Translate

Search

Minggu, 08 Desember 2013

ANNISA



ANNISA


Created by :@Ashbar_Prasetya
 
Aku berlari menyusuri koridor fakultas pendidikan lalu naik ke lantai dua. Hanya satu dua orang mahasiswa yang kujumpai di koridor, selebihnya sunyi senyap. Aku terus berjalan sampai ke ujung koridor dan tepat di depan pintu bernomor C 208, kuhela napas panjang. Kucoba mengatur napas lalu membuka pintu dengan pelan tapi suara pintu membuat Nakagawa Sensei dan semua temanku menoleh. Nakagawa Sensei memberiku lembar soal berikut lembar jawabannya. Sialan! Tempat pensilku ketinggalan, mau ngisi pakai apa? Kulirik orang di bangku sebelah. Tiba-tiba jantungku berdegup keras. Haruskah aku meminjam pada Annisa? Huh, kuhembuskan napas yang terasa mengganjal di dadaku.
"Annisa san, pensiru kashite kureru?" tanyaku nekad. Kulihat Annisa agak terkejut dan tanpa bicara apa-apa dia mengeluarkan pensilnya dan menyerahkannya padaku.
"Segera kerjakan!" suara Nakagawa Sensei yang lewat di sampingku membuyarkan lamunanku.
"Temanya apa?" kembali aku bertanya pada Annisa yang tengah asyik mengarang. Cewek serba tertutup tapi sebenarnya cantik itu mendongakkan kepalanya. Seperti biasanya dia menjawab tanpa memandangku.
"Pilih salah satu dari tema sakubun yang pernah dibuat."
"Arigato," kataku berterima kasih.
"Kim san, dodattano?" tanya Huong, kawan Vietnamku, ketika aku sudah duluan.
"Hampir semuanya bisa," jawabku pendek sembari mencari sosok Annisa di antara para mahasiswa yang berjalan di koridor ini.
"Hei, Kim san, cari siapa sih?" Taniya menarik tanganku, sebelah tangannya lagi mengambil pensil yang kupegang.
"Sepertinya pensil ini sering kupinjam. Punyanya Annisa kan?"
"Dia masih marah?" Huong berbisik di telingaku. Aku tersenyum kecut dan mengangguk.
"Wajar sih, memang kita yang salah. Kalau mau cari dia paling-paling di ruang komputer lagi ng-email atau... kita makan slang dulu yuk?" ajak Huong sambil menarik tanganku. Kuikuti saja mereka ke Shokudo yang antrinya bikin laparku jadi hilang.
ËËË
Awalnya aku mendapat kesan Annisa itu pendiam, dingin, dan tak suka bergaul. Tapi itu kebalikannya. Dia begitu ramah, pandai bergaul, dan wajahnya selalu berseri. Oho! Penutup kepalanya pun selalu berwarna-warni sesuai dengan baju yang dikenakannya. Pantas dilihatnya, sampai-sampai Hasegawa Sensei selalu memujinya. la sering mengajaknya ngobrol sebelum pelajaran dimulai. Katanya Annisa selalu tampak cantik dan berseri, meskipun bangun pagi-pagi sekali. Apa? Pukul setengah lima pagi? Dengan musim yang sedingin ini? Mana mungkin? Tapi akhirnya aku percaya juga setelah dia mengatakan bahwa dia harus salat dan sahur karena esok harinya puasa. Lagi-lagi ada yang ganjil. Puasa? Apa tidak mati? Semuanya tak bisa kuterima dengan akal sehat. Kenapa harus menyiksa diri? Harus salatlah, puasalah, tidak makan daginglah, dan mungkin ada yang lebih gila lagi. Agama macam apa itu? Baru kusadari dan aku beruntung dengan keadaanku yang tidak beragama kalau beragama itu justru hidup penuh dengan aturan? Hidup harus dinikmati. Agama gila! Kasihan sekali Annisa.
Fuyu tahun ini buruk sekali. Tapi bagiku ini hal yang biasa karena Korea bisa lebih dingin dari ini. Tapi tetap saja aku kedinginan. Waktu pertama kali salju turun, kulihat orang yang paling bahagia adalah Annisa dan Huong. Katanya baru kali inilah mereka melihat salju dan bisa merasakan dinginnya. Tapi kalau kulihat pakaian Annisa sepertinya dia tak akan kedinginan. Telinganya akan selalu hangat begitu juga dengan kakinya yang selalu terbungkus kaus kaki. Bagaimana dengan musim panas? Bisa-bisa dia mati kepanasan atau mungkin dia akan berubah penampilan.
Suatu hari kutanyakan rambutnya pada Huong karena aku tahu dia yang paling dekat dengannya. Tapi Huong cuma menggeleng mengatakan, "Wakaranai."
"Katanya sih, aku boleh melihatnya kalau aku juga Muslim. Padahal kan aku penasaran sekali ingin melihat rambutnya. Masa sih rambut saja tidak boleh dilihat. Lagi pula kita kan cewek. Aku sama Taniya sempat kesal sekali. Oh ya, Yanti, kawannya Annisa, pernah bilang bahwa Annisa lebih cantik tidak pakai kerudung. Rambutnya lurus, hitam, dan tebal."
"Aku tahu," potongku cepat. "Lho kok?" si Huong kebingungan. "Dia memang cantik. Dan aku bisa bayangkan rambutnya bagus sekali." Huong tertawa ngakak. Aku celingukan. "Doshite."
"Kamu suka Annisa kan?" Gantian aku yang bengong. "Kim san, kalau kamu mau dia, harus masuk Islam dulu." Aku bergidik. Islam?
Akhirnya aku akui kalau selama ini aku memendam perasaan khusus pada Annisa. Itu kukatakan pada Huong untuk menyampaikannya pada Annisa. Selama pelajaran Hashimoto Sensei, kuperhatikan reaksi Annisa. Tetap seperti biasanya. Kutunggu Huong di samping gedung fakultas sastra tempat kami biasa memarkir sepeda. Kulihat Huong berjalan ke arahku.
"Bagaimana?" tanyaku tak sabar.
"Dia cuma senyum saja, tidak menjawab apa-apa."
"Masa sih?"
"Mana mungkin aku bohong. Aku sih dukung saja kalau kamu suka Annisa. Dia kan baik, sabar, dan suka bantu kawan. Tapi apa kamu sanggup masuk Islam?"
"Kalau pacaran saja kan tidak perlu masuk Islam. Nanti kalau mau jadi suaminya."
"Kamu mau jadi suaminya?" mata si Huong terbelalak. Kusimpan kunci dan tas di keranjang depan sepeda.
"Aku sangat mencintainya, Huong. Kadang aku ingin menikah dengannya tapi kenapa syaratnya harus seberat itu? Mana ada yang mau?"
"Terus kalau pacaran kamu mau apa?"
Kukeluarkan sepeda dari deretan sepeda lainnya, begitu juga dengan Huong. Kami ngobrol sambil mengayuh sepeda menuju arah barat ke apartemen kami.
"Kim san, pikirkan lagi saja. jangankan untuk tidur bersama, disentuh tangannya saja dia tidak mau."
"Memangnya ada yang mau menyentuh dia?"
"Bukan begitu. Waktu kita pulang dari Hiroshima Castle, tanpa sengaja Mayumi memegang tangan Annisa. Tsumetai sekali katanya. Terus si Tobishima penasaran ingin pegang telapak tangannya, tapi Annisa menarik tangannya dan minta maaf. Aneh kan?"
Sebegini keraskah cewek Indonesia bernama Annisa ini? Mungkinkah dia tak tertarik pada lawan jenis? Ah, tidak mungkin! Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalaku.
Nekat juga aku akhirnya. Kira-kira pukul sembilan malam kutekan bel kamar Annisa di lantai enam. Dia keluar dengan dandanan seperti biasanya. Kutunggu dia mempersilakanku masuk, tapi kata-kata itu tak keluar juga dari bibirnya.
"Ada apa, Kim san?"
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin ngobrol. Boleh kan?"
"Boleh, tapi aku sekarang sedang sibuk."
"Sibuk kenapa?"
"Aku sedang membalas email dari kawanku di Indonesia."
"Okey, kamu menulis surat dari, kawan akan menunggumu sambil nonton. Boleh kan?"
Annisa diam cukup lama. Dari balik pintu yang terbuka kulihat kamarnya rapi sekali.
"Maaf, Kim san, aku tak biasa memasukkan laki-laki ke dalam kamar. "Meskipun dia ayahmu?"
"Tentu tidak." "Jadi apa bedanya?"
"Sudahlah, Kim san, kamu tidak akan mengerti dan aku pun tak bisa menjelaskannya dalam bahasa Jepang juga bahasa Inggris." "Jelaskanlah sebisamu, aku akan mendengarnya."
Annisa menggelengkan kepalanya. "Tidak sekarang." "Karena aku tak boleh masuk baiklah, kita jalan-jalan sambil minuman hangat. Bagaimana?"
"Tidak bisa,"
"Kenapa?"
"Ini sudah malam dan..."
"Dan kenapa? Annisa, aku tak pernah bisa memahamimu. Kadang aku bingung, kamu berbeda dengan yang lainnya. Kawan-kawanku orang Turki, Uzbekistan, Maroko bahkan orang Indonesia pun mereka tidak berjilbab dan mereka bebas bergaul dengan laki-laki. Mereka pergi dansa, pesta, dan tidur bersama dengan pacarnya. Kenapa..."
"Sudahlah, Kim san, aku tak ingin berdebat denganmu."
"Aku tak ingin menyulitkanmu, Annisa. Justru karena aku mencintaimu aku mengatakan apa adanya. Aku tahu kamu baik dan ramah pada siapa pun, tapi mengapa ada hal-hal tertentu yang tidak pernah bisa kami mengerti. Tentang pergaulanmu dengan lawan jenis, tentang rambutmu yang tidak boleh kamu perlihatkan, dan..."
"Aku sudah jelaskan semuanya pada Huong, Taniya, Park, In, dan Ou."
"Tapi aku belum mengerti Annisa."
"Tanyakan pada mereka. Maafkan aku, aku akan melanjutkan pekerjaanku."
"Okey, sebenarnya aku datang,kemari hanya untuk mendengar jawabanmu."
Annisa menatap lurus pintu kamar diseberang lalu menunduk dan berkata.
Kamu pernah dengar kriteria suami yang kuinginkan?”
“Ya”
“Lalu kamu bisa?”
Aku menatapnya lekat – lekat. Annisa membuang pandangannya. “Tidak. Aku belum berpikir untuk menikah, hanya ingin mengenalmu lebih dekat.”
Annisa tersenyum sini. “Maksudmu pacaran? Aku tidak tertarik dengan itu. Maaf, selamat malam.”
Aku masih berdiri meski Annisa telah menutup pintu kamarnya di lantai sepuluh.
Ujian akhir tinggal seminggu lagi. Malam ini Taniya mengajakku belajar bersama. Kusanggupi, apalagi Annisa akan datang.
Kira – kira pukul 07.30 Annisa datang. Dia agak terkejut melihatku. Kami pun mulai belajar. Aku mulai menerangkan perbedaan ichio dan tortaezu, gachi dan gimi serta kata – kata yang hampir mempunyai arti yang sama. Kukedipkan mata pada Huong dan Taniya. Kedua pergelangan tangan Annisa dipegang cewek Rusia dan Vietnam itu. Pensil jatuh dari pegangannya. Dia meronta dan memohon sedang kakinya menendangku. Kupegang kedua kaki itu dan secepat kilat kutarik kain yang selalu menutupi kepalanya. Kinii aku bisa melihat wajah itu dengan jelas tanpa pembungkus. Rambutnya hitam dan tebal.
"Kawaii...," desisku kagum.
"Cantik sekali kamu, Annisa. Lebih baik kamu nggak dijilbab," timpal Taniya.
Sedang Huong menatap nanar melihat Annisa menangis. Cewek yang kucintai ini melepaskan tangannya dan mengambil kerudungnya lalu memakai sekenanya dan berlari keluar dari kamar Taniya.
ËËË
Sejak saat itu Annisa masih padaku dan juga kedua kawannya itu. Dua hari setelah kejadian itu dia absen kuliah. Kami menekan bel kamarnya, meneleponnya, tapi tak ada jawaban. Hatiku gelisah. Ada rasa sesal, tapi aku bahagia dapat melihat sebentuk wajah tanpa penutup yang selama ini kuimpikan. Cintaku padanya semakin besar, bahkan aku bertekad untuk menikahinya. Tapi setiap kali ingat Islam, aku mencoba menepis semua keinginan itu. Entahlah, ada kekuatan apa yang membawaku ke perpustakaan kampus dan apartemen di lantai dua untuk mencari buku-buku tentang Islam. Beruntung aku menemukannya. Buku perbandingan tentang Budha, Shinto, Kristen, dan Islam yang ditulis oleh Morioka. Kuhabiskan waktuku untuk membaca buku, apalagi ujian akhir telah selesai. Bulan September ini masa studiku berakhir, begitu pula dengan teman-temanku, setelah kubaca dan kupahami; aku mendapat kesimpulan: yang paling ekstrem adalah Islam. Kini aku tahu kenapa Annisa tak membolehkanku masuk ke kamarnya. Aku bukan mahramnya. Pergaulan dalam Islam begitu terjaga. Zina merupakan dosa besar. Tapi kenapa harus dilarang? Bukankah itu kebutuhan semua manusia? Dalam buku yang lain, aku tahu syarat menjadi Muslim dan bagaimana hakikat Tuhan dalam Islam. Mudah sekali untuk masuk Islam. Ucapkan saja syahadat. Beres!
Aku bergegas ke apartemennya Mustafa, kenalanku orang Maroko, Dia Muslim dan aku mengenalnya sewaktu ada pesta di Hotel Century 21. Perkenalan kami berlanjut Kami sering minum bersama di bar milik Yamada. Mungkin darinya aku akan tahu lebih banyak tentang Islam.
"Sulit sekali, Kim san, Annisa bukan sembarang wanita. Dia taat terhadap agamanya tapi terus terang aku tidak begitu menyukai sikapnya. Terlalu alim, sulit dijangkau. sikapnya malah membuat orang di luar Islam takut terhadap Islam. Menurutku, bergaul dengan lawan jenis, pengangan tangan, kiss, berduaan, dan main di kamar lawan jenis kita boleh. Kamu lihat saja Si Laura yang orang Turki itu, dia juga kan Muslim tapi dia tidak dijilbab dan bergaul dengan laki-laki. Yang seperti dia aku suka."
Kuhela napasku. Aku juga berharap Annisa akan berubah, tapi sejak kami bertemu sampai sekarang tak sedikit pun dia tergoyahkan.
"Kalo boleh kusarankan, lupakan saja dia dan cari cewek lain. Gampang kan?"
Kujambak rambutku sendiri. Pikiranku kalut. Tak semudah itu aku melupakannya.
"Aku mengerti, berat sekali melupakan dia tapi it's real. Kamu harus mencobanya."
"Tak adakah cara lain?" Mustafa meneguk birnya. "Kalo kamu benar-benar ingin menikah dengannya, ya bilang saja kamu mau masuk Islam."
"Tapi..." kerongkonganku serasa tercekat. Kuteguk birku lalu kulanjutkan, "Aku tak mau berurusan dengan segala macam rutinitas dalam Islam."
"What do you mean?"
"Seperti salat, puasa, tidak minum, tidak makan daging babi, main Cewek. Itu berat, Mus."
Mustafa tergelak. Dia berdiri membuka tirai jendela kamarnya. Udara bulan Agustus papas sekali. Kulepaskan tiga kancing bajuku dan Mustafa mulai menghidupkan senfuki.
"Kim, Kim, coba lihat aku. Aku ini Muslin tapi tidak salat, tak puasa, minum bir, dan bermain cewek. Orang tetap mengatakan aku Muslim. Mengapa kamu tidak? Kamu berpura-pura saja masuk Islam, setelah menikahinya kamu sebagai suami bebas memperlakukan dan memerintah istrimu. Wanita Islam itu taat sekali pada suaminya. Percayalah, aku tahu itu.
Sulit sekali kupejamkan mata. Kata-kata Mustafa masih terngiang. Aku seolah mendapatkan jalan terang. Yah, aku bertekad menikahinya, masuk Islam dan setelah itu urusanku. Aku bisa menyuruhnya menanggalkan jilbabnya dan menggantinya dengan pakaian modern, mengajaknya ke tempat dansa dan minum bir supaya dia tahu nikmatnya hidup ini. Aku ingin dia bebas tak terkekang dengan agama yang tak masuk akal ini.
Aku menuju kamar Annisa, tapi dibel berkali-kali dia tak keluar. Aku datangi kamar Taniya. Ternyata Annisa pergi ke Nagoya menghadiri pernikahan kawannya yang menikah dengan orang Jepang. Ada kemenangan dan peluang emas bagiku. Menikah dengan orang Jepang artinya orang itu sebelumnya bukan Muslim berarti aku pun ada kesempatan. Dua minggu menunggunya terasa lama sekali. Dari kabar yang kudapatkan, sekarang Annisa berada di Osaka di tempat kawan Indonesianya.
Ketika aku keluar ruangan profesorku dan saat aku melangkah ke ruang komputer, kulihat Annisa baru saja keluar dari kantor pembimbingnya, Kaneda Sensei. Dia sudah kembali! Aku mengejarnya dan menyejajarii langkahnya. Annisa menoleh tanpa menyapaku.
"Annisa, aku ingin bicara."
"Bicaralah."
"Tapi ini penting. Mari kita duduk di bangku itu," kataku sambil menunjuk bangku di taman samping gedung kuliahku.
"Bicaralah sekarang, Kim San. Aku akan segera memaketkan barang ke kantor pos."
"Kalau begitu aku antar."
"Tidak, terima kasih. Bicaralah."
Mengapa dia masih marah padaku? Tidak bisakah dia memaafkanku?
"Aku minta maaf atas kejadian waktu itu."
Annisa membuang muka.
"Aku tak habis pikir kenapa kamu tak bisa memaafkanku? Baiklah, aku ingin katakan padamu, aku ingin masuk Islam." Di luar dugaanku, Annisa memandangku tak percaya kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Aku ingin menikah denganmu. Aku akan jadi Muslim, salat, puasa, dan melakukan semua yang kamu lakukan. Aku sungguh-sungguh, Annisa."
Kutunggu reaksi Annisa. Cewek cantik berkerudung biru langit itu tak bereaksi apa pun.
"Kiiterukai?"
Kulihat Annisa menggigit bibirnya. "Terima kasih atas perhatianmu padaku.
Kuhargai ketulusanmu tapi sayang aku tak bisa menerima keinginanmu untuk menikah denganku."
"Nande?" aku terkejut dan menatap matanya tajam.
"Aku sudah dilamar dan sepulang dari sini kami akan segera menikah. Maafkan aku. Aku yakin kau akan mendapatkan wanita yang baik bagimu."
Kucengkeram pergelangan tangan kirinya, dia meronta. Aku benar-benar tersinggung dengan jawabannya. Mataku melotot tapi tiba-tiba dia menamparku keras sekali. Dia berlari meninggalkanku. Kukepalkan tanganku dan kupukulkan ke dinding itu keras sekali. Tanpa kusadari aku menangis.
Aku benci sekali wanita itu, aku ingin menghancurkan hidupnya. Yah, aku tak ingin dia jadi milik orang lain, dia harus kumiliki. Aku akan minta bantuan Mustafa menyusun rencana. Mustafa sanggup. Kami buat rencana untuk menguncinya saat dia salat maghrib di ruang C 207. Hari Jumat ada kuliah budaya dari Ishikawa Sensei dan akan berakhir pada pukul 06. 30 sore. Menurut Mustafa, dia pasti akan salat di ruangan itu karena jika pulang ke apartemennya memakan waktu cukup lama. Dan itulah kesempatan untuk mendapatkannya.
Tapi dasar sial, sejak dimulainya kuliah tambahan ini, aku tak menemukannya. Iseng kutanya Christina. Oh tidak! Tidak mungkin! Mengapa secepat ini dia pulang ke negerinya? Mengapa aku selalu sial untuk mendapatkannya.

Catatan:
Sensei: guru, sakubun: mengarang, arigato: terima kasih, dodattano: bagaimana, san: nona, tuan, pensiru kashite kureru: bisa meminjamkan pensil, shokudo: kantin sekolah, fuyu: musim dingin, wakaranai: tidak tahu, doshite/nande: kenapa, tsumetai: dingin, senfuki: kipas angin.
Nita Setiawati

Sabtu, 07 Desember 2013

Sinopsis Back Cover "Simfoni Cinta"

Hidup adalah kumpulan puzzle. Dan ketika ada kepingan puzzle yang tidak berada dalam kumpulan puzzle-puzzle lainnya, seberapa indah atau luar biasanya puzzle-puzzle yang tercipta tetap tidak akan menjadi sempurna ketika ada bagian yang tidak melengkapinya.
Kejadian yang terjadi beberapa tahun lalu membuat Qayra kehilangan salah satu kepingan dari kenangannya. Hanya sebuah potongan kertas berisi lirik lagu yang dititipkan oleh sang penitip kenangan yang mampu menjadi penghubung antara masa lalu dan kehidupannya saat ini. Semuanya berjalan biasa-biasa saja untuk beberapa lama sampai Frem kembali hadir dalam kehidupannya. Di waktu yang hampir sama, Denish pun ikut mengisi hari-harinya.
Di sisi lain, perlahan-lahan puzzle-puzzle itu kembali menyatu dan menunjukkan siapa sebenarnya pemilik kenangan yang dititipkan padanya. Akankah waktu akan menunjukkan kembali kekuasaannya??? Lalu siapa sebenarnya pemilik suara yang selalu hadir dalam ingatannya??? Siapa yang menghadirkan  berbagai keajaiban dalam hidupnya???