Ujian
Hati
@nanykhairani
Cinta
itu tidak serumit yang kita bayangkan, tapi cinta juga tidak sesederhana yang
kita pikirkan. Intinya, cinta itu sulit untuk di deskripsikan. Mungkin, kita
hanya perlu membiarkannya mengendap perlahan
Matahari baru saja memulai tugasnya
untuk menyapa makhluk yang berpijak di bumi Tuhan. Sisa-sisa dari embun seakan
menjadi pertanda bahwa semburat jingga di langit sana baru saja berubah menjadi
biru. Mungkin kini sulit mendengar kicauan burung yang menyambut pagi setelah
pembangunan di kota yang makin menjadi. Tapi, bau khas tanah basah sehabis
hujan tetap menjadi sensasi tersendiri yang tak bisa dipisahkan dari pesona
sang pagi.
Angkot yang membawaku baru saja
berhenti, suasana jalan masih sepi saat aku melangkahkan kaki menuju sekolah
yang berada di ujung jalan ini. Hari ini adalah hari pertama Ujian Tengah
Semester, sekaligus hari pertama aku menempuh ujian semenjak tercatat sebagai
siswi dari salah satu SMA terbaik di Makassar, SMA Cattleya.
Deg-degan? Tentu saja. Apalagi ujian
kali ini akan menggabungkan siswa-siswi dari kelas X dan XII di satu kelas yang
sama. Katanya, cara ini adalah salah satu usaha sekolah untuk mengurangi
kegiatan contek-mencontek yang seakan sudah menjadi hal wajib saat ujian sekolah
berlangsung.
Sekolah masih sama sepinya dengan
jalanan tadi saat aku tiba di gerbang. Aku sengaja datang sepagi mungkin agar
tidak terlambat mengikuti ujian. Rasa percaya diriku semakin tinggi mengingat
bagaimana usahaku untuk belajar selama ini, belum lagi doa dari orang tua yang
sudah kukantongi. Hal-hal tersebut menguatkanku untuk menjalani hari.
Sekitar dua puluh menit kemudian,
suasana sekolah mulai ramai oleh para warga Cattleya yang berseragam
putih-hijau, seragam yang sama dengan seragam yang kukenakan saat ini. Sebagian
besar terlihat sibuk mencari ruangannya. Aku? Tentu saja aku sudah duduk manis
di ruangan di mana namaku tertempel. Aku sudah mengecek ruangan ujianku
jauh-jauh hari sebelumnya. Persiapanku matang, itu kataku jika aku boleh menyombongkan
diri.
“Nad, kamu di ruangan ini juga?” tanya
Rischa yang tampak kaget saat mendapatiku sebagai penghuni pertama di ruangan
ini.
Aku mengangguk mantap. “Iya.”
“Aduhhhh … aku deg-degan nih. Gimana
rasanya ya duduk sebelahan sama kakak kelas? Gimana kalau kakak kelasnya cakep?
Pasti enggak bisa konsen ngerjain ujian,” kata Rischa, berusaha mendramatisir
keadaan.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Jujur
saja, apa yang dipikirkan Rischa juga sempat terpikirkan olehku semalam. Dan
kenyataannya, hal tersebut membuat debaran jantungku membabi buta.
Ah
tidak! Aku harus benar-benar konsentrasi dengan ujian ini. Harus.
Jam dinding menunjukkan pukul 07.30 saat
pengawas ujian yang terkenal cukup killer
memasuki ruang ujianku. Semua orang telihat sibuk menyiapkan kartu ujian
yang menjadi syarat utama untuk mengikuti ujian. Dan aku? Aku kebingungan
mencari kertas berwarna kuning itu, kertas yang sejak semalam kupersiapkan, dan
aku yakin membawanya tadi pagi. Ingin rasanya aku menangis saat ini juga ketika
tidak mendapati kartu ujianku, tidak ada di saku, tidak ada di tas, tidak ada
di tempat pensil, tidak ada di mana-mana.
“Humaerah Nada Alisyka?”
Sebuah suara terdengar menyebutkan
namaku dengan sangat lengkap, tapi kesibukanku mencari kertas berwarna kuning
yang menjadi penentu nasibku hari ini membuatku mengacuhkan suara yang
terdengar berat itu.
“Ini kartu ujianmu ‘kan?” tanya suara tersebut
sambil menyodorkan sebuah kartu yang bertuliskan namaku. “Kamu menjatuhkannya
di depan kelas,” katanya sambil tersenyum hangat.
Debaran jantungku mendadak liar ketika
mataku bertemu dengan pemilik mata berwarna caramel
yang baru kusadari adalah kakak kelas yang akan menjadi teman sebangkuku sampai
ujian ini selesai. Kakak kelas bernama Farri Rasid yang selama ini selalu sukses
membuat teman-teman kelasku jejeritan tidak karuan. Demi Matahari dan semua planet
yang mengitarinya … dia … dia sangat tampan! Dan kuakui pernyataanku ini dengan
segenap kesadaran yang masih utuh.
Alhasil, aku harus bersusah payah
mengembalikan perhatianku untuk berkonsentrasi pada tumpukan soal yang berada
di ujung pulpenku. Aku pun harus berusaha menahan ekor mataku agar tidak
melirik ke pemuda di sebelahku..
Gawat!
Pesonanya benar-benar merusak konsentrasiku.
“Gambarmu bagus,” tegur Farri saat melihat
coretan isengku di balik kertas soal.
Jantungku rasanya ingin meloncat keluar
saat Farri melemparkan senyum yang memperlihatkan giginya gigi rapinya. Senyum
paling manis yang pernah kulihat hingga detik ini.
“Kamu suka membuat sketsa, ya?” tanyanya
dengan suara yang berusaha dikecilkan agar obrolan kami tidak menarik perhatian
pengawas ujian.
“I-iya, Kak,” jawabku terbata.
“Aku juga suka,” katanya dengan mata
berbinar. Lagi-lagi dengan senyuman yang sanggup menembus jantung dalam waktu
singkat. Sangat mematikan!
Melihat matanya yang berbinar,
kuyakinkan hatiku saat ini juga bahwa aku akan terus membuat ribuan sketsa di
mana dia akan menjadi objeknya. Kekaguman padanya yang tidak harus kuungkapkan
dengan kata karena aku cukup mengerti bahwa ada jarak yang terhampar luas
antara diriku yang teramat biasa dengan dirinya yang menyerupai dewa.