan turun pada musim hujan tahun lalu. Kisah tentang seorang gadis yang menyimpan kenangan tentang hujan. Kenangan tentang seorang pemuda yang sebenarnya tak akan pernah bisa ia temui karena alasan takdir. Dan saya berharap, semoga novel ini bisa segera terbit. Aamiin.
Prolog
Di
tempat yang sama juga suasana yang sama, hanya waktu saja yang berbeda. Aku
tetap termangu menatap sosok itu dibalik hujan yang turun perlahan. Dari mana
datangnya, dan siapa namanya, aku tidak tahu hal apa pun mengenainya, hanya
wajahnya. Aku hanya bisa mengaguminya dalam diam, sebuah rasa kagum yang tenang
selalu berdesir halus setiap kali aku melihatnya di seberang jalan sana.
Kuharap
halte ini tidak bosan melihat senyumku yang otomatis terkembang setiap kali
melihat sosoknya berlari menembus hujan di halte lain di seberang sana. Sosok
berseragam sekolah itu sudah mencuri perhatianku sejak lama, sejak pertama kali
melihatnya. Dan kekaguman itu makin mengakar dengan kuatnya ketika kulihat ia
tersenyum ramah sambil memberi beberapa lembar uang pada seorang pengemis yang
melintas di dekatnya. Tapi, kekaguman itu tertutupi oleh rasa segan walau
sekedar untuk menyapanya. Aku tidak memiliki sedikit pun keberanian untuk
menampakkan wajah di depannya, cukup memandanginya dari jauh saja.
Jatuh
cinta? aku tidak mengerti. Usiaku masih terlalu belia untuk menafsirkan rasa
sederhana namun kompleks itu. Tapi, satu hal yang kuketahui dengan pasti, ia
adalah alasan kuat mengapa aku sangat menyukai hujan, dan mengapa aku sangat
menantikan kedatangan hujan. Saat di mana hujan turun adalah satu-satunya waktu
yang kupunya untuk melihat wajahnya. Untuk itu, aku selalu berharap Tuhan
membasahi tanah tempatku menapak dengan butiran bening yang jatuh dari
langit-Nya.
Hujan…
padamu kutitipkan kenangan ini!
Chapter
1
Dengan setengah berlari dan napas yang
memburu, cewek berambut panjang itu menatap liar seperti mencari sesuatu. Mata
bulatnya yang berwarna caramel
menampakkan kegelisahan karena koridor sekolah sudah kosong. Peluh bercucuran
di wajahnya yang putih bersih, sesekali ia terlihat menyeka keringat dengan
menggunakan punggung tangannya. Rambut panjangnya yang tergerai indah
menari-nari seiring dengan langkah cepatnya.
Saat menemukan ruangan yang dicarinya,
ia refleks menghela napas lega. Sebuah senyuman terbingkai indah di bibir
tipisnya.
Tok…
tok… tok…
“Masuk,” suara dari dalam ruangan
terdengar jelas.
Pintu berdecit saat terbuka, ia
melangkahkan kaki dengan ragu sambil menundukkan wajahnya. Aura ‘angker’ dari
ruang kepala sekolah sudah terasa sejak pintu terbuka.
“Kenapa kamu telat?” tanya kepala
sekolah dengan suaranya yang berat.
“Maaf, Pak. Saya telat bangun,” jawabnya
dengan wajah memelas.
“Hari pertama sudah telat!” bentak Pak
kepala sekolah yang ternyata bernama Pak Bambang Arafat. Sebuah papan nama yang
berdiri kokoh di mejanya secara tidak langsung memperkenalkan pemilik meja.
“Maaf, Pak.”
“Bu Tini,” panggil Pak Bambang pada
seorang guru yang hendak keluar di ruangannya, “ini murid pindahan yang akan
menjadi anak wali Ibu. Silahkan bawa dia bersama Ibu ke kelas!”
“Iya, Pak,” kata guru cantik yang
bernama Bu Tini itu.
Sebelum pergi dari ruangan beraura yang
menurutnya beraura ‘mistis’, pemilik mata berwarna caramel itu sempat tersenyum pada kepala sekolah yang terlihat
sangar.
ÖÖÖÖÖ
“Pagi, anak-anak,” sapa Bu Tini ketika
memasuki ruang kelas.
“Pagi, Bu,” jawab para penghuni kelas
serentak.
Bu Tini tersenyum, senyum yang
menampakkan lesung pipit di wajahnya. Dalam balutan jilbab ungunya, ia terlihat
begitu ramah tapi sangat berwibawa. Pantas saja jika seluruh warga di kelas ini
menyambutnya dengan wajah riang.
“Anak-anak, mulai hari ini ada teman
baru yang akan belajar bersama kalian.” Bu Tini kemudian melayangkan
pandangannya ke seluruh sudut ruang. “Ayo, silahkan masuk!” perintah Bu Tini
pada seseorang yang berdiri di depan pintu sejak tadi.
Puluhan pasang mata yang berada di kelas
serempak tertuju ke arah pintu. Pandangan mereka mengikuti langkah seorang
cewek yang tertunduk malu.
“Perkenalkan dirimu, Nak!” Bu Tini
kembali memberi perintah.
“Namaku… Shierra Denasha. Biasa
dipanggil Nasha. Aku pindahan dari SMA 30 Bandung. Tapi, aku lahir dan tinggal
di Makassar sampai lulus SMP. Jadi dengan kata lain, aku juga anak Makassar
seperti kalian.”
Nasha berusaha mengembangkan senyum
walau jantungnya berdetak hebat ketika harus berhadapan dengan orang-orang baru
yang sama sekali belum dikenalnya.
Sorakan dan tepukan mendadak bergema di
seluruh ruang. Mungkin inilah cara mereka menunjukkan ucapan selamat datang
pada Nasha yang mulai detik ini akan menjadi bagian dari kelas XII IPA 1 ini.
Nasha cukup terkejut dengan hal yang dilihatnya. Rasa canggungnya seperti sirna
begitu saja melihat teman-teman barunya yang tersenyum ramah.
Nasha kemudian menyapu kelas dengan
pandangannya. Tatapannya mendadak berhenti saat pandangannya sampai pada
seseorang yang duduk di depan Reno. Mendadak jantung Nasha berdetak jauh lebih
hebat dibandingkan dengan saat pertama kali ia menginjakkan kaki di kelas ini.
Nasha berkali-kali mengusap matanya dengan kasar, dan berharap kalau
penglihatannya kali ini sedang bermasalah. Tapi, sosok yang membuatnya terkejut
luar biasa itu nyata adanya. Seraut wajah yang sangat dikenalnya terlihat
memainkan rambut cepaknya di salah satu bangku.
Dan Nasha hafal betul dengan gurat wajah
itu. Rambut cepak yang cenderung berwarna coklat, mata berwarna biru
kehijau-hijauan dengan tatapan yang tajam, dan wajah tampan yang terbingkai
rapi di antara rahangnya yang tegas.
Nasha belum bisa mengembalikan
kesadarannya saat seraut wajah itu juga turut menatapnya.
“Nasha…” Bu Tini memanggil Nasha
berkali-kali. Nasha belum merespon. “Nasha…”
Mendengar namanya dipanggil oleh wali
kelasnya, Nasha terlonjak kaget.
“Kamu duduk di sebelah Qyo, ya!” Bu Tini
lalu menunjuk sebuah bangku kosong. Dan parahnya, bangku yang dimaksud oleh Bu
Tini persis berada di sebelah seraut wajah yang membuat debaran jantung Nasha
mendadak liar.
Nasha kembali melongo di tempatnya untuk
beberapa saat. Dengan langkah ragu, akhirnya ia melangkahkan kaki menuju tempat
yang ditunjuk oleh wali kelasnya.
Nasha dan Qyo kembali bertatap dalam
diam. Kali ini cuma sebentar.
Bu Tini memulai pelajarannya, dan mulai
membahas mengenai karya ilmiah dan segala macam seluk beluknya. Seisi kelas
memperhatikan dengan seksama. Hening tercipta dengan sendirinya. Mereka berkonsentrasi
penuh pada pelajaran kali ini. tapi, tidak dengan Nasha. Debaran jantung Nasha
belum kembali normal, pikirannya melayang entah kemana. Sebesar apa pun usaha
Nasha untuk berkonsentrasi ternyata tidak membuahkan hasil sama sekali. Seraut
wajah yang ada di sebelahnya menjadi alasan mengapa konsentrasinya buyar.
Nasha memutar-mutar pulpen yang ada di
tangannya. Sebisa mungkin ia berusaha untuk tidak melirik sedikit pun pada
sosok di sebelahnya. Sosok yang sama sekali tidak menyadari bahwa dirinya lah yang
menyebabkan Nasha kehilangan akal sehatnya.
Tet…
tet… tet…
Bunyi bel tanda pergantian pelajaran
berbunyi. Sebagian besar siswa melakukan gerakan ringan, mungkin untuk
meregangkan otot-otot yang kebas selama dua jam pelajaran.
“Hai…” suara ramah itu menyapa.
Nasha menoleh cepat. Didapatinya sosok
yang sejak tadi cuek-cuek saja kini tersenyum ke arahnya. Qyo menyapanya.
“Kita belum kenalan, kan?” Qyo
mengulurkaan tangan. “Aku Qyo.”
Nasha menyambut uluran tangan itu dengan
agak ragu. “Nasha.”
ÖÖÖÖÖ
Nasha berdiri di depan cermin besar yang
ada di kamarnya. Ia memandangi pantulan dirinya, masih tidak habis pikir dengan
kebetulan yang terjadi begitu nyata di saat ia memutuskan untuk memulai kembali
semuanya.
“Apa benar kalau Qyo itu adalah…”
Nasha kembali terdiam. Rasa tak percaya
yang teramat sangat memenuhi otaknya. Kenangan akan hujan yang terjadi beberapa
tahun lalu kembali ke ruang ingatannya. Jutaan menit telah dilewatinya tanpa
seraut wajah yang dulu selalu ia nantikan kehadirannya saat hujan turun. Kini
seraut wajah yang dulu hanya bisa ia kagumi dalam diam malah menghampirinya
dengan senyuman.
Nasha membalik tubuh, dan
menghempaskannya ke tempat tidur. Memandang hampa ke langit kamarnya yang
bernuansa biru muda. Ia masih belum percaya dengan apa yang dialaminya di pagi
pertama ia menginjakkan kaki di sekolah.
Nasha menghembuskan napas keras-keras,
kemudian meraih handphone yang berada
tidak jauh darinya. Jemarinya menari dengan cepat di atas keypad untuk mencari nama seseorang.
Tut…
tut… tut…
Tidak ada jawaban dari seberang telepon.
“Kok sibuk terus sih?” tanya Nasha agak
kesal.
Nasha kembali menghempaskan tubuhnya,
dan meraih sebuah guling untuk menutupi wajahnya.
ÖÖÖÖÖ
Nasha melangkahkan kaki dengan enggan di
koridor sekolah. Suasana baru, sekolah baru, dan orang-orang baru, belum lagi
dengan keberadaan Qyo yang seringkali membuatnya nervous berlebih. Semua hal itu membuat Nasha merasa kurang nyaman.
Seminggu sudah ia mengenakan seragam SMA Nusantara, tapi ia masih kesulitan
untuk beradaptasi dengan lingkungan baru ini.
“Kamu hampir telat loh,” tegur Qyo yang
tiba-tiba muncul dari salah satu lorong sekolah.
Nasha buru-buru memegangi dadanya. Bukan
kaget karena kemunculan Qyo yang tiba-tiba, tapi sosok yang Tuhan wujudkan
dalam kenyataan itu telah menari-nari di otaknya sejak bangun pagi, dan kini
Qyo nyata di hadapannya.
“Ah… ehm… jalan lagi macet.”
Nasha berusaha bersikap biasa.
“Iya. Akhir-akhir ini memang sering
macet karena perbaikan jalan,” kata Qyo sambil mempercepat langkah untuk
menyamai langkah Nasha yang berada di depannya.
“Bukannya kamu juga hampir telat?”
selidik Nasha.
Qyo lagi-lagi tersenyum. “Aku udah
datang dari tadi.”
“Ohh… gitu, ya.”
“Oya, kamu udah selesai PR Fisika?”
tanya Qyo sambil tersenyum.
“Belum. Pelajaran kedua kan!” Nasha
menjawabnya dengan enteng.
Qyo tersenyum. Senyum yang menyimpan
sebuah arti.
“Iya sih,” Qyo mengangguk-anggukan
kepalanya. “Tapi, ada PR Matematika juga di pelajaran pertama.”
Raut wajah Nasha mendadak berubah
drastis. “Apa?”
Qyo lagi-lagi hanya tersenyum.
Nasha memukul kepalanya dengan tangan.
“Mati aku! Aduh… lupa!”
Qyo hanya menggeleng-gelengkan kepalanya
sambil tertawa kecil melihat Nasha yang telah berlari tergesa-gesa di tengah
hiruk pikuk siswa-siswi yang berlalu di hadapannya. Setelah terpaku untuk
beberapa lama di tempatnya, Qyo pun akhirnya memutuskan untuk bergegas ke
kelasnya.
Suasana kelas sudah heboh ketika Qyo
masuk. Nyatanya, sebagian penghuni kelas ini tidak mengerjakan PR Matematika
yang dapat jatah di pelajaran pertama. Hampir semua warga kelas terlihat sibuk
dengan buku dan contekan masing-masing, termasuk Nasha.
Qyo tetap dalam keadaan tenang saat ia
mendapati Nasha sedang menyalin buku yang entah milik siapa ke bukunya. Qyo
lalu duduk di bangkunya, tepat di samping Nasha. Ditatapnya teman di sampingnya
itu dengan senyum geli.
“Sibuk bener, Neng,” goda Qyo.
“Jangan ganggu! Aku lagi sibuk.”
“Mau dibantu nggak?”
Nasha mendadak menghentikan kegiatan
menconteknya dan menatap Qyo dengan tatapan tanya. “Beneran?” tanya Nasha tidak
percaya.
Qyo mengangguk mantap.
“Kamu kerja PR Fisika aja. Tuh, ada di
tasku.” Qyo menunjuk sebuah tas dengan dagunya. “Biar aku yang kerjain PR
Matematikamu.”
Nasha terdiam sejenak.
“Mau nggak?” tanya Qyo dengan nada suara
yang lebih tinggi karena mendapati Nasha tediam tanpa memberi respon.
“Eh… iya. Mau… mau.”
Semua jarak yang sebelumnya terbentang
antara keduanya mendadak sirna. Keramahan Qyo tenyata mampu meluruhkan rasa
segan Nasha yang awalnya menjadi beban.
ÖÖÖÖÖ
Dengan wajah cemberut, Nasha duduk di
pinggir lapangan. Dipandanginya lapangan basket di depannya dengan wajah kesal.
Sejauh mata memandang, sekolah sudah kosong melompong sejak tadi. Dan hal
inilah yang membuat Nasha kesal setengah mati karena sang papa tidak jua
menampakkan batang hidungnya.
“Kok belum pulang?”
Qyo yang muncul tiba-tiba di belakangnya
cukup membuat Nasha mengelus dada saking kagetnya.
“Lagi nunggu jemputan,” jawab Nasha
setelah berhasil mengatasi kekagetannya.
“Ooo.”
“Kamu sendiri kenapa masih keliaran?”
tanya Nasha penasaran
Qyo tertawa kecil. “Nggak ada pilihan
kata lain apa? Kenapa harus kata ‘keliaran’?”
Senyum tercetak di bibir mungil Nasha
saat mendengar aksi protes dari Qyo barusan.
“Terus ngapain dong?” tanya Nasha lagi.
“Ada deh! Mau tau aja!”
Mendengar jawaban Qyo, Nasha langsung
manyun. Sama sekali tidak puas dengan jawaban yang diberikan Qyo tadi.
“Wah, aku baru tau kalau kamu tambah
cantik kalau lagi marah,” goda Qyo sambil tersenyum jahil.
PLOOKK…
Sebuah pukulan sukses didaratkan Nasha
di lengan Qyo.
“Jahat ihh…” kata Nasha dengan nada
suara yang sedikit manja.
Mereka lalu larut dalam pembicaraan yang
cukup panjang. Membicarakan banyak hal, mulai dari yang sangat serius sampai
yang sama sekali nggak penting. Satu hal yang Nasha ketahui dengan pasti, Qyo
adalah orang yang ramah dan sangat baik hati. Semua itu tercermin jelas dari
sorot mata yang penuh ketulusan itu.
Seminggu sudah Nasha menjadi bagian dari
sekolah ini. Namun, seperti anak baru pada umumnya, Nasha masih sangat sulit
beradaptasi. Tapi, persepsi itu mendadak berubah karena keramahan yang Qyo
perlihatkan hingga detik ini.
“Qyo…” Raka tiba-tiba muncul di ujung
koridor.
Qyo memutar kepalanya ke arah suara.
Raka terlihat memperpanjang langkah ke arahnya.
“Kamu dicariin anak-anak,” kata Raka
dengan tergesa-gesa.
“Masih ada lima belas menit lagi kan?”
Qyo balas bertanya.
“Iya sih. Tapi…”
“Sebentar lagi aku nyusul, Ka.”
Setelah pernyataan Qyo barusan, Raka
hanya mengangguk kemudian membalik badan ke arah di mana ia muncul tadi.
“Ada apa, Qy?” tanya Nasha penasaran.
Qyo tidak menjawab pertanyaan Nasha, ia
hanya membalasnya dengan sebuah senyuman. Nasha menyerah, ia tidak ingin
bertanya lagi. Nasha tahu bahwa pertanyaannya tidak akan dijawab oleh Qyo.
Nasha tiba-tiba bangkit dari duduknya
saat melihat sebuah Yaris putih
terparkir di depan sekolah. “Eh, itu papaku udah datang. Duluan ya, Qy!”
Nasha setengah berlari dan mencoba
secepat mungkin untuk menghampiri papanya yang sedang berdiri di pintu pagar.
Sebenarnya, Nasha tengah mengalami pergulatan batin di dasar hatinya. Ia sangat
ingin membalik badannya walau hanya sebentar untuk melihat keberadaan Qyo.
Tapi, sebagian dalam dirinya seakan memerintahkan agar ia tak menengok sama
sekali. Nasha terpaksa mengalah, niatnya untuk sekedar melihat Qyo sebelum
memasuki mobil dipendamnya dahulu.
“Toh, besok pasti akan ketemu lagi,”
Nasha meyakinkan dirinya.
ÖÖÖÖÖ
Matahari bersinar terang pagi ini, cuaca
sangat cerah dan terlihat ramah. Awan putih menghiasi langit biru, membentuk
perpaduan yang luar biasa indahnya. Langit yang membentang luas menampakkan
keagungan dalam diamnya. Angin yang berhembus perlahan menambah indahnya cuaca
di pagi ini.
Cerahnya pagi ternyata terbias kepada
Nasha. Sejak bangun tidur tadi, wajahnya terlihat sangat cerah, tidak seperti
biasanya. Mamanya sampai kaget setengah mati saat mendapati putri semata
wayangnya lebih dulu bangun dibanding jam wekernya. Sesuatu yang merupakan
keajaiban menurut sang mama tentu saja. Ada semangat yang menggebu dalam diri
Nasha yang mendorongnya untuk mengajak waktu mempercepat detiknya hingga ia
bisa segera ke sekolah.
“Nasha…” teriak Tita dari pintu pagar.
Nasha kontan berbalik ke suara yang
memanggil namanya. Ia balas melambaikan tangan ke arah Tita.
“Tumben banget kamu datang cepat!
Biasanya baru keliatan pas bel masuk berbunyi,” selidik Tita. Tita pun dibuat
takjub dengan keadaan tidak biasa yang dilihatnya saat ini.
Nasha malah nyegir kuda sambil menggaruk
kepalanya yang tidak gatal. Ia tidak tahu harus memberi penjelasan seperti apa
kepada Tita. Sebenarnya, ia juga tidak tahu maksud dari tindakannya pagi ini.
Nasha dan Tita menyusuri koridor dengan
riangnya. Mereka saling bergandengan tangan menuju kelas mereka yang terletak
di ujung koridor sana. Sekolah masih sangat sepi, hanya terlihat beberapa siswa
yang juga tengah berjalan santai menuju kelasnya. Suasana yang sama juga mereka
dapati ketika menginjakkan kaki di kelas. Kelas masih kosong melompong tanpa
seorang pun.
“Sha, aku duduk sini ya!” pinta Tita dengan
senyum yang mengembang lebar.
Nasha tidak langsung menjawab. Bukannya
ia tidak mau duduk semeja dengan Tita. Tapi, bangku yang Tita tunjuk sudah ada
yang punya , dengan kata lain bangku tersebut adalah milik Qyo.
Tita yang melihat Nasha bingung untuk
menjawab akhirnya melanjutkan. “Nggak usah khawatir, Sha. Hari ini Qyo nggak
masuk kok!”
“Qyo kemana emangnya?” tanya Nasha
penasaran.
Namun, Tita tidak langsung menjawab. Ia
malah memperbaiki posisi duduknya di sebelah Nasha.
“Hari ini, Qyo lagi ada kegiatan OSIS.
Aku nggak tau pasti itu kegiatan apa. Tapi, kegiatannya itu diluar sekolah.”
Nasha terdiam sejenak. Masih sulit
mencerna apa yang dijelaskan Tita barusan.
“Qyo anggota OSIS maksudmu, Ta?” tanya
Nasha dengan wajah agak bingung.
Mendengar pertanyaan polos Nasha,
giliran Tita yang memasang wajah bingung.
“Emangnya Qyo nggak bilang kalau dia itu
Ketua OSIS-nya sekolah kita?” Tita balas bertanya.
Nasha menggeleng pelan. Kenyataan yang
cukup membuatnya shock di pagi hari.
Soalnya, Nasha sama sekali tidak kepikiran kalau sesosok manusia yang menjadi
teman sebangkunya selama ini adalah seorang ketua OSIS.
“Astaga… Qyo benar-benar keterlaluan
deh. Masak teman sebangkunya sendiri nggak diberitahu. Erqyo Veralt itu ketua
OSIS kita, Sha.”
Mendapati Nasha tengah bingung di
tempatnya, Tita jadi senyum-senyum sendiri seperti memikirkan sesuatu yang
sangat lucu.
“Ngeliat kamu jadi shock gitu, aku jadi inget Dinda deh!”
Nasha belum memberi respon apa-apa. Tita
melanjutkan, “Dinda itu teman sebangku Qyo sebelum kamu.”
Ternyata topik ini menarik perhatian
Nasha. “Terus?”
“Ya, Dinda pindah sekolah beberapa
minggu sebelum kamu pindah ke sekolah ini. Dinda sering banget jadi korban
kejahilan Qyo. Hehehe.”
“Contohnya?” tanya Nasha penasaran
sambil mengerutkan dahinya.
“Salah satunya, Qyo pernah nyimpen kecoa
di tasnya Dinda. Padahal Dinda kan geli banget kalau liat kecoa. Dan itu
membuat Dinda jejeritan sendiri di tengah jam pelajaran.”
“Jadi, Qyo sejahil itu?” Nasha seperti
tidak percaya.
“Qyo itu susah ditebak tindak tanduknya.
Kadang-kadang terlihat cool dan berkarisma. Kadang-kadang malah lebih
gokil dari Olga Syahputra.”
Tita kembali tersenyum-senyum sendiri
saat membayangkan salah satu kejadian. Dan hal tersebut membuat Nasha kembali
bingung dengan tingkah manusia yang sedang duduk di sebelahnya saat ini.
“Lebih lucunya, pas valentine tahun lalu. Qyo kan dapat banyak coklat dari adik kelas.
Nah, semua coklat itu dimakannya padahal dia lagi sakit gigi.”
Nasha kembali mengerutkan dahi. “Rakus
ihh…”
“Ngakunya sih bukan rakus, Sha. Qyo
ngaku kalau dia lagi berlaku adil. Katanya, kalau salah satu coklat dimakan,
maka yang lain juga harus dimakan. Kalau salah satunya dibuang, yang lainnya
juga harus dibuang. Lucu kan?”
Cerita dari Tita mengenai Qyo barusan
sukses membuat Nasha tertawa terbahak-bahak ketika membayangkan apa yang
dilakukan Qyo dengan setumpuk coklat sekali duduk dalam keadaan sakit gigi.
Tet…
tet… tet…
Bunyi panjang dari bel tanda pelajaran
pertama membuat Tita dan Nasha harus mengakhiri cerita mereka pagi ini.
ÖÖÖÖÖ
Chapter
2
“Nashaaaaa…”
Nasha yang baru keluar dari kelasnya
dibuat terkejut dengan suara seperti gledek yang memanggil namanya dari
kejauhan.
“Deraaa…” Nasha balas teriak saat
mengetahui kalau yang memanggilnya adalah wajah yang ingin ditemuinya sejak
pertama kali menginjakan kaki di sekolah ini.
Nasha dan Dera pun berhambur di tengah
lalu lalang para warga SMA Nusantara yang bergerombol menuju gerbang sekolah.
Di tengah keramaian tersebut, Nasha dan Dera berpelukan, pelukan rindu dari
seorang sahabat ke sahabatnya, pelukan dari sahabat yang sudah cukup lama tidak
bertatap muka.
“Aku benar-benar nggak nyangka kalau
kamu jadi sekolah di sini, Sha,” kata Dera dengan sedikit histeris. “I miss you to the highest level, Sha.”
“Aku juga, Der.”
Nasha melayangkan pandang pada
sahabatnya yang kini berdiri di hadapannya. Dera makin cantik saja. Wajahnya
yang tirus dengan bibir tipis yang seksi, rambut panjangnya yang berwarna
coklat, mata bulatnya yang indah. Benar-benar perpaduan yang menarik.
“Kamu nggak berubah ya, Sha,” kata Dera,
tepat sasaran.
Mendadak kekaguman Nasha pada sahabatnya
ini berubah menjadi kekesalan. “Udah, nggak usah bahas penampilan deh! Kamu
kemana aja? Kenapa baru nongol sekarang?” tanya Nasha dengan nada suara sedikit
kesal.
“Aku lagi ke Singapore, temenin nyokap.
Kamu kangen banget ya, Sha?” goda Dera dengan senyuman khasnya.
“Ihhh… GR.”
Dera yang gemes melihat Nasha yang
kesal tak kuasa menahan diri.
Dicubitinya pipi Nasha yang putih sampai terlihat kemerahan. Dera sama sekali
tidak peduli dengan Nasha yang meringis kesakitan.
“Kok kamu belum pulang, Sha?” tanya Dera
tanpa rasa bersalah. Nasha memicingkan mata, memandang Dera dengan kesal sambil
mengusap pipinya yang masih merah. Dera tetap dengan wajah innocent-nya, seakan ia tidak tahu alasan mengapa wajah Nasha
memerah.
“Aku lagi nungguin papaku,” jawab Nasha
singkat.
“What?
Left behind banget sih kamu. Kamu
udah SMA loh, Sha. Masih dijemputin papamu?” Dera menggelengkan kepala,
wajahnya dibuat seolah-olah ia sangat prihatin.
Nasha menghentakkan kakinya saking
kesalnya. “Kamu dari tadi nyela terus. Aku jadi nyesel ketemu kamu hari ini.”
Dera kembali tertawa. “Sorry, beib. Kita damai, yuk!”
“Kamu kok belum pulang, Der?”
“Aku lagi nungguin seseorang.”
“Siapa?” tanya Nasha penasaran.
Melihat wajah Nasha yang penasaran, Dera
memberi jawaban yang semakin membuat penasaran. “Ada deh!”
Dera dan Nasha akhirnya memilih menepi
di salah satu bangku taman. Mengenang kembali masa di mana mereka masih
berseragam putih-biru. Menceritakan kembali kisah tentang persahabatan,
pelajaran, dan juga tentang cinta.
“Nah, itu dia yang aku tunggu.” Dera
tiba-tiba menunjuk seseorang yang baru saja keluar dari ruang OSIS.
Nasha mengikuti arah di mana telunjuk
Dera mengarah. Dan saat sadar siapa yang Dera maksud, tiba-tiba ada desiran
halus yang mengganggu jauh di dasar hatinya. Susah payah Nasha berusaha untuk
menguasai hatinya, berusaha agar raut wajahnya tidak berubah saat melihat Dera
bergelayut manja di lengan Qyo.
Qyo
dan Dera pacaran ya? Kelihatan sangat serasi, batin Nasha.
“Nah, ini dia orangnya yang udah buat
aku nunggu dari tadi, Sha,” ucap Dera tanpa sadar dengan perubahan wajah Nasha.
Nasha melirik ke arah Qyo sejenak. Saat
itu didapatinya wajah Qyo yang tersenyum sama cerianya dengan Dera yang berada
di sampingnya.
“Oh iya, Qy. Ini dia sahabat yang aku
ceritain ke kamu tempo hari. Namanya Nasha.” Dera memperkenalkan Nasha dengan
wajah ceria.
“Nasha ini kan anak baru di kelasku,
Der. Kita berdua malah teman sebangku. Iya kan, Sha?”
Nasha membalas pertanyaan Qyo dengan
anggukan.
“What?
Dunia ini kok sempit banget, ya?” Dera agak terkejut dengan kenyataan barusan.
Nasha masih belum mampu berkata apa-apa
hingga detik ini. Entahlah, rasanya sedikit terganggu dengan kondisi ini.
“Kalian pacaran, ya?”
Nasha tidak bisa memendam pertanyaan
yang berlalu lalang di kepalanya lebih lama. Tanpa pikir panjang lagi, ia ingin
memastikan hubungan apa yang terjalin antara dua orang yang berada di
hadapannya saat ini.
“What
do you talking about? Emang kita
keliatan kayak orang pacaran ya, Sha?” tanya Dera.
Nasha lagi-lagi hanya mengangguk.
“Qyo ini sepupuku, Sha.” Dera memberi
jawaban singkat.
“Oooo…”
Mendadak hati Nasha bersorak gembira.
Tanpa ia sadari, wajahnya yang tadi suram kini mengembangkan senyum yang penuh
kelegaan.
“Pulang bareng kita aja, Sha,” ajak
Dera.
“Nggak ahh. Papaku udah deket kok, Der.
Bentar lagi sampai.”
ÖÖÖÖÖ
Sunyi. Itulah kata yang tepat untuk
menggambarkan keadaan rumah Nasha saat ini. Mama sedang tidak ada di rumah saat
Nasha pulang. Biasanya, Nasha gembira bukan kepalang saat mamanya tidak ada.
Soalnya, ia bisa tidur siang sepuasnya, bisa makan cemilan sebanyak-banyaknya
dan main game sepuasnya tanpa ada
omelan dari sang mama tentang kesehatan dan kecantikan seorang wanita. Tapi,
kali ini berbeda. Kesunyian ini membawa Nasha terbenam dalam pikirannya akan
memori tentang hujan yang terjadi beberapa tahun lalu, sebelum ia pindah ke
kota yang berbeda. Kenangan tentang pangeran hujan yang selalu membuatnya larut
dalam kekaguman.
Nasha bangkit dari duduknya dan menuju
cermin besar yang memuat seluruh pantulan tubuhnya.
“Apa mungkin pangeran hujan itu adalah
dia?”
Nasha menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya keras-keras sebelum menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur.
ÖÖÖÖÖ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar