Translate

Search

Kamis, 05 November 2015

RAINY

Hello, readers. Kali ini saya mau share tentang novel saya yang Inshaa Allah akan terbit tahun depan. Alhamdulillah, novel ini adalah novel ketiga yang saya garap dan telah menemukan jodohnya di salah satu penerbit. Sama seperti kebanyakan naskah yang saya buat, saya masih belum bisa move on dari kisah remaja unyu-unyu yang berseragam sekolah. Kisah pada novel yang berjudul Rainy ini terinspirasi saat hujan turun pada musim hujan tahun lalu. Kisah tentang seorang gadis yang menyimpan kenangan tentang hujan. Kenangan tentang seorang pemuda yang sebenarnya tak akan pernah bisa ia temui karena alasan takdir. Dan saya berharap, semoga novel ini bisa segera terbit. Aamiin.


Prolog
Di tempat yang sama juga suasana yang sama, hanya waktu saja yang berbeda. Aku tetap termangu menatap sosok itu dibalik hujan yang turun perlahan. Dari mana datangnya, dan siapa namanya, aku tidak tahu hal apa pun mengenainya, hanya wajahnya. Aku hanya bisa mengaguminya dalam diam, sebuah rasa kagum yang tenang selalu berdesir halus setiap kali aku melihatnya di seberang jalan sana.
Kuharap halte ini tidak bosan melihat senyumku yang otomatis terkembang setiap kali melihat sosoknya berlari menembus hujan di halte lain di seberang sana. Sosok berseragam sekolah itu sudah mencuri perhatianku sejak lama, sejak pertama kali melihatnya. Dan kekaguman itu makin mengakar dengan kuatnya ketika kulihat ia tersenyum ramah sambil memberi beberapa lembar uang pada seorang pengemis yang melintas di dekatnya. Tapi, kekaguman itu tertutupi oleh rasa segan walau sekedar untuk menyapanya. Aku tidak memiliki sedikit pun keberanian untuk menampakkan wajah di depannya, cukup memandanginya dari jauh saja.
Jatuh cinta? aku tidak mengerti. Usiaku masih terlalu belia untuk menafsirkan rasa sederhana namun kompleks itu. Tapi, satu hal yang kuketahui dengan pasti, ia adalah alasan kuat mengapa aku sangat menyukai hujan, dan mengapa aku sangat menantikan kedatangan hujan. Saat di mana hujan turun adalah satu-satunya waktu yang kupunya untuk melihat wajahnya. Untuk itu, aku selalu berharap Tuhan membasahi tanah tempatku menapak dengan butiran bening yang jatuh dari langit-Nya.
Hujan… padamu kutitipkan kenangan ini!




Chapter 1

Dengan setengah berlari dan napas yang memburu, cewek berambut panjang itu menatap liar seperti mencari sesuatu. Mata bulatnya yang berwarna caramel menampakkan kegelisahan karena koridor sekolah sudah kosong. Peluh bercucuran di wajahnya yang putih bersih, sesekali ia terlihat menyeka keringat dengan menggunakan punggung tangannya. Rambut panjangnya yang tergerai indah menari-nari seiring dengan langkah cepatnya.
Saat menemukan ruangan yang dicarinya, ia refleks menghela napas lega. Sebuah senyuman terbingkai indah di bibir tipisnya.
Tok… tok… tok…
“Masuk,” suara dari dalam ruangan terdengar jelas.
Pintu berdecit saat terbuka, ia melangkahkan kaki dengan ragu sambil menundukkan wajahnya. Aura ‘angker’ dari ruang kepala sekolah sudah terasa sejak pintu terbuka.
“Kenapa kamu telat?” tanya kepala sekolah dengan suaranya yang berat.
“Maaf, Pak. Saya telat bangun,” jawabnya dengan wajah memelas.
“Hari pertama sudah telat!” bentak Pak kepala sekolah yang ternyata bernama Pak Bambang Arafat. Sebuah papan nama yang berdiri kokoh di mejanya secara tidak langsung memperkenalkan pemilik meja.
“Maaf, Pak.”
“Bu Tini,” panggil Pak Bambang pada seorang guru yang hendak keluar di ruangannya, “ini murid pindahan yang akan menjadi anak wali Ibu. Silahkan bawa dia bersama Ibu ke kelas!”
“Iya, Pak,” kata guru cantik yang bernama Bu Tini itu.
Sebelum pergi dari ruangan beraura yang menurutnya beraura ‘mistis’, pemilik mata berwarna caramel itu sempat tersenyum pada kepala sekolah yang terlihat sangar.
ÖÖÖÖÖ
“Pagi, anak-anak,” sapa Bu Tini ketika memasuki ruang kelas.
“Pagi, Bu,” jawab para penghuni kelas serentak.
Bu Tini tersenyum, senyum yang menampakkan lesung pipit di wajahnya. Dalam balutan jilbab ungunya, ia terlihat begitu ramah tapi sangat berwibawa. Pantas saja jika seluruh warga di kelas ini menyambutnya dengan wajah riang.
“Anak-anak, mulai hari ini ada teman baru yang akan belajar bersama kalian.” Bu Tini kemudian melayangkan pandangannya ke seluruh sudut ruang. “Ayo, silahkan masuk!” perintah Bu Tini pada seseorang yang berdiri di depan pintu sejak tadi.
Puluhan pasang mata yang berada di kelas serempak tertuju ke arah pintu. Pandangan mereka mengikuti langkah seorang cewek yang tertunduk malu.
“Perkenalkan dirimu, Nak!” Bu Tini kembali memberi perintah.
“Namaku… Shierra Denasha. Biasa dipanggil Nasha. Aku pindahan dari SMA 30 Bandung. Tapi, aku lahir dan tinggal di Makassar sampai lulus SMP. Jadi dengan kata lain, aku juga anak Makassar seperti kalian.”
Nasha berusaha mengembangkan senyum walau jantungnya berdetak hebat ketika harus berhadapan dengan orang-orang baru yang sama sekali belum dikenalnya.
Sorakan dan tepukan mendadak bergema di seluruh ruang. Mungkin inilah cara mereka menunjukkan ucapan selamat datang pada Nasha yang mulai detik ini akan menjadi bagian dari kelas XII IPA 1 ini. Nasha cukup terkejut dengan hal yang dilihatnya. Rasa canggungnya seperti sirna begitu saja melihat teman-teman barunya yang tersenyum ramah.
Nasha kemudian menyapu kelas dengan pandangannya. Tatapannya mendadak berhenti saat pandangannya sampai pada seseorang yang duduk di depan Reno. Mendadak jantung Nasha berdetak jauh lebih hebat dibandingkan dengan saat pertama kali ia menginjakkan kaki di kelas ini. Nasha berkali-kali mengusap matanya dengan kasar, dan berharap kalau penglihatannya kali ini sedang bermasalah. Tapi, sosok yang membuatnya terkejut luar biasa itu nyata adanya. Seraut wajah yang sangat dikenalnya terlihat memainkan rambut cepaknya di salah satu bangku.
Dan Nasha hafal betul dengan gurat wajah itu. Rambut cepak yang cenderung berwarna coklat, mata berwarna biru kehijau-hijauan dengan tatapan yang tajam, dan wajah tampan yang terbingkai rapi di antara rahangnya yang tegas.
Nasha belum bisa mengembalikan kesadarannya saat seraut wajah itu juga turut menatapnya.
“Nasha…” Bu Tini memanggil Nasha berkali-kali. Nasha belum merespon. “Nasha…”
Mendengar namanya dipanggil oleh wali kelasnya, Nasha terlonjak kaget.
“Kamu duduk di sebelah Qyo, ya!” Bu Tini lalu menunjuk sebuah bangku kosong. Dan parahnya, bangku yang dimaksud oleh Bu Tini persis berada di sebelah seraut wajah yang membuat debaran jantung Nasha mendadak liar.
Nasha kembali melongo di tempatnya untuk beberapa saat. Dengan langkah ragu, akhirnya ia melangkahkan kaki menuju tempat yang ditunjuk oleh wali kelasnya.
Nasha dan Qyo kembali bertatap dalam diam. Kali ini cuma sebentar.
Bu Tini memulai pelajarannya, dan mulai membahas mengenai karya ilmiah dan segala macam seluk beluknya. Seisi kelas memperhatikan dengan seksama. Hening tercipta dengan sendirinya. Mereka berkonsentrasi penuh pada pelajaran kali ini. tapi, tidak dengan Nasha. Debaran jantung Nasha belum kembali normal, pikirannya melayang entah kemana. Sebesar apa pun usaha Nasha untuk berkonsentrasi ternyata tidak membuahkan hasil sama sekali. Seraut wajah yang ada di sebelahnya menjadi alasan mengapa konsentrasinya buyar.
Nasha memutar-mutar pulpen yang ada di tangannya. Sebisa mungkin ia berusaha untuk tidak melirik sedikit pun pada sosok di sebelahnya. Sosok yang sama sekali tidak menyadari bahwa dirinya lah yang menyebabkan Nasha kehilangan akal sehatnya.
Tet… tet… tet…
Bunyi bel tanda pergantian pelajaran berbunyi. Sebagian besar siswa melakukan gerakan ringan, mungkin untuk meregangkan otot-otot yang kebas selama dua jam pelajaran.
“Hai…” suara ramah itu menyapa.
Nasha menoleh cepat. Didapatinya sosok yang sejak tadi cuek-cuek saja kini tersenyum ke arahnya. Qyo menyapanya.
“Kita belum kenalan, kan?” Qyo mengulurkaan tangan. “Aku Qyo.”
Nasha menyambut uluran tangan itu dengan agak ragu. “Nasha.”
ÖÖÖÖÖ
Nasha berdiri di depan cermin besar yang ada di kamarnya. Ia memandangi pantulan dirinya, masih tidak habis pikir dengan kebetulan yang terjadi begitu nyata di saat ia memutuskan untuk memulai kembali semuanya.
“Apa benar kalau Qyo itu adalah…”
Nasha kembali terdiam. Rasa tak percaya yang teramat sangat memenuhi otaknya. Kenangan akan hujan yang terjadi beberapa tahun lalu kembali ke ruang ingatannya. Jutaan menit telah dilewatinya tanpa seraut wajah yang dulu selalu ia nantikan kehadirannya saat hujan turun. Kini seraut wajah yang dulu hanya bisa ia kagumi dalam diam malah menghampirinya dengan senyuman.
Nasha membalik tubuh, dan menghempaskannya ke tempat tidur. Memandang hampa ke langit kamarnya yang bernuansa biru muda. Ia masih belum percaya dengan apa yang dialaminya di pagi pertama ia menginjakkan kaki di sekolah.
Nasha menghembuskan napas keras-keras, kemudian meraih handphone yang berada tidak jauh darinya. Jemarinya menari dengan cepat di atas keypad untuk mencari nama seseorang.
Tut… tut… tut…
Tidak ada jawaban dari seberang telepon.
“Kok sibuk terus sih?” tanya Nasha agak kesal.
Nasha kembali menghempaskan tubuhnya, dan meraih sebuah guling untuk menutupi wajahnya.
ÖÖÖÖÖ
Nasha melangkahkan kaki dengan enggan di koridor sekolah. Suasana baru, sekolah baru, dan orang-orang baru, belum lagi dengan keberadaan Qyo yang seringkali membuatnya nervous berlebih. Semua hal itu membuat Nasha merasa kurang nyaman. Seminggu sudah ia mengenakan seragam SMA Nusantara, tapi ia masih kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru ini.
“Kamu hampir telat loh,” tegur Qyo yang tiba-tiba muncul dari salah satu lorong sekolah.
Nasha buru-buru memegangi dadanya. Bukan kaget karena kemunculan Qyo yang tiba-tiba, tapi sosok yang Tuhan wujudkan dalam kenyataan itu telah menari-nari di otaknya sejak bangun pagi, dan kini Qyo nyata di hadapannya.
“Ah… ehm… jalan lagi macet.”
Nasha berusaha bersikap biasa.
“Iya. Akhir-akhir ini memang sering macet karena perbaikan jalan,” kata Qyo sambil mempercepat langkah untuk menyamai langkah Nasha yang berada di depannya.
“Bukannya kamu juga hampir telat?” selidik Nasha.
Qyo lagi-lagi tersenyum. “Aku udah datang dari tadi.”
“Ohh… gitu, ya.”
“Oya, kamu udah selesai PR Fisika?” tanya Qyo sambil tersenyum.
“Belum. Pelajaran kedua kan!” Nasha menjawabnya dengan enteng.
Qyo tersenyum. Senyum yang menyimpan sebuah arti.
“Iya sih,” Qyo mengangguk-anggukan kepalanya. “Tapi, ada PR Matematika juga di pelajaran pertama.”
Raut wajah Nasha mendadak berubah drastis. “Apa?”
Qyo lagi-lagi hanya tersenyum.
Nasha memukul kepalanya dengan tangan. “Mati aku! Aduh… lupa!”
Qyo hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa kecil melihat Nasha yang telah berlari tergesa-gesa di tengah hiruk pikuk siswa-siswi yang berlalu di hadapannya. Setelah terpaku untuk beberapa lama di tempatnya, Qyo pun akhirnya memutuskan untuk bergegas ke kelasnya.
Suasana kelas sudah heboh ketika Qyo masuk. Nyatanya, sebagian penghuni kelas ini tidak mengerjakan PR Matematika yang dapat jatah di pelajaran pertama. Hampir semua warga kelas terlihat sibuk dengan buku dan contekan masing-masing, termasuk Nasha.
Qyo tetap dalam keadaan tenang saat ia mendapati Nasha sedang menyalin buku yang entah milik siapa ke bukunya. Qyo lalu duduk di bangkunya, tepat di samping Nasha. Ditatapnya teman di sampingnya itu dengan senyum geli.
“Sibuk bener, Neng,” goda Qyo.
“Jangan ganggu! Aku lagi sibuk.”
“Mau dibantu nggak?”
Nasha mendadak menghentikan kegiatan menconteknya dan menatap Qyo dengan tatapan tanya. “Beneran?” tanya Nasha tidak percaya.
Qyo mengangguk mantap.
“Kamu kerja PR Fisika aja. Tuh, ada di tasku.” Qyo menunjuk sebuah tas dengan dagunya. “Biar aku yang kerjain PR Matematikamu.”
Nasha terdiam sejenak.
“Mau nggak?” tanya Qyo dengan nada suara yang lebih tinggi karena mendapati Nasha tediam tanpa memberi respon.
“Eh… iya. Mau… mau.”
Semua jarak yang sebelumnya terbentang antara keduanya mendadak sirna. Keramahan Qyo tenyata mampu meluruhkan rasa segan Nasha yang awalnya menjadi beban.
ÖÖÖÖÖ
Dengan wajah cemberut, Nasha duduk di pinggir lapangan. Dipandanginya lapangan basket di depannya dengan wajah kesal. Sejauh mata memandang, sekolah sudah kosong melompong sejak tadi. Dan hal inilah yang membuat Nasha kesal setengah mati karena sang papa tidak jua menampakkan batang hidungnya.
“Kok belum pulang?”
Qyo yang muncul tiba-tiba di belakangnya cukup membuat Nasha mengelus dada saking kagetnya.
“Lagi nunggu jemputan,” jawab Nasha setelah berhasil mengatasi kekagetannya.
“Ooo.”
“Kamu sendiri kenapa masih keliaran?” tanya Nasha penasaran
Qyo tertawa kecil. “Nggak ada pilihan kata lain apa? Kenapa harus kata ‘keliaran’?”
Senyum tercetak di bibir mungil Nasha saat mendengar aksi protes dari Qyo barusan.
“Terus ngapain dong?” tanya Nasha lagi.
“Ada deh! Mau tau aja!”
Mendengar jawaban Qyo, Nasha langsung manyun. Sama sekali tidak puas dengan jawaban yang diberikan Qyo tadi.
“Wah, aku baru tau kalau kamu tambah cantik kalau lagi marah,” goda Qyo sambil tersenyum jahil.
PLOOKK…
Sebuah pukulan sukses didaratkan Nasha di lengan Qyo.
“Jahat ihh…” kata Nasha dengan nada suara yang sedikit manja.
Mereka lalu larut dalam pembicaraan yang cukup panjang. Membicarakan banyak hal, mulai dari yang sangat serius sampai yang sama sekali nggak penting. Satu hal yang Nasha ketahui dengan pasti, Qyo adalah orang yang ramah dan sangat baik hati. Semua itu tercermin jelas dari sorot mata yang penuh ketulusan itu.
Seminggu sudah Nasha menjadi bagian dari sekolah ini. Namun, seperti anak baru pada umumnya, Nasha masih sangat sulit beradaptasi. Tapi, persepsi itu mendadak berubah karena keramahan yang Qyo perlihatkan hingga detik ini.
“Qyo…” Raka tiba-tiba muncul di ujung koridor.
Qyo memutar kepalanya ke arah suara. Raka terlihat memperpanjang langkah ke arahnya.
“Kamu dicariin anak-anak,” kata Raka dengan tergesa-gesa.
“Masih ada lima belas menit lagi kan?” Qyo balas bertanya.
“Iya sih. Tapi…”
“Sebentar lagi aku nyusul, Ka.”
Setelah pernyataan Qyo barusan, Raka hanya mengangguk kemudian membalik badan ke arah di mana ia muncul tadi.
“Ada apa, Qy?” tanya Nasha penasaran.
Qyo tidak menjawab pertanyaan Nasha, ia hanya membalasnya dengan sebuah senyuman. Nasha menyerah, ia tidak ingin bertanya lagi. Nasha tahu bahwa pertanyaannya tidak akan dijawab oleh Qyo.
Nasha tiba-tiba bangkit dari duduknya saat melihat sebuah Yaris putih terparkir di depan sekolah. “Eh, itu papaku udah datang. Duluan ya, Qy!”
Nasha setengah berlari dan mencoba secepat mungkin untuk menghampiri papanya yang sedang berdiri di pintu pagar. Sebenarnya, Nasha tengah mengalami pergulatan batin di dasar hatinya. Ia sangat ingin membalik badannya walau hanya sebentar untuk melihat keberadaan Qyo. Tapi, sebagian dalam dirinya seakan memerintahkan agar ia tak menengok sama sekali. Nasha terpaksa mengalah, niatnya untuk sekedar melihat Qyo sebelum memasuki mobil dipendamnya dahulu.
“Toh, besok pasti akan ketemu lagi,” Nasha meyakinkan dirinya.
ÖÖÖÖÖ
Matahari bersinar terang pagi ini, cuaca sangat cerah dan terlihat ramah. Awan putih menghiasi langit biru, membentuk perpaduan yang luar biasa indahnya. Langit yang membentang luas menampakkan keagungan dalam diamnya. Angin yang berhembus perlahan menambah indahnya cuaca di pagi ini.
Cerahnya pagi ternyata terbias kepada Nasha. Sejak bangun tidur tadi, wajahnya terlihat sangat cerah, tidak seperti biasanya. Mamanya sampai kaget setengah mati saat mendapati putri semata wayangnya lebih dulu bangun dibanding jam wekernya. Sesuatu yang merupakan keajaiban menurut sang mama tentu saja. Ada semangat yang menggebu dalam diri Nasha yang mendorongnya untuk mengajak waktu mempercepat detiknya hingga ia bisa segera ke sekolah.
“Nasha…” teriak Tita dari pintu pagar.
Nasha kontan berbalik ke suara yang memanggil namanya. Ia balas melambaikan tangan ke arah Tita.
“Tumben banget kamu datang cepat! Biasanya baru keliatan pas bel masuk berbunyi,” selidik Tita. Tita pun dibuat takjub dengan keadaan tidak biasa yang dilihatnya saat ini.
Nasha malah nyegir kuda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tidak tahu harus memberi penjelasan seperti apa kepada Tita. Sebenarnya, ia juga tidak tahu maksud dari tindakannya pagi ini.
Nasha dan Tita menyusuri koridor dengan riangnya. Mereka saling bergandengan tangan menuju kelas mereka yang terletak di ujung koridor sana. Sekolah masih sangat sepi, hanya terlihat beberapa siswa yang juga tengah berjalan santai menuju kelasnya. Suasana yang sama juga mereka dapati ketika menginjakkan kaki di kelas. Kelas masih kosong melompong tanpa seorang pun.
 “Sha, aku duduk sini ya!” pinta Tita dengan senyum yang mengembang lebar.
Nasha tidak langsung menjawab. Bukannya ia tidak mau duduk semeja dengan Tita. Tapi, bangku yang Tita tunjuk sudah ada yang punya , dengan kata lain bangku tersebut adalah milik Qyo.
Tita yang melihat Nasha bingung untuk menjawab akhirnya melanjutkan. “Nggak usah khawatir, Sha. Hari ini Qyo nggak masuk kok!”
“Qyo kemana emangnya?” tanya Nasha penasaran.
Namun, Tita tidak langsung menjawab. Ia malah memperbaiki posisi duduknya di sebelah Nasha.
“Hari ini, Qyo lagi ada kegiatan OSIS. Aku nggak tau pasti itu kegiatan apa. Tapi, kegiatannya itu diluar sekolah.”
Nasha terdiam sejenak. Masih sulit mencerna apa yang dijelaskan Tita barusan.
“Qyo anggota OSIS maksudmu, Ta?” tanya Nasha dengan wajah agak bingung.
Mendengar pertanyaan polos Nasha, giliran Tita yang memasang wajah bingung.
“Emangnya Qyo nggak bilang kalau dia itu Ketua OSIS-nya sekolah kita?” Tita balas bertanya.
Nasha menggeleng pelan. Kenyataan yang cukup membuatnya shock di pagi hari. Soalnya, Nasha sama sekali tidak kepikiran kalau sesosok manusia yang menjadi teman sebangkunya selama ini adalah seorang ketua OSIS.
“Astaga… Qyo benar-benar keterlaluan deh. Masak teman sebangkunya sendiri nggak diberitahu. Erqyo Veralt itu ketua OSIS kita, Sha.”
Mendapati Nasha tengah bingung di tempatnya, Tita jadi senyum-senyum sendiri seperti memikirkan sesuatu yang sangat lucu.
“Ngeliat kamu jadi shock gitu, aku jadi inget Dinda deh!”
Nasha belum memberi respon apa-apa. Tita melanjutkan, “Dinda itu teman sebangku Qyo sebelum kamu.”
Ternyata topik ini menarik perhatian Nasha. “Terus?”
“Ya, Dinda pindah sekolah beberapa minggu sebelum kamu pindah ke sekolah ini. Dinda sering banget jadi korban kejahilan Qyo. Hehehe.”
“Contohnya?” tanya Nasha penasaran sambil mengerutkan dahinya.
“Salah satunya, Qyo pernah nyimpen kecoa di tasnya Dinda. Padahal Dinda kan geli banget kalau liat kecoa. Dan itu membuat Dinda jejeritan sendiri di tengah jam pelajaran.”
“Jadi, Qyo sejahil itu?” Nasha seperti tidak percaya.
“Qyo itu susah ditebak tindak tanduknya. Kadang-kadang terlihat cool  dan berkarisma. Kadang-kadang malah lebih gokil dari Olga Syahputra.”
Tita kembali tersenyum-senyum sendiri saat membayangkan salah satu kejadian. Dan hal tersebut membuat Nasha kembali bingung dengan tingkah manusia yang sedang duduk di sebelahnya saat ini.
“Lebih lucunya, pas valentine tahun lalu. Qyo kan dapat banyak coklat dari adik kelas. Nah, semua coklat itu dimakannya padahal dia lagi sakit gigi.”
Nasha kembali mengerutkan dahi. “Rakus ihh…”
“Ngakunya sih bukan rakus, Sha. Qyo ngaku kalau dia lagi berlaku adil. Katanya, kalau salah satu coklat dimakan, maka yang lain juga harus dimakan. Kalau salah satunya dibuang, yang lainnya juga harus dibuang. Lucu kan?”
Cerita dari Tita mengenai Qyo barusan sukses membuat Nasha tertawa terbahak-bahak ketika membayangkan apa yang dilakukan Qyo dengan setumpuk coklat sekali duduk dalam keadaan sakit gigi.
Tet… tet… tet…
Bunyi panjang dari bel tanda pelajaran pertama membuat Tita dan Nasha harus mengakhiri cerita mereka pagi ini.
ÖÖÖÖÖ


Chapter 2



“Nashaaaaa…”
Nasha yang baru keluar dari kelasnya dibuat terkejut dengan suara seperti gledek yang memanggil namanya dari kejauhan.
“Deraaa…” Nasha balas teriak saat mengetahui kalau yang memanggilnya adalah wajah yang ingin ditemuinya sejak pertama kali menginjakan kaki di sekolah ini.
Nasha dan Dera pun berhambur di tengah lalu lalang para warga SMA Nusantara yang bergerombol menuju gerbang sekolah. Di tengah keramaian tersebut, Nasha dan Dera berpelukan, pelukan rindu dari seorang sahabat ke sahabatnya, pelukan dari sahabat yang sudah cukup lama tidak bertatap muka.
“Aku benar-benar nggak nyangka kalau kamu jadi sekolah di sini, Sha,” kata Dera dengan sedikit histeris. “I miss you to the highest level, Sha.”
“Aku juga, Der.”
Nasha melayangkan pandang pada sahabatnya yang kini berdiri di hadapannya. Dera makin cantik saja. Wajahnya yang tirus dengan bibir tipis yang seksi, rambut panjangnya yang berwarna coklat, mata bulatnya yang indah. Benar-benar perpaduan yang menarik.
“Kamu nggak berubah ya, Sha,” kata Dera, tepat sasaran.
Mendadak kekaguman Nasha pada sahabatnya ini berubah menjadi kekesalan. “Udah, nggak usah bahas penampilan deh! Kamu kemana aja? Kenapa baru nongol sekarang?” tanya Nasha dengan nada suara sedikit kesal.
“Aku lagi ke Singapore, temenin nyokap. Kamu kangen banget ya, Sha?” goda Dera dengan senyuman khasnya.
“Ihhh… GR.”
Dera yang gemes melihat Nasha yang kesal  tak kuasa menahan diri. Dicubitinya pipi Nasha yang putih sampai terlihat kemerahan. Dera sama sekali tidak peduli dengan Nasha yang meringis kesakitan.
“Kok kamu belum pulang, Sha?” tanya Dera tanpa rasa bersalah. Nasha memicingkan mata, memandang Dera dengan kesal sambil mengusap pipinya yang masih merah. Dera tetap dengan wajah innocent-nya, seakan ia tidak tahu alasan mengapa wajah Nasha memerah.
“Aku lagi nungguin papaku,” jawab Nasha singkat.
What? Left behind banget sih kamu. Kamu udah SMA loh, Sha. Masih dijemputin papamu?” Dera menggelengkan kepala, wajahnya dibuat seolah-olah ia sangat prihatin.
Nasha menghentakkan kakinya saking kesalnya. “Kamu dari tadi nyela terus. Aku jadi nyesel ketemu kamu hari ini.”
Dera kembali tertawa. “Sorry, beib. Kita damai, yuk!”
“Kamu kok belum pulang, Der?”
“Aku lagi nungguin seseorang.”
“Siapa?” tanya Nasha penasaran.
Melihat wajah Nasha yang penasaran, Dera memberi jawaban yang semakin membuat penasaran. “Ada deh!”
Dera dan Nasha akhirnya memilih menepi di salah satu bangku taman. Mengenang kembali masa di mana mereka masih berseragam putih-biru. Menceritakan kembali kisah tentang persahabatan, pelajaran, dan juga tentang cinta.
“Nah, itu dia yang aku tunggu.” Dera tiba-tiba menunjuk seseorang yang baru saja keluar dari ruang OSIS.
Nasha mengikuti arah di mana telunjuk Dera mengarah. Dan saat sadar siapa yang Dera maksud, tiba-tiba ada desiran halus yang mengganggu jauh di dasar hatinya. Susah payah Nasha berusaha untuk menguasai hatinya, berusaha agar raut wajahnya tidak berubah saat melihat Dera bergelayut manja di lengan Qyo.
Qyo dan Dera pacaran ya? Kelihatan sangat serasi, batin Nasha.
“Nah, ini dia orangnya yang udah buat aku nunggu dari tadi, Sha,” ucap Dera tanpa sadar dengan perubahan wajah Nasha.
Nasha melirik ke arah Qyo sejenak. Saat itu didapatinya wajah Qyo yang tersenyum sama cerianya dengan Dera yang berada di sampingnya.
“Oh iya, Qy. Ini dia sahabat yang aku ceritain ke kamu tempo hari. Namanya Nasha.” Dera memperkenalkan Nasha dengan wajah ceria.
“Nasha ini kan anak baru di kelasku, Der. Kita berdua malah teman sebangku. Iya kan, Sha?”
Nasha membalas pertanyaan Qyo dengan anggukan.
What? Dunia ini kok sempit banget, ya?” Dera agak terkejut dengan kenyataan barusan.
Nasha masih belum mampu berkata apa-apa hingga detik ini. Entahlah, rasanya sedikit terganggu dengan kondisi ini.
“Kalian pacaran, ya?”
Nasha tidak bisa memendam pertanyaan yang berlalu lalang di kepalanya lebih lama. Tanpa pikir panjang lagi, ia ingin memastikan hubungan apa yang terjalin antara dua orang yang berada di hadapannya saat ini.
What do you talking about?  Emang kita keliatan kayak orang pacaran ya, Sha?” tanya Dera.
Nasha lagi-lagi hanya mengangguk.
“Qyo ini sepupuku, Sha.” Dera memberi jawaban singkat.
“Oooo…”
Mendadak hati Nasha bersorak gembira. Tanpa ia sadari, wajahnya yang tadi suram kini mengembangkan senyum yang penuh kelegaan.
“Pulang bareng kita aja, Sha,” ajak Dera.
“Nggak ahh. Papaku udah deket kok, Der. Bentar lagi sampai.”
ÖÖÖÖÖ
Sunyi. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan rumah Nasha saat ini. Mama sedang tidak ada di rumah saat Nasha pulang. Biasanya, Nasha gembira bukan kepalang saat mamanya tidak ada. Soalnya, ia bisa tidur siang sepuasnya, bisa makan cemilan sebanyak-banyaknya dan main game sepuasnya tanpa ada omelan dari sang mama tentang kesehatan dan kecantikan seorang wanita. Tapi, kali ini berbeda. Kesunyian ini membawa Nasha terbenam dalam pikirannya akan memori tentang hujan yang terjadi beberapa tahun lalu, sebelum ia pindah ke kota yang berbeda. Kenangan tentang pangeran hujan yang selalu membuatnya larut dalam kekaguman.
Nasha bangkit dari duduknya dan menuju cermin besar yang memuat seluruh pantulan tubuhnya.
“Apa mungkin pangeran hujan itu adalah dia?”
Nasha menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya keras-keras sebelum menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur.
ÖÖÖÖÖ




Tidak ada komentar:

Posting Komentar