Translate

Search

Minggu, 29 September 2013

Our Secret


OUR SECRET
Created by : @nanykhairani

Bandara Hasanuddin Makassar,  Mei 2011
Ada rasa yang harus berusaha kutekan dan ada air mata yang berusaha kubendung saat kulihat tubuhnya perlahan-lahan semakin menjauh. Entah bagaimana aku harus mengontrol akal sehatku agar aku tidak berhambur memeluknya dan menahan agar ia tetap berada di kota ini.
Mendadak semua kenangan tentangnya terputar secara berurutan di dalam ingatanku. Mulai dari saat pertama kali melihatnya sampai tiba perpisahan menyedihkan ini.
Tak kusangka setelah sekian lama tidak melihatnya dan pada akhirnya bisa bertemu kembali, ternyata perpisahan pahit ini yang harus kualami. Di tengah tangis teman-temanku yang seakan tidak ikhlas melepasnya menjadi ‘rantau’ di negeri orang, aku berusaha menampakkan wajah tegar, seakan kepergiannya tidak memberi efek apa pun terhadapku.
Jerman. Di negeri itulah ia akan mengasah ilmu. Kini aku tidak hanya terpisah oleh jarak dengannya, tetapi waktu juga ikut memainkan peran dalam kisahku yang jauh dari kata sempurna ini.
Ia mengucapkan ‘selamat tinggal’. Lalu mempercepat langkah meninggalkan kami, ia pergi tanpa menoleh sedikit pun lalu hilang dari pandanganku. Padahal aku sangat berharap agar ia berbalik sebentar, sebentar saja. Agar aku bisa melihat wajahnya lagi.
“Ran, mau ikut pulang bareng nggak?” tanya Sisil. Pertanyaan Sisil barusan, pada akhirnya memaksaku untuk kembali ke alam sadarku.
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Walau terasa berat, perlahan mulai kuucapkan kata-kata perpisahan pada mereka. Sahabat-sahabat yang selama ini telah mengisi hari-hariku. Saat ini aku bisa merasakan betapa indahnya arti sebuah persahabatan. Merasakan arti diriku saat ada yang menangisi kepergianku.
Jerman telah menjadi pilhanku untuk memperluas wawasan di bidang Teknik Arsitektur. Sebuah pengalaman dan suasana baru telah menantiku di sana. Aku tidak sabar untuk memulai semua perjalanan itu.
“Rio, kota ini pasti merindukanmu,” kata Baim padaku, “saat kau sukses nanti, kembalilah ke Makasaar dan bangunlah kota ini dengan ilmu yang kau peroleh di sana.”
Aku tersenyum mendengarnya. Baru kali ini sahabatku yang bertubuh tambun itu mengucapkan kata-kata yang begitu menyentuh perasaanku. Dalam kesehariannya, ia orang yang tidak pernah serius alias kocak.
Satu persatu kutatap wajah mereka berlima sebelum aku membalik badan, dan memulai kisah baruku di negeri orang. Ada seraut wajah yang sudah beberapa bulan ini kucari keberadaannya, seraut wajah berlesung pipi indah yang selalu sukses membuatku bergelut dengan rasa penasaran sejak pertama kali mengenalnya. Dan hari ini… entah angin apa yang membawanya kemari. Kehadirannya sempat menghadirkan pergulatan dalam pikiranku, antara tetap melanjutkan perjalanan ke Jerman atau tetap di kota ini agar bisa melihat senyumannya lagi.
Sebelum tekadku berubah, buru-buru kuucapkan ‘selamat tinggal’ pada mereka. Kupercepat langkah untuk segera memasuki pesawat, tanpa berbalik lagi. Takut aku berharap terlalu tinggi dengan keberadaannya saat ini.
*********************
SMA Athira Makassar, Tahun Pertama (Juni 2008)
Amanat upacara sedang dibacakan saat semua mata tertuju pada seseorang yang terlihat kebingungan mencari tempat dimana ia seharusnya berbaris. Walaupun mengamatinya dari jauh, aku bisa menangkap ekspresi kebingungannya. Tidak hanya sekali dua kali ia menundukkan badan sambil mengucap maaf karena berbaris di tempat yang salah, tetapi hal itu terjadi berulang kali.
Keberadaannya sempat membuat upacara tampak kacau untuk beberapa saat. Beberapa orang khususnya para siswi terlihat berbisik-bisik sambil melihat orang itu. Hmmm… rasanya aku bisa menebak apa yang mereka perbincangkan sekarang. Rupanya mereka mendapat sosok baru yang bisa mereka idolakan. Harus kuakui, dari segi fisik ‘Si Bingung’ itu memiliki face yang cukup good looking.
Suara kepala sekolah yang kian keras membuatku berhenti mengamati si Bingung itu, dan kembali memusatkan perhatian pada petuah-petuah yang diberikan oleh beliau. Lagian pasti tensin kalau kedapatan mengamati si Bingung, yang ada bisa menimbulkan ke-GR-an dalam hatinya.
“Maaf, ini barisan untuk kelas X.1 kan?” tanya si Bingung yang tau-tau sudah berdiri di barisan tepat di sampingku.
Aku mengangguk tanpa berani menatapnya lagi. Takutnya ia sadar kalau sejak tadi aku mengamatinya.
xxxxxxxxxxxxxxxxx
Akibat yang harus kutanggung karena tidak mengikuti MOS, ternyata cukup fatal. Pada saat upacara penyambutan siswa baru, aku sempat dibuat kebingungan mencari barisan dari teman-teman sekelasku. Berkali-kali aku berada dalam barisan yang salah. Dan kuakui, kebingunganku saat itu cukup membuat upacara penyambutan yang harusnya berjalan khidmat menjadi sedikit kacau untuk beberapa menit.
“Maaf, ini barisan untuk kelas X.1 kan?” tanyaku pada seorang siswi yang terlihat menundukkan wajah saat aku menghampirinya.
Gadis berambut panjang itu hanya mengangguk sekilas tanpa mendongakkan wajah ke arahku, bahkan ia terus menunduk sampai upacara hampir selesai. Mungkin, ia tipe orang yang tak ingin diganggu.
Kirania Callisty. Nama itu memang telah menarik perhatianku sejak pertama kali melihatnya di daftar nama siswa kelas X.1. Menurutku nama itu terdengar indah walau aku tidak tahu seperti apa rupa pemiliknya. Dan sebuah kenyataan baru diperhadapkan padaku.
Kembali lagi aku menemukan nama yang telah menarik perhatianku itu, kali ini bukan hanya kumpulan huruf yang membentuk Kirania Callisty, tapi aku juga menemukan sang pemilik nama ketika tanpa sengaja aku membaca papan nama yang berada di dadanya. Dan lebih menakjubkan lagi, pemilik nama itu adalah ia yang sejak tadi menunduk kaku di sebelahku.
Rasanya semakin menarik…
*********************
SMA Athira Makassar, Tahun Kedua (Mei 2010)
            Kegiatan OSIS yang akhir-akhir ini menumpuk akhirnya cukup menguras banyak tenaga dan juga perhatianku. Seperti kali ini, disaat sebagian besar penghuni Athira sedang asyik menikmati kegiatan PORSENI, aku masih harus berkutat dengan berbagai tetek bengek persuratan yang berhubungan dengan OSIS sekolah kami.
            “Ran, anak-anak kelas kita tanding basket sama anak kelas sebelah loh.” Suara Sisil yang muncul tiba-tiba di ruang OSIS sukses mengagetkanku. “Ikutan nonton yuk! Rio juga ikut main loh,” ajaknya dengan wajah berseri-seri.
            “Enggak ah, aku masih ada kerjaan,” tolakku dengan halus sambil melanjutkan kerjaku yang tertunda karena kehadirannya.
“Yeileh… kita harus jadi supporter mereka.” Tanpa banyak bicara lagi, Sisil menyeret paksa dengan menarik kuat-kuat lenganku. Aku terpaksa mengikuti kemauannya.
Dan di sinilah aku sekarang. Kembali larut dalam rasa kagum yang tidak biasa. Dari lantai dua gedung sekolah, aku kembali menyaksikan alasan-alasan lain yang membuat rasa kagumku pada Rio semakin bertambah.
Baru tadi pagi ia membuatku terpanah dengan kemampuannya mengerjakan soal-soal sulit Fisika, kini aku harus kembali tersihir dengan bakat lain yang dimilikinya saat ia memainkan bola di tengah lapangan basket bersama teman-teman lainnya. Ahhhh… kurasa aku bisa gila. Rasa kagumku makin membabi buta.
Lagipula, siapa yang bisa menolak pesonanya? Siapa yang tak terhipnotis dengan karisma yang dimilikinya? Sikap cool namun friendly, terkesan cuek namun asyik adalah gaya khas yang menjadi magnet kuat dalam dirinya.
 Parahnya, aku telah tersihir oleh mata indahnya sejak pertama kali melihatnya di upacara penyambutan siswa baru tahun kemarin. Rasa kagumku kian meluap setiap harinya.
xxxxxxxxxxxxxxxx
Apa aku tidak salah lihat? Ran ada di barisan penonton, batinku.
Perhatianku yang sejak tadi terfokus pada pertandingan tau-tau terpecah saat kudapati sepasang mata yang sangat kukenal sedang mengarah kepadaku. Tanpa sengaja, aku pun sempat melihatnya tersenyum. Sebenarnya aku sangat suka melihatnya tampak serius melakukan berbagai hal. Tapi, aku jauh lebih suka melihat senyuman tadi. Ia tampak lebih luar biasa.
Perasaan aneh secara tiba-tiba menjalar begitu saja dalam hatiku, aku benci untuk mengakuinya, tapi kehadirannya membuatku salah tingkah.
Tanpa kusadari, bola yang sejak tadi berhasil kukuasai telah direbut oleh tim lawan. Aku kehilangan keseimbangan yang pada akhirnya membuatku terjungkal ke lapangan. Darah segar mengalir deras dari lututku.
Permainan terhenti. Aku pun diminta oleh pelatih untuk keluar lapangan, dan tidak bisa melanjutkan permainan. Sial. Ini benar-benar sial.
“Apa kau baik-baik saja?”
Aku mengenal suara itu. Sangat mengenalnya. Dan saat aku menolehkan wajah ke sumber suara, aku mendapati Ran sedang melihat ke arahku. Ini adalah pertama kalinya ia yang memulai percakapan denganku. Hemm… mungkin aku harus merayakannya. Pikiranku mulai menggila.
Ini gila! Memang gila, dan aku sama sekali tidak tahu sejak kapan perasaanku menjadi sekacau ini, seaneh ini, dan segila ini.
“Tidak. Hanya terluka sedikit,” kataku untuk menenangkannya. Tunggu. Menenangkannya? Apa dia mengkhawatirkanku? Atau hanya sebuah formalitas semata? Ahhh… mungkin aku ke-GR-an dengan perhatiannya barusan. Ok, aku tidak akan berharap terlalu tinggi.
“Ciiieee… tadi Ran pasti nyemangatin Abel kan? Hayooo ngaku,” ejek Doni yang berada di sebelahku, “kalian pacaran, ya?”
Ejekan Doni barusan spontan membuat Ran tersenyum. Tersenyum malu-malu. Ya, ia memang tersenyum, tapi jujur saja kali ini aku agak kesal dengan senyuman itu. Tersenyum malu-malu sama saja dengan mengiyakan ejekan Doni barusan. Iya kan? Dan seperti yang kuakui sebelumnya, akhir-akhir ini perasaan dan logikaku semakin aneh.
“Hei… Rio… mau kemana?!”
Aku tidak menghiraukan teriakan Doni. Segera kupercepat langkah meninggalkannya, takut wajahku terlihat memerah di tengah mereka. Cemburu? Tentu saja.
*********************
Makassar, Maret 2013 Pukul 23:14 WITA
Sang mentari telah tertidur lelap dalam buaiannya, digantikan siluet bulan yang megah di balik awan yang memberi senyuman bagi para makhluk Tuhan yang masih terjaga. Malam bak lukisan. Lukisan hitam dengan ribuan temaram bintang yang masih malu-malu menampakkan sinaran. Lukisan hitam yang dibingkai dengan keagungan semesta. Lukisan hitam dengan jutaan pesona yang dirahasiakan. Lukisan hitam yang memberikan kedamaian.
Jam telah menunjukkan pukul 23:14 saat aku selesai dengan tumpukan laporan-laporan perkuliahan yang harus kuserahkan minggu ini. Dan selanjutnya aku wajib menyelesaikan novel keduaku yang sudah dikejar deadline. Selagi mood mendukung, segera kuambil laptop untuk mulai berlayar di alam khayalku, dan menuangkannya ke dalam bentuk tulisan-tulisan. Berkutat dengan kata, kalimat, imajinasi, dan tentu saja dengan google yang akhir-akhir telah setia menemani riset untuk novel terbaruku. Ya, saat ini aku memang sedang menempuh sebuah jalan yang kuidamkan sejak dulu, menjadi seorang penulis.
Entah apa yang mendorongku secara tiba-tiba untuk membuka social media yang sudah cukup lama kuanggurkan. Facebook pun masuk dalam list jejaring sosial yang kuutak-atik isinya. Dan entah apa yang menggelitikku sampai terpikir untuk berkunjung ke profile  Rio. Apa yang kuharapkan? Tentu saja sebuah info tentang kabarnya di negeri orang. Tapi hasilnya nihil, tak ada update-an terbaru mengenai dirinya.
Aku sedang dalam rencana untuk log out saat sebuah nama bertambah dalam chat list ku. Dan kau tahu itu siapa? Itu Rio. Rio Aroland.
Mendadak aku histeris sampai jejeritan sendiri, untung saja tidak ada orang rumah yang mendengarnya karena bisa saja mama menganggap bahwa putrinya telah gila.
Aku dilanda kebingungan, antara ingin menyapa tapi tak tau harus memulai dengan kata apa. Mulai kutulis beberapa kalimat sapa, beberapa detik kemudian kuhapus semuanya, dan itu terjadi berulang-ulang. Ini tak semudah membuat laporan, juga tak semudah mengkhayalkan kelanjutan dari sebuah novel. Ini jauuuuhh lebih rumit. Aduh… ayolah Ran, keburu Rio-nya off.
Tuinggg…
Bunyi barusan adalah pertanda adanya message. Saat aku mengeceknya, detak jantungku seperti terhenti seketika.
Hai...
Apa kabar? Di sana pasti sudah larut malam kan?
Ini chat dari Rio. Aku melompat saking girangnya.
Untung akal sehatku masih berjalan. Seandainya bergeser sedikit saja, bisa kupastikan saat ini aku sudah histeris dan jejeritan dengan suara yang lebih spektakuler dibanding yang tadi kulakukan. Aku sangat bahagia. Tidak hanya bahagia, jauh di atas kata itu. Mungkin, aku memerlukan kosa kata baru agar dapat mendeskripsikan apa yang kurasakan saat ini.
Kabar baik. Kamu gimana?
Iya nih udah larut malam. Di Jerman masih siang kan?
 Btw, di sana msh winter?
Enter.
Secepatnya ku-reply tanpa berpikir panjang lagi. Pokoknya sebodo teuing, aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan berharga ini, kesempatan yang mungkin tidak kudapat lagi.
Baik juga. Iya, masih skitaran jam 3 siang.
Wah, winter udah lewat. Hhhe
Melihat balasannya, aku bisa merasakan tubuhku memanas. Ini sungguh sebuah keajaiban.
Padahal aku baru mw minta oleh2 salju
^___^ heheheh
Enter.
Berawal dari saling menyapa, perbincangan kami terus berlanjut. Mulai dari hal konyol sampai hal-hal yang berhubungan dengan sekolah kami dulu. Satu hal yang kutangkap dari perbincangan kami, ternyata ia mengikuti perkembangan di negeri ini, kota kami, khususnya tentang kasus-kasus politik. Harus kuakui, ia yang berada jauh di sana malah lebih banyak tahu dibanding aku. Waktu dua jam berlalu begitu saja tanpa kusadari.
Wahhh… kamu ngikutin perkembangan Makassar, ya?
Salutttt….
Enter.
Lama tak ada balasan. Semenit. Dua menit. Sampai lima menit kemudian tetap tak ada. Apa mungkin ia sedang chat dengan orang lain? Atau mungkin ia bosan? Pertanyaan-pertanyaan itu menggelayut di otakku. Sampai…
Gak hanya perkembangan kota kita.
Aku juga ngikutin perkembangan km.
Segala hal ttg km.
Apa Rio salah kirim? Hal tersebut yang pertama kali terlintas dalam otakku ketika membaca kalimat barusan. Ada sebuah harapan yang sempat sirna yang kali ini seperti dipupuk kembali untuk tumbuh sama seperti sebelumnya.
Mngkn ini sedkit ‘gila’.
Terserah apa pendapatmu.
Tp, maukah kau menungguku, Ran?
Speechless. Tak mampu berkata bahkan tak mampu bernafas untuk beberapa saat. Ini imajinasiku? Ini halusinasi? Tapi, aku bisa melihat namaku terpampang di akhir kalimat yang dikirim Rio barusan.
 Jantungku berdetak jauh lebih kencang dari biasanya, makin lama makin menggila. Aliran darahku rasanya seperti berhenti seketika. Molekul-molekul yang mungkin disebut cinta perlahan merajai alam sadarku.
Fly. Sepertinya aku membutuhkan kosa kata baru lagi, kosa kata yang jauh lebih dahsyat dibanding kosa kata yang kuinginkan tadi. Aku tidak bermimpi. Aku tahu itu.
xxxxxxxxxxx
Berlin, Maret 2013 Pukul 05 : 07 pm
Suasana dorm yang sepi membuatku sedikit leluasa, setidaknya roommates-ku tidak akan melihat tampang authis-ku saat aku senyum-senyum nggak jelas tiap kali balasan dari Ran muncul di layar laptopku.
Bodo amat. Aku benar-benar merindukannya. Perasaan ini tidak main-main. Aku harus mengatakannya, tidak peduli dengan risikonya. Mungkin, hanya ini kesempatan yang kupunya.
Gak hanya perkembangan kota kita.
Aku juga ngikutin perkembangan km.
Segala hal ttg km.
Enter.
Sebelas menit berlalu. Tak ada respon. Apa mungkin Ran marah? Tapi terserah, sudah kumantapkan hati untuk menanggung risikonya. Atau mungkin aku perlu memperjelasnya?
Mngkn ini sedkit ‘gila’.
Terserah apa pendapatmu.
Tp, maukah kau menungguku, Ran?
Enter.
Semua terserah pada Ran sekarang, apa yang selama ini membuatku kalut sudah kunyatakan walaupun tidak dapat kupungkiri bahwa perasaan, pikiran, serta logikaku saat ini menjadi benar-benar kacau, benar-benar aneh.
Tuingg…
Ada respon dari Ran.
Sejujurnya, aku merasa tdk pantas mendapat pernyataan sprt itu
Aplg dari seseorang yg luar biasa sepertimu.
Aku malu pada diriku. Di saat kau sudah melangkah jauh,
Aku masih berotasi di tempat yang sama, dan belum melangkah maju.
Apa ia menolakku? Ahh hatiku… rupanya firasatku sejak dulu memang benar. Ia tak ada perasaan apa-apa kepadaku. Harapku terlalu tinggi untuk itu. Kini aku harus menyisihkan waktu untuk menata kembali hati yang terkoyak ini.
Tunggu dulu. Masih ada pesan dari Ran.
Tp aku janji!
Saat kau kembali nanti, aku akan berusaha melampauimu.
Atau setidaknya setara denganmu.
Agar aku bisa merasa layak untuk berada di sisimu.
Jawaban ini… apa tandanya ia akan menungguku? Apa ia membalas perasaanku? Aku masih terpaku menatap layar laptopku, mencerna kata demi kata, tapi tetap saja membingungkanku. Akhirnya, kuputuskan untuk mengulang inti dari pertanyaanku.
Jd, apa kau benar-benar akan menungguku?
Enter.
Tak lama kemudian, Ran kembali memberi respon.
Cepatlah selesaikan kuliahmu! Kau pasti takjub melihat gedung phinisi
yg mnjd ikon baru di kota kita^-^
Dan jawaban dari pertanyaanmu, akan kau dapatkan setelah kembali ke Makassar :p
Akhirnya kutemukan arti dari bahagia yang selama ini kucari. Buah dari perasaan aneh yang selama bertahun-tahun menggerogoti hatiku. Sejak pertama, gadis berlesung pipi itu memang selalu membuatku bergelut dengan rasa penasaran, membuat otakku berpikir keras.
Makassar… tunggulah kehadiranku.
*********************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar