OUR
SECRET
Created by : @nanykhairani
Bandara Hasanuddin Makassar, Mei 2011
Ada rasa yang harus berusaha kutekan dan
ada air mata yang berusaha kubendung saat kulihat tubuhnya perlahan-lahan
semakin menjauh. Entah bagaimana aku harus mengontrol akal sehatku agar aku
tidak berhambur memeluknya dan menahan agar ia tetap berada di kota ini.
Mendadak semua kenangan tentangnya
terputar secara berurutan di dalam ingatanku. Mulai dari saat pertama kali
melihatnya sampai tiba perpisahan menyedihkan ini.
Tak kusangka setelah sekian lama tidak
melihatnya dan pada akhirnya bisa bertemu kembali, ternyata perpisahan pahit
ini yang harus kualami. Di tengah tangis teman-temanku yang seakan tidak ikhlas
melepasnya menjadi ‘rantau’ di negeri orang, aku berusaha menampakkan wajah
tegar, seakan kepergiannya tidak memberi efek apa pun terhadapku.
Jerman. Di negeri itulah ia akan
mengasah ilmu. Kini aku tidak hanya terpisah oleh jarak dengannya, tetapi waktu
juga ikut memainkan peran dalam kisahku yang jauh dari kata sempurna ini.
Ia mengucapkan ‘selamat tinggal’. Lalu
mempercepat langkah meninggalkan kami, ia pergi tanpa menoleh sedikit pun lalu
hilang dari pandanganku. Padahal aku sangat berharap agar ia berbalik sebentar,
sebentar saja. Agar aku bisa melihat wajahnya lagi.
“Ran, mau ikut pulang bareng nggak?”
tanya Sisil. Pertanyaan Sisil barusan, pada
akhirnya memaksaku untuk kembali ke alam sadarku.
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Walau terasa berat, perlahan mulai
kuucapkan kata-kata perpisahan pada mereka. Sahabat-sahabat yang selama ini
telah mengisi hari-hariku. Saat ini aku bisa merasakan betapa indahnya arti
sebuah persahabatan. Merasakan arti diriku saat ada yang menangisi kepergianku.
Jerman telah menjadi pilhanku untuk
memperluas wawasan di bidang Teknik Arsitektur. Sebuah pengalaman dan suasana
baru telah menantiku di sana. Aku tidak sabar untuk memulai semua perjalanan
itu.
“Rio, kota ini pasti merindukanmu,” kata
Baim padaku, “saat kau sukses nanti, kembalilah ke Makasaar dan bangunlah kota
ini dengan ilmu yang kau peroleh di sana.”
Aku tersenyum mendengarnya. Baru kali
ini sahabatku yang bertubuh tambun itu mengucapkan kata-kata yang begitu
menyentuh perasaanku. Dalam kesehariannya, ia orang yang tidak pernah serius
alias kocak.
Satu persatu kutatap wajah mereka
berlima sebelum aku membalik badan, dan memulai kisah baruku di negeri orang.
Ada seraut wajah yang sudah beberapa bulan ini kucari keberadaannya, seraut
wajah berlesung pipi indah yang selalu sukses membuatku bergelut dengan rasa
penasaran sejak pertama kali mengenalnya. Dan hari ini… entah angin apa yang
membawanya kemari. Kehadirannya sempat menghadirkan pergulatan dalam pikiranku,
antara tetap melanjutkan perjalanan ke Jerman atau tetap di kota ini agar bisa
melihat senyumannya lagi.
Sebelum tekadku berubah, buru-buru
kuucapkan ‘selamat tinggal’ pada mereka. Kupercepat langkah untuk segera
memasuki pesawat, tanpa berbalik lagi. Takut aku berharap terlalu tinggi dengan
keberadaannya saat ini.
*********************
SMA Athira Makassar, Tahun Pertama
(Juni 2008)
Amanat upacara sedang dibacakan saat
semua mata tertuju pada seseorang yang terlihat kebingungan mencari tempat
dimana ia seharusnya berbaris. Walaupun mengamatinya dari jauh, aku bisa
menangkap ekspresi kebingungannya. Tidak hanya sekali dua kali ia menundukkan
badan sambil mengucap maaf karena berbaris di tempat yang salah, tetapi hal itu
terjadi berulang kali.
Keberadaannya sempat membuat upacara
tampak kacau untuk beberapa saat. Beberapa orang khususnya para siswi terlihat
berbisik-bisik sambil melihat orang itu. Hmmm… rasanya aku bisa menebak apa
yang mereka perbincangkan sekarang. Rupanya mereka mendapat sosok baru yang
bisa mereka idolakan. Harus kuakui, dari segi fisik ‘Si Bingung’ itu memiliki face yang cukup good looking.
Suara kepala sekolah yang kian keras
membuatku berhenti mengamati si Bingung itu, dan kembali memusatkan perhatian
pada petuah-petuah yang diberikan oleh beliau. Lagian pasti tensin kalau kedapatan mengamati si Bingung,
yang ada bisa menimbulkan ke-GR-an dalam hatinya.
“Maaf, ini barisan untuk kelas X.1 kan?”
tanya si Bingung yang tau-tau sudah berdiri di barisan tepat di sampingku.
Aku mengangguk tanpa berani menatapnya
lagi. Takutnya ia sadar kalau sejak tadi aku mengamatinya.
xxxxxxxxxxxxxxxxx
Akibat yang harus kutanggung karena
tidak mengikuti MOS, ternyata cukup fatal. Pada saat upacara penyambutan siswa
baru, aku sempat dibuat kebingungan mencari barisan dari teman-teman sekelasku.
Berkali-kali aku berada dalam barisan yang salah. Dan kuakui, kebingunganku saat
itu cukup membuat upacara penyambutan yang harusnya berjalan khidmat menjadi
sedikit kacau untuk beberapa menit.
“Maaf, ini barisan untuk kelas X.1 kan?”
tanyaku pada seorang siswi yang terlihat menundukkan wajah saat aku
menghampirinya.
Gadis berambut panjang itu hanya
mengangguk sekilas tanpa mendongakkan wajah ke arahku, bahkan ia terus menunduk
sampai upacara hampir selesai. Mungkin, ia tipe orang yang tak ingin diganggu.
Kirania Callisty. Nama itu memang telah
menarik perhatianku sejak pertama kali melihatnya di daftar nama siswa kelas
X.1. Menurutku nama itu terdengar indah walau aku tidak tahu seperti apa rupa
pemiliknya. Dan sebuah kenyataan baru diperhadapkan padaku.
Kembali lagi aku menemukan nama yang
telah menarik perhatianku itu, kali ini bukan hanya kumpulan huruf yang
membentuk Kirania Callisty, tapi aku juga menemukan sang pemilik nama ketika
tanpa sengaja aku membaca papan nama yang berada di dadanya. Dan lebih
menakjubkan lagi, pemilik nama itu adalah ia yang sejak tadi menunduk kaku di sebelahku.
Rasanya semakin menarik…
*********************
SMA Athira Makassar, Tahun Kedua
(Mei 2010)
Kegiatan
OSIS yang akhir-akhir ini menumpuk akhirnya cukup menguras banyak tenaga dan
juga perhatianku. Seperti kali ini, disaat sebagian besar penghuni Athira
sedang asyik menikmati kegiatan PORSENI, aku masih harus berkutat dengan
berbagai tetek bengek persuratan yang berhubungan dengan OSIS sekolah kami.
“Ran,
anak-anak kelas kita tanding basket sama anak kelas sebelah loh.” Suara Sisil
yang muncul tiba-tiba di ruang OSIS sukses mengagetkanku. “Ikutan nonton yuk!
Rio juga ikut main loh,” ajaknya dengan wajah berseri-seri.
“Enggak
ah, aku masih ada kerjaan,” tolakku dengan halus sambil melanjutkan kerjaku
yang tertunda karena kehadirannya.
“Yeileh… kita harus jadi supporter mereka.” Tanpa banyak bicara
lagi, Sisil menyeret paksa dengan menarik kuat-kuat lenganku. Aku terpaksa
mengikuti kemauannya.
Dan di sinilah aku sekarang. Kembali
larut dalam rasa kagum yang tidak biasa. Dari lantai dua gedung sekolah, aku
kembali menyaksikan alasan-alasan lain yang membuat rasa kagumku pada Rio
semakin bertambah.
Baru tadi pagi ia membuatku terpanah
dengan kemampuannya mengerjakan soal-soal sulit Fisika, kini aku harus kembali
tersihir dengan bakat lain yang dimilikinya saat ia memainkan
bola di tengah lapangan basket bersama teman-teman lainnya. Ahhhh… kurasa aku
bisa gila. Rasa kagumku makin membabi buta.
Lagipula, siapa yang bisa menolak
pesonanya? Siapa yang tak terhipnotis dengan karisma yang dimilikinya? Sikap cool namun friendly, terkesan cuek namun asyik adalah gaya khas yang menjadi
magnet kuat dalam dirinya.
Parahnya,
aku telah tersihir oleh mata indahnya sejak pertama kali melihatnya di upacara
penyambutan siswa baru tahun kemarin. Rasa kagumku kian meluap setiap harinya.
xxxxxxxxxxxxxxxx
Apa
aku tidak salah lihat? Ran ada di barisan penonton, batinku.
Perhatianku yang sejak tadi terfokus
pada pertandingan tau-tau terpecah saat kudapati sepasang mata yang sangat
kukenal sedang mengarah kepadaku. Tanpa sengaja, aku pun sempat melihatnya
tersenyum. Sebenarnya aku sangat suka melihatnya tampak serius melakukan
berbagai hal. Tapi, aku jauh lebih suka melihat senyuman tadi. Ia tampak lebih
luar biasa.
Perasaan aneh secara tiba-tiba menjalar
begitu saja dalam hatiku, aku benci untuk mengakuinya, tapi kehadirannya
membuatku salah tingkah.
Tanpa kusadari, bola yang sejak tadi
berhasil kukuasai telah direbut oleh tim lawan. Aku kehilangan keseimbangan
yang pada akhirnya membuatku terjungkal ke lapangan. Darah segar mengalir deras
dari lututku.
Permainan terhenti. Aku pun diminta oleh
pelatih untuk keluar lapangan, dan tidak bisa melanjutkan permainan. Sial. Ini
benar-benar sial.
“Apa kau baik-baik saja?”
Aku mengenal suara itu. Sangat
mengenalnya. Dan saat aku menolehkan wajah ke sumber suara, aku mendapati Ran
sedang melihat ke arahku. Ini adalah pertama kalinya ia yang memulai percakapan
denganku. Hemm… mungkin aku harus merayakannya. Pikiranku mulai menggila.
Ini gila! Memang gila, dan aku sama
sekali tidak tahu sejak kapan perasaanku menjadi sekacau ini, seaneh ini, dan
segila ini.
“Tidak. Hanya terluka sedikit,” kataku
untuk menenangkannya. Tunggu. Menenangkannya? Apa dia mengkhawatirkanku? Atau
hanya sebuah formalitas semata? Ahhh… mungkin aku ke-GR-an dengan perhatiannya
barusan. Ok, aku tidak akan berharap terlalu tinggi.
“Ciiieee… tadi Ran
pasti nyemangatin Abel kan? Hayooo ngaku,” ejek Doni yang berada di sebelahku,
“kalian pacaran, ya?”
Ejekan Doni barusan spontan membuat Ran
tersenyum. Tersenyum malu-malu. Ya, ia memang tersenyum, tapi jujur saja kali
ini aku agak kesal dengan senyuman itu. Tersenyum malu-malu sama saja dengan
mengiyakan ejekan Doni barusan. Iya kan? Dan seperti yang kuakui sebelumnya,
akhir-akhir ini perasaan dan logikaku semakin aneh.
“Hei… Rio… mau kemana?!”
Aku tidak menghiraukan teriakan Doni.
Segera kupercepat langkah meninggalkannya, takut wajahku terlihat memerah di
tengah mereka. Cemburu? Tentu saja.
*********************
Makassar, Maret 2013 Pukul 23:14
WITA
Sang mentari telah tertidur lelap dalam buaiannya, digantikan
siluet bulan yang megah di balik awan yang memberi senyuman bagi para makhluk
Tuhan yang masih terjaga. Malam bak lukisan. Lukisan hitam dengan ribuan
temaram bintang yang masih malu-malu menampakkan sinaran. Lukisan hitam yang
dibingkai dengan keagungan semesta. Lukisan hitam dengan jutaan pesona yang
dirahasiakan. Lukisan hitam yang memberikan kedamaian.
Jam telah menunjukkan pukul 23:14 saat
aku selesai dengan tumpukan laporan-laporan perkuliahan yang harus kuserahkan
minggu ini. Dan selanjutnya aku wajib menyelesaikan novel keduaku yang sudah
dikejar deadline. Selagi mood mendukung, segera kuambil laptop
untuk mulai berlayar di alam khayalku, dan menuangkannya ke dalam bentuk
tulisan-tulisan. Berkutat dengan kata, kalimat, imajinasi, dan tentu saja
dengan google yang akhir-akhir telah
setia menemani riset untuk novel
terbaruku. Ya, saat ini aku memang sedang menempuh sebuah jalan yang kuidamkan
sejak dulu, menjadi seorang penulis.
Entah apa yang mendorongku secara tiba-tiba
untuk membuka social media yang sudah
cukup lama kuanggurkan. Facebook pun
masuk dalam list jejaring sosial yang
kuutak-atik isinya. Dan entah apa yang menggelitikku sampai terpikir untuk
berkunjung ke profile Rio. Apa yang kuharapkan? Tentu saja sebuah
info tentang kabarnya di negeri orang. Tapi hasilnya nihil, tak ada update-an terbaru mengenai dirinya.
Aku sedang dalam rencana untuk log out saat sebuah nama bertambah dalam
chat list ku. Dan kau tahu itu siapa?
Itu Rio. Rio Aroland.
Mendadak aku histeris sampai jejeritan
sendiri, untung saja tidak ada orang rumah yang mendengarnya karena bisa saja
mama menganggap bahwa putrinya telah gila.
Aku dilanda kebingungan, antara ingin
menyapa tapi tak tau harus memulai dengan kata apa. Mulai kutulis beberapa
kalimat sapa, beberapa detik kemudian kuhapus semuanya, dan itu terjadi
berulang-ulang. Ini tak semudah
membuat laporan, juga tak semudah mengkhayalkan kelanjutan dari sebuah novel.
Ini jauuuuhh lebih rumit. Aduh… ayolah Ran, keburu Rio-nya off.
Tuinggg…
Bunyi barusan adalah pertanda adanya message. Saat aku mengeceknya, detak
jantungku seperti terhenti seketika.
Hai...
Apa
kabar? Di sana pasti sudah larut malam kan?
Ini chat
dari Rio. Aku melompat saking girangnya.
Untung akal sehatku masih berjalan. Seandainya
bergeser sedikit saja, bisa kupastikan saat ini aku sudah histeris dan
jejeritan dengan suara yang lebih spektakuler dibanding yang tadi kulakukan.
Aku sangat bahagia. Tidak hanya bahagia, jauh di atas kata itu. Mungkin, aku
memerlukan kosa kata baru agar dapat mendeskripsikan apa yang kurasakan saat
ini.
Kabar
baik. Kamu gimana?
Iya
nih udah larut malam. Di Jerman masih siang kan?
Btw, di sana msh winter?
Enter.
Secepatnya ku-reply tanpa berpikir panjang lagi. Pokoknya sebodo teuing, aku tidak mau menyia-nyiakan
kesempatan berharga ini, kesempatan yang mungkin tidak kudapat lagi.
Baik
juga. Iya, masih skitaran jam 3 siang.
Wah,
winter udah lewat. Hhhe
Melihat balasannya, aku bisa merasakan
tubuhku memanas. Ini sungguh sebuah keajaiban.
Padahal
aku baru mw minta oleh2 salju
^___^
heheheh
Enter.
Berawal dari saling menyapa,
perbincangan kami terus berlanjut. Mulai dari hal konyol sampai hal-hal yang
berhubungan dengan sekolah kami dulu. Satu hal yang kutangkap dari perbincangan
kami, ternyata ia mengikuti perkembangan di negeri ini, kota kami,
khususnya tentang kasus-kasus politik. Harus kuakui, ia yang berada jauh di sana
malah lebih banyak tahu dibanding aku. Waktu dua jam berlalu begitu saja tanpa
kusadari.
Wahhh…
kamu ngikutin perkembangan Makassar, ya?
Salutttt….
Enter.
Lama tak ada balasan. Semenit. Dua
menit. Sampai lima menit kemudian tetap tak ada. Apa mungkin ia sedang chat dengan orang lain? Atau mungkin ia
bosan? Pertanyaan-pertanyaan itu menggelayut di otakku. Sampai…
Gak
hanya perkembangan kota kita.
Aku
juga ngikutin perkembangan km.
Segala
hal ttg km.
Apa Rio salah kirim? Hal tersebut yang
pertama kali terlintas dalam otakku ketika membaca kalimat barusan. Ada sebuah
harapan yang sempat sirna yang kali ini seperti dipupuk kembali untuk tumbuh
sama seperti sebelumnya.
Mngkn
ini sedkit ‘gila’.
Terserah
apa pendapatmu.
Tp,
maukah kau menungguku, Ran?
Speechless. Tak mampu berkata bahkan tak mampu bernafas untuk
beberapa saat. Ini imajinasiku? Ini halusinasi? Tapi, aku bisa melihat namaku
terpampang di akhir kalimat yang dikirim Rio barusan.
Jantungku berdetak jauh lebih kencang dari
biasanya, makin lama makin menggila. Aliran darahku rasanya seperti berhenti
seketika. Molekul-molekul yang mungkin disebut cinta perlahan merajai alam
sadarku.
Fly.
Sepertinya aku membutuhkan kosa
kata baru lagi, kosa kata yang jauh lebih dahsyat dibanding kosa kata yang
kuinginkan tadi. Aku tidak bermimpi. Aku tahu itu.
xxxxxxxxxxx
Berlin, Maret 2013 Pukul 05 : 07 pm
Suasana dorm yang sepi membuatku sedikit leluasa, setidaknya roommates-ku tidak akan melihat tampang authis-ku saat aku senyum-senyum nggak
jelas tiap kali balasan dari Ran muncul di layar laptopku.
Bodo amat. Aku benar-benar
merindukannya. Perasaan ini tidak main-main. Aku harus mengatakannya, tidak peduli
dengan risikonya. Mungkin, hanya ini kesempatan yang kupunya.
Gak
hanya perkembangan kota kita.
Aku
juga ngikutin perkembangan km.
Segala
hal ttg km.
Enter.
Sebelas menit berlalu. Tak ada respon.
Apa mungkin Ran marah? Tapi terserah, sudah kumantapkan hati untuk menanggung
risikonya. Atau mungkin aku perlu memperjelasnya?
Mngkn
ini sedkit ‘gila’.
Terserah
apa pendapatmu.
Tp,
maukah kau menungguku, Ran?
Enter.
Semua terserah pada Ran sekarang, apa
yang selama ini membuatku kalut sudah kunyatakan walaupun tidak dapat
kupungkiri bahwa perasaan, pikiran, serta logikaku saat ini menjadi benar-benar
kacau, benar-benar aneh.
Tuingg…
Ada respon dari Ran.
Sejujurnya,
aku merasa tdk pantas mendapat pernyataan sprt itu
Aplg
dari seseorang yg luar biasa sepertimu.
Aku
malu pada diriku. Di saat kau sudah melangkah jauh,
Aku
masih berotasi di tempat yang sama, dan belum melangkah maju.
Apa ia menolakku? Ahh hatiku… rupanya
firasatku sejak dulu memang benar. Ia tak ada perasaan apa-apa kepadaku.
Harapku terlalu tinggi untuk itu. Kini aku harus menyisihkan waktu untuk menata
kembali hati yang terkoyak ini.
Tunggu dulu. Masih ada pesan dari Ran.
Tp
aku janji!
Saat
kau kembali nanti, aku akan berusaha melampauimu.
Atau
setidaknya setara denganmu.
Agar
aku bisa merasa layak untuk berada di sisimu.
Jawaban ini… apa tandanya ia akan
menungguku? Apa ia membalas perasaanku? Aku masih terpaku menatap layar laptopku,
mencerna kata demi kata, tapi tetap saja membingungkanku. Akhirnya, kuputuskan
untuk mengulang inti dari pertanyaanku.
Jd,
apa kau benar-benar akan menungguku?
Enter.
Tak lama kemudian, Ran kembali memberi
respon.
Cepatlah
selesaikan kuliahmu! Kau pasti takjub melihat gedung phinisi
yg
mnjd ikon baru di kota kita^-^
Dan
jawaban dari pertanyaanmu, akan kau dapatkan setelah kembali ke Makassar :p
Akhirnya kutemukan arti dari bahagia
yang selama ini kucari. Buah dari perasaan aneh yang selama bertahun-tahun
menggerogoti hatiku. Sejak pertama, gadis berlesung pipi itu memang selalu
membuatku bergelut dengan rasa penasaran, membuat otakku berpikir keras.
Makassar… tunggulah kehadiranku.
*********************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar