Maya
@nanykhairani
Langit
mulai berubah gelap saat aku tiba di rumah, tampaknya hujan akan segera menyapa
dalam hitungan menit. Kupercepat langkah menuju kamarku dengan bibir yang
mengembangkan senyum yang aku pun sulit untuk mengartikannya. Rasa tidak
sabaran memenuhi hati dan pikiranku.
Saat pintu kamar terbuka, hal pertama
yang menarik perhatianku adalah laptop yang sedang bertengger manis di atas
meja belajar. Tidak ada basa-basi lagi, aku segera meraih laptop yang sejak
tadi kuinginkan. Aku buru-buru log in
ke salah satu sosial media yang paling sering dikunjungi para netizen, sosial media yang
menghubungkanku dengan berbagai teman mayaku.
Ya, beberapa bulan terakhir ini, aku memang sedang asyik menghabiskan waktu
dengan online di sosial media tersebut,
Facebook lebih tepatnya.
Sebenarnya ada alasan kuat mengapa aku
selalu ingin menghabiskan waktu di dunia maya, dunia semu di mana aku dapat
bercengkrama dengan berbagai macam manusia tanpa harus bertatap muka secara
langsung, hitung-hitung sebagai pelepas penat setelah semua kegiatan di sekolah
yang menurutku cukup membosankan.
Hal pertama yang kulakukan setelah aku
berhasil log in adalah mengecek akun
salah satu teman mayaku, Zayn. Ya, dialah alasan kuat yang membuat online menjadi candu untukku setelah
mengenalnya beberapa bulan lalu. Pemuda itu seumuran denganku, tinggal di pulau
yang berbeda, suku dan budaya yang berbeda, waktu yang berbeda, tapi kami
memiliki banyak kesamaan mengenai selera dan hobby, dan harus kuakui kalau dia memiliki wajah yang good looking. Hal-hal tersebut yang
membuatku merasa betah berbincang dengannya di chat room.
“Ah, tidak ada komentar apa-apa darinya.
Mungkin, dia sedang sibuk dengan kuliahnya,” sesalku ketika melihat tidak ada
komentar apa-apa di status yang kubuat semalam. Biasanya dia rutin memberi
komentar pada setiap postinganku. Hal
tersebut membuatku resah.
“Kak Maya kok senyam-senyum sendiri
kayak gitu?” tegur Lala, adikku yang tiba-tiba muncul di kamarku tanpa aku
sadari.
“Kamu ngapain di kamar Kakak, La?”
tanyaku sambil berusaha menutupi layar laptopku dengan bantal.
“Mau ngambil kamus, Kak,” jawab Lala
singkat. “Ck! Enggak usah ditutupin laptopnya, Lala tau kok Kakak lagi apa.”
Aku tidak menjawab.
“Kakak kayaknya udah kecanduan online deh. Sadar, Kak! Jangan keasyikan
sama dunia maya yang tidak diketahui kepastiannya.”
“Udah, jangan ceramah! Kamu mau gantiin
Mama Dedeh apa?” gerutuku sambil menatapnya sebal.
Lala tidak melanjutkan, ia tipe anak
yang tidak doyan ribut dan cenderung pendiam. Setelah Lala pergi, aku kembali
hanyut dalam keasyikan dalam dunia semu dengan teman-teman baru yang membuatku
enggan meninggalkan layar laptopku walau hanya semenit.
Zayn
tidak termasuk dalam kategori teman-teman yang kumaksud tadi. Aku tidak tahu
kemana dia beberapa hari ini. Dia menghilang begitu saja tanpa pamit setelah
memberi komentar pada foto yang ku-posting
beberapa hari yang lalu.
Ingin rasanya aku melonjak saat kulihat Zayn
baru saja meng-update status terbaru
di akunnya beberapa menit yang lalu. Aku sampai lupa meletakkan tasku ke meja
saking bahagianya mendapati dirinya sudah aktif lagi di sosial media ini.
Rindu
yang mengakar dengan kuatnya.
Kalimat inilah yang
kudapati terpajang di beranda Facebook-ku.
Dadaku mendadak berdebar kencang. Entah, aku tidak mengerti apa yang terjadi
pada diriku saat ini. Aku belum pernah bertemu dengannya secara langsung, aku
juga belum pernah mendengar suaranya, tapi mengapa rasa kagumku padanya semakin
menjadi-jadi setiap harinya, ada ketenangan yang kudapatkan ketika bisa
menghabiskan waktu dengan mengobrol dengannya, walau bukan di dunia nyata.
Apa yang ia maksud adalah aku? Apa dia rindu padaku?
Pikiranku mulai
melayang ke mana-mana mengenai semua kemungkinan yang terjadi dari kalimat
pendek yang ditulisnya.
Ah, mungkin aku hanya ke-GR-an!
Aku meyakinkan hatiku
bahwa yang Zayn maksud sudah pasti bukan aku. Setelah debaran di dadaku mulai
normal, aku mengomentari status tersebut dengan penuh semangat, dan komentar
itu pun berbalas. Tanpa kusadari, aku sudah melewatkan dua jam untuk berbalas
komentar dengannya, tercatat seratus delapan komentar di sana yang isinya hanya
komentarku dan komentarnya.
Ah, aku merindukanmu. Dan aku tidak tahu sejak kapan rindu
ini menyapaku.
Inilah kalimat terakhir
dari komentar Zayn, dan kalimat tersebut telah sukses membuat debaran di dadaku
jauh lebih liar dari sebelumnya. Aku tidak tahu harus memberi komentar apa,
karena aku tidak tahu pasti apakah dia sungguh-sungguh mengatakannya atau hanya
sekedar candaan semata. Yang jelas, aku pun sangat merindukannya.
Setelah cukup lama
bergulat dengan hati dan logikaku, akhirnya kuputuskan untuk menanggapi
komentarnya dengan bercanda. Aku tidak ingin dia tahu apa yang sebenarnya
kurasakan saat ini, gengsi nyatanya masih menguasai sebagian besar ruang di
hatiku.
Aku terpaku di depan
layar laptop dalam waktu yang cukup lama. Sebuah rasa yang sebenarnya sudah
lama tidak menyapaku kembali hadir, rasa yang terakhir kali kurasakan di
detik-detik berakhirnya hubungan dengan kekasihku beberapa tahun lalu. Cemburu?
Ya, mungkin itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan rasa yang kini
menjalari hatiku.
Mungkin aku butuh istirahat. Sakit… L
Dadaku terasa sesak
membaca status terbaru dari Zayn, tapi yang lebih menyesakkan lagi adalah
kenyataan bahwa ada sebuah akun bernama Lyra Ananda yang sedang berbalas
komentar dengan Zayn beberapa menit yang lalu. Mereka terlihat sangat akrab
dari beberapa komentar yang sempat kubaca.
“Kok muka Kak Maya
gundah gulana begitu?”
Lala lagi-lagi muncul
tiba-tiba di kamarku. Aku berusaha sekuat tenaga membuat agar raut wajahku
terlihat normal di depan adikku. Sungguh, hal ini sangat memalukan jika dia
mengetahui bahwa aku cemburu pada orang yang sama sekali belum pernah kutemui
sebelumnya.
“Siapa yang gundah
gulana? Kamu asal tebak!” dustaku.
“Sorot mata tidak bisa
bohong, Kak,” balas Lala.
Setelah menyelesaikan
kalimatnya, Lala pergi begitu saja. Aku pun kembali hanyut dalam kecemburuanku
terhadap kedua akun yang kini tengah asyik berbalas komentar, Zayn Alatas dan
Lyra Ananda. Akhirnya kuurungkan niat untuk memberi komentar pada status Zayn,
walau hanya ucapan ‘semoga cepat sembuh’. Kuputuskan untuk log out sesegera mungkin sebelum kecemburuanku makin tak terkendali.
Kupandangi kertas di
tanganku dengan lemas. Terlihat jelas namaku terpampang di sana, Maya Chaesara
Shafeea dengan nilai yang bisa dikatakan di bawah standar. Langkahku terasa
berat memasuki rumah, aku bisa membayangkan bagaimana kecewanya Mama yang selalu
membanggakanku karena nilaiku yang selama ini mendekati sempurna.
“Apa itu, May?” tanya
Mama dari puncak tangga.
Aku menghela napas
panjang. “Rapor sementara, Ma.”
Mama mengembangkan
senyum kemudian terlihat antusias menghampiriku. Baru kali ini aku merasa berat
memperlihatkan deretan nilaiku pada Mama, aku sudah bisa membayangkan kekecewaannya.
“Coba Mama lihat!”
Dengan berat hati
kuserahkan kertas yang ada di tanganku pada Mama. Aku tidak berani menatap
wajahnya, wajah yang selama ini selalu mendoakanku dalam setiap sujudnya. Cukup
lama Mama terdiam, jantungku berdetak hebat menantikan kalimat yang akan keluar
dari mulutnya. Tapi kalimat yang kutunggu tak kunjung terdengar, akhirnya
kuberanikan diri mengangkat kepala untuk menatap wajah Mama. Ada senyum di
sana, yang jelas bukan senyum bangga seperti biasanya.
“Tidak apa-apa. Hidup
memang kadang di atas dan kadang di bawah. Dunia ini berputar,” kata Mama
sambil mengusap kepalaku. “Kamu sudah dewasa, kamu tahu mana yang baik dan mana
yang tidak. Mama harap, nilai semester depan akan jauh lebih baik dari ini.”
Memang tidak terlontar
kekecewaan dari Mama, tidak ada kemarahan yang terlintas di wajahnya, dia tetap
menatapku teduh dengan penuh rasa percaya pada putri pertamanya. Tapi
kepercayaan Mama tersebut malah menikamku telak di pusat hati. Betapa
durhakanya aku menodai kepercayaan besar itu dengan keasyikan yang semu,
meninggalkan semua kewajibanku, tugas-tugasku, ujianku, hanya untuk
bercengkrama dalam dunia maya. Mengorbankan banyak hal termasuk perasaan yang
tumbuh sia-sia pada seseorang yang sama sekali belum pernah kutemui dan hanya
kuketahui wajahnya lewat foto-fotonya saja.
Aku harus mengakhiri semua ini!
Aku buru-buru menuju
kamar dan mengambil laptop sebagaimana
rutinitasku beberapa bulan ini, hanya saja rasaku kali ini telah berubah.
Setelah berhasil masuk pada akunku, kupandangi akun Zayn Alatas yang selama ini
tidak pernah luput dari perhatianku. Kembali kutemukan akun Lyra Ananda yang
semakin terlihat akrab dengan Zayn melalui komentar-komentarnya.
Aku menarik napas
panjang sebelum memilih untuk menghapus akun Zayn Alatas dari friends list-ku. Mungkin aku perlu
membatasi diri agar tidak candu lagi pada dunia semu, dunia maya yang beberapa
bulan terakhir ini telah menyedotku terlalu dalam, membuatku lupa pada
kewajibanku di dunia nyata, membuatku mengorbankan salah satu hal penting dalam
hidupku.
Aku tidak menyalahkan
Zayn, aku juga tidak menyalahkan perasaanku padanya karena rasa tidak bisa
diatur seenaknya. Harus kuakui, aku mengaguminya dan aku merasa nyaman
menghabiskan waktu dengan bertukar cerita dengannya. Tapi aku ingin menjadi
seseorang yang lebih baik dari sebelumnya, seseorang yang bisa menyeimbangkan
antara nyata dan maya.
Zayn… kuharap kita bisa bertemu di dunia nyata. Bertukar
cerita sambil saling menatap wajah, saling mendengar suara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar