Translate

Search

Senin, 24 Februari 2014

Ujian Hati


Ujian Hati

@nanykhairani

Cinta itu tidak serumit yang kita bayangkan, tapi cinta juga tidak sesederhana yang kita pikirkan. Intinya, cinta itu sulit untuk di deskripsikan. Mungkin, kita hanya perlu membiarkannya mengendap perlahan
Matahari baru saja memulai tugasnya untuk menyapa makhluk yang berpijak di bumi Tuhan. Sisa-sisa dari embun seakan menjadi pertanda bahwa semburat jingga di langit sana baru saja berubah menjadi biru. Mungkin kini sulit mendengar kicauan burung yang menyambut pagi setelah pembangunan di kota yang makin menjadi. Tapi, bau khas tanah basah sehabis hujan tetap menjadi sensasi tersendiri yang tak bisa dipisahkan dari pesona sang pagi.
Angkot yang membawaku baru saja berhenti, suasana jalan masih sepi saat aku melangkahkan kaki menuju sekolah yang berada di ujung jalan ini. Hari ini adalah hari pertama Ujian Tengah Semester, sekaligus hari pertama aku menempuh ujian semenjak tercatat sebagai siswi dari salah satu SMA terbaik di Makassar, SMA Cattleya.
Deg-degan? Tentu saja. Apalagi ujian kali ini akan menggabungkan siswa-siswi dari kelas X dan XII di satu kelas yang sama. Katanya, cara ini adalah salah satu usaha sekolah untuk mengurangi kegiatan contek-mencontek yang seakan sudah menjadi hal wajib saat ujian sekolah berlangsung.
Sekolah masih sama sepinya dengan jalanan tadi saat aku tiba di gerbang. Aku sengaja datang sepagi mungkin agar tidak terlambat mengikuti ujian. Rasa percaya diriku semakin tinggi mengingat bagaimana usahaku untuk belajar selama ini, belum lagi doa dari orang tua yang sudah kukantongi. Hal-hal tersebut menguatkanku untuk menjalani hari.
Sekitar dua puluh menit kemudian, suasana sekolah mulai ramai oleh para warga Cattleya yang berseragam putih-hijau, seragam yang sama dengan seragam yang kukenakan saat ini. Sebagian besar terlihat sibuk mencari ruangannya. Aku? Tentu saja aku sudah duduk manis di ruangan di mana namaku tertempel. Aku sudah mengecek ruangan ujianku jauh-jauh hari sebelumnya. Persiapanku matang, itu kataku jika aku boleh menyombongkan diri.
“Nad, kamu di ruangan ini juga?” tanya Rischa yang tampak kaget saat mendapatiku sebagai penghuni pertama di ruangan ini.
Aku mengangguk mantap. “Iya.”
“Aduhhhh … aku deg-degan nih. Gimana rasanya ya duduk sebelahan sama kakak kelas? Gimana kalau kakak kelasnya cakep? Pasti enggak bisa konsen ngerjain ujian,” kata Rischa, berusaha mendramatisir keadaan.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Jujur saja, apa yang dipikirkan Rischa juga sempat terpikirkan olehku semalam. Dan kenyataannya, hal tersebut membuat debaran jantungku membabi buta.
Ah tidak! Aku harus benar-benar konsentrasi dengan ujian ini. Harus.
Jam dinding menunjukkan pukul 07.30 saat pengawas ujian yang terkenal cukup killer memasuki ruang ujianku. Semua orang telihat sibuk menyiapkan kartu ujian yang menjadi syarat utama untuk mengikuti ujian. Dan aku? Aku kebingungan mencari kertas berwarna kuning itu, kertas yang sejak semalam kupersiapkan, dan aku yakin membawanya tadi pagi. Ingin rasanya aku menangis saat ini juga ketika tidak mendapati kartu ujianku, tidak ada di saku, tidak ada di tas, tidak ada di tempat pensil, tidak ada di mana-mana.
“Humaerah Nada Alisyka?”
Sebuah suara terdengar menyebutkan namaku dengan sangat lengkap, tapi kesibukanku mencari kertas berwarna kuning yang menjadi penentu nasibku hari ini membuatku mengacuhkan suara yang terdengar berat itu.
“Ini kartu ujianmu ‘kan?” tanya suara tersebut sambil menyodorkan sebuah kartu yang bertuliskan namaku. “Kamu menjatuhkannya di depan kelas,” katanya sambil tersenyum hangat.
Debaran jantungku mendadak liar ketika mataku bertemu dengan pemilik mata berwarna caramel yang baru kusadari adalah kakak kelas yang akan menjadi teman sebangkuku sampai ujian ini selesai. Kakak kelas bernama Farri Rasid yang selama ini selalu sukses membuat teman-teman kelasku jejeritan tidak karuan. Demi Matahari dan semua planet yang mengitarinya … dia … dia sangat tampan! Dan kuakui pernyataanku ini dengan segenap kesadaran yang masih utuh.
Alhasil, aku harus bersusah payah mengembalikan perhatianku untuk berkonsentrasi pada tumpukan soal yang berada di ujung pulpenku. Aku pun harus berusaha menahan ekor mataku agar tidak melirik ke pemuda di sebelahku..
Gawat! Pesonanya benar-benar merusak konsentrasiku.
“Gambarmu bagus,” tegur Farri saat melihat coretan isengku di balik kertas soal.
Jantungku rasanya ingin meloncat keluar saat Farri melemparkan senyum yang memperlihatkan giginya gigi rapinya. Senyum paling manis yang pernah kulihat hingga detik ini.
“Kamu suka membuat sketsa, ya?” tanyanya dengan suara yang berusaha dikecilkan agar obrolan kami tidak menarik perhatian pengawas ujian.
“I-iya, Kak,” jawabku terbata.
“Aku juga suka,” katanya dengan mata berbinar. Lagi-lagi dengan senyuman yang sanggup menembus jantung dalam waktu singkat. Sangat mematikan!
Melihat matanya yang berbinar, kuyakinkan hatiku saat ini juga bahwa aku akan terus membuat ribuan sketsa di mana dia akan menjadi objeknya. Kekaguman padanya yang tidak harus kuungkapkan dengan kata karena aku cukup mengerti bahwa ada jarak yang terhampar luas antara diriku yang teramat biasa dengan dirinya yang menyerupai dewa.
                                                                     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar