ANNISA
Created by :@Ashbar_Prasetya
Aku
berlari menyusuri koridor fakultas pendidikan lalu naik ke lantai dua. Hanya
satu dua orang mahasiswa yang kujumpai di koridor, selebihnya sunyi senyap. Aku
terus berjalan sampai ke ujung koridor dan tepat di depan pintu bernomor C 208,
kuhela napas panjang. Kucoba mengatur napas lalu membuka pintu dengan pelan
tapi suara pintu membuat Nakagawa Sensei dan semua temanku menoleh. Nakagawa
Sensei memberiku lembar soal berikut lembar jawabannya. Sialan! Tempat pensilku
ketinggalan, mau ngisi pakai apa? Kulirik orang di bangku sebelah. Tiba-tiba
jantungku berdegup keras. Haruskah aku meminjam pada Annisa? Huh, kuhembuskan
napas yang terasa mengganjal di dadaku.
"Annisa
san, pensiru kashite kureru?" tanyaku nekad. Kulihat Annisa agak
terkejut dan tanpa bicara apa-apa dia mengeluarkan pensilnya dan menyerahkannya
padaku.
"Segera
kerjakan!" suara Nakagawa Sensei yang lewat di sampingku membuyarkan lamunanku.
"Temanya
apa?" kembali aku bertanya pada Annisa yang tengah asyik mengarang. Cewek
serba tertutup tapi sebenarnya cantik itu mendongakkan kepalanya. Seperti
biasanya dia menjawab tanpa memandangku.
"Pilih
salah satu dari tema sakubun yang pernah dibuat."
"Arigato,"
kataku berterima kasih.
"Kim
san, dodattano?"
tanya Huong, kawan Vietnamku, ketika aku
sudah duluan.
"Hampir
semuanya bisa," jawabku pendek sembari mencari sosok Annisa di antara para
mahasiswa yang berjalan di koridor ini.
"Hei,
Kim san, cari siapa sih?" Taniya menarik tanganku, sebelah tangannya lagi
mengambil pensil yang kupegang.
"Sepertinya
pensil ini sering kupinjam. Punyanya Annisa kan?"
"Dia
masih marah?" Huong berbisik di telingaku. Aku tersenyum kecut dan
mengangguk.
"Wajar sih, memang kita yang salah. Kalau
mau cari dia paling-paling di ruang komputer lagi ng-email atau... kita makan
slang dulu yuk?" ajak Huong sambil menarik tanganku. Kuikuti saja mereka
ke Shokudo yang antrinya bikin laparku jadi hilang.
ËËË
Awalnya
aku mendapat kesan Annisa itu pendiam, dingin, dan tak suka bergaul. Tapi itu
kebalikannya. Dia begitu ramah, pandai bergaul, dan wajahnya selalu berseri.
Oho! Penutup kepalanya pun selalu berwarna-warni sesuai dengan baju yang
dikenakannya. Pantas dilihatnya, sampai-sampai Hasegawa Sensei selalu memujinya. la
sering mengajaknya ngobrol sebelum pelajaran dimulai. Katanya Annisa selalu
tampak cantik dan berseri, meskipun bangun pagi-pagi sekali. Apa? Pukul
setengah lima pagi? Dengan musim yang sedingin ini? Mana mungkin? Tapi akhirnya
aku percaya juga setelah dia mengatakan bahwa dia harus salat dan sahur karena
esok harinya puasa. Lagi-lagi ada yang ganjil. Puasa? Apa tidak mati? Semuanya
tak bisa kuterima dengan akal sehat. Kenapa harus menyiksa diri? Harus
salatlah, puasalah, tidak makan daginglah, dan mungkin ada yang lebih gila
lagi. Agama macam apa itu? Baru kusadari dan aku beruntung dengan keadaanku
yang tidak beragama kalau beragama itu justru hidup penuh dengan aturan? Hidup
harus dinikmati. Agama gila! Kasihan sekali Annisa.
Fuyu
tahun ini buruk sekali. Tapi bagiku ini
hal yang biasa karena Korea bisa lebih dingin dari ini. Tapi tetap saja aku
kedinginan. Waktu pertama kali salju turun, kulihat orang yang paling bahagia
adalah Annisa dan Huong. Katanya baru kali inilah mereka melihat salju dan bisa
merasakan dinginnya. Tapi kalau kulihat pakaian Annisa sepertinya dia tak akan
kedinginan. Telinganya akan selalu hangat begitu juga dengan kakinya yang
selalu terbungkus kaus kaki. Bagaimana dengan musim panas? Bisa-bisa dia mati
kepanasan atau mungkin dia akan berubah penampilan.
Suatu
hari kutanyakan rambutnya pada Huong karena aku tahu dia yang paling dekat
dengannya. Tapi Huong cuma menggeleng mengatakan, "Wakaranai."
"Katanya
sih, aku boleh melihatnya kalau aku juga Muslim. Padahal kan aku penasaran
sekali ingin melihat rambutnya. Masa sih rambut saja tidak boleh dilihat. Lagi pula
kita kan cewek. Aku sama Taniya sempat kesal sekali. Oh ya, Yanti, kawannya Annisa,
pernah bilang bahwa Annisa lebih cantik tidak pakai kerudung. Rambutnya lurus,
hitam, dan tebal."
"Aku
tahu," potongku cepat. "Lho kok?" si Huong kebingungan. "Dia
memang cantik. Dan aku bisa bayangkan rambutnya bagus sekali." Huong
tertawa ngakak. Aku celingukan. "Doshite."
"Kamu
suka Annisa kan?" Gantian aku yang bengong. "Kim san, kalau kamu mau
dia, harus masuk Islam dulu." Aku bergidik. Islam?
Akhirnya
aku akui kalau selama ini aku memendam perasaan khusus pada Annisa. Itu
kukatakan pada Huong untuk menyampaikannya pada Annisa. Selama pelajaran
Hashimoto Sensei, kuperhatikan reaksi Annisa. Tetap seperti biasanya. Kutunggu
Huong di samping gedung fakultas sastra tempat kami biasa memarkir sepeda.
Kulihat Huong berjalan ke arahku.
"Bagaimana?"
tanyaku tak sabar.
"Dia
cuma senyum saja, tidak menjawab apa-apa."
"Masa
sih?"
"Mana
mungkin aku bohong. Aku sih dukung saja kalau kamu suka Annisa. Dia kan baik,
sabar, dan suka bantu kawan. Tapi apa kamu sanggup masuk Islam?"
"Kalau
pacaran saja kan tidak perlu masuk Islam. Nanti kalau mau jadi suaminya."
"Kamu
mau jadi suaminya?" mata si Huong terbelalak. Kusimpan kunci dan tas di keranjang
depan sepeda.
"Aku
sangat mencintainya, Huong. Kadang aku ingin menikah dengannya tapi kenapa
syaratnya harus seberat itu? Mana ada yang mau?"
"Terus
kalau pacaran kamu mau apa?"
Kukeluarkan
sepeda dari deretan sepeda lainnya, begitu juga dengan Huong. Kami ngobrol
sambil mengayuh sepeda menuju arah barat ke apartemen kami.
"Kim
san, pikirkan lagi saja. jangankan untuk tidur bersama, disentuh tangannya saja
dia tidak mau."
"Memangnya
ada yang mau menyentuh dia?"
"Bukan
begitu. Waktu kita pulang dari Hiroshima Castle, tanpa sengaja Mayumi memegang
tangan Annisa. Tsumetai sekali katanya. Terus si Tobishima penasaran ingin
pegang telapak tangannya, tapi Annisa menarik tangannya dan minta maaf. Aneh
kan?"
Sebegini
keraskah cewek Indonesia bernama Annisa ini? Mungkinkah dia tak tertarik pada
lawan jenis? Ah, tidak mungkin! Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalaku.
Nekat
juga aku akhirnya. Kira-kira pukul sembilan malam kutekan bel kamar Annisa di
lantai enam. Dia keluar dengan dandanan seperti biasanya. Kutunggu dia
mempersilakanku masuk, tapi kata-kata itu tak keluar juga dari bibirnya.
"Ada
apa, Kim san?"
"Tidak
ada apa-apa. Aku hanya ingin ngobrol. Boleh kan?"
"Boleh,
tapi aku sekarang sedang sibuk."
"Sibuk
kenapa?"
"Aku
sedang membalas email dari kawanku di Indonesia."
"Okey,
kamu menulis surat dari, kawan akan menunggumu sambil nonton. Boleh kan?"
Annisa
diam cukup lama. Dari balik pintu yang terbuka kulihat kamarnya rapi sekali.
"Maaf,
Kim san, aku tak biasa memasukkan laki-laki ke dalam kamar. "Meskipun dia
ayahmu?"
"Tentu
tidak." "Jadi apa bedanya?"
"Sudahlah,
Kim san, kamu tidak akan mengerti dan aku pun tak bisa menjelaskannya dalam
bahasa Jepang juga bahasa Inggris." "Jelaskanlah sebisamu, aku akan mendengarnya."
Annisa
menggelengkan kepalanya. "Tidak sekarang." "Karena aku tak boleh
masuk baiklah, kita jalan-jalan sambil minuman hangat. Bagaimana?"
"Tidak
bisa,"
"Kenapa?"
"Ini
sudah malam dan..."
"Dan
kenapa? Annisa, aku tak pernah bisa memahamimu. Kadang aku bingung, kamu
berbeda dengan yang lainnya. Kawan-kawanku orang Turki, Uzbekistan, Maroko
bahkan orang Indonesia pun mereka tidak berjilbab dan mereka bebas bergaul
dengan laki-laki. Mereka pergi dansa, pesta, dan tidur bersama dengan pacarnya.
Kenapa..."
"Sudahlah,
Kim san, aku tak ingin berdebat denganmu."
"Aku
tak ingin menyulitkanmu, Annisa. Justru karena aku mencintaimu aku mengatakan
apa adanya. Aku tahu kamu baik dan ramah pada siapa pun, tapi mengapa ada
hal-hal tertentu yang tidak pernah bisa kami mengerti. Tentang pergaulanmu
dengan lawan jenis, tentang rambutmu yang tidak boleh kamu perlihatkan,
dan..."
"Aku
sudah jelaskan semuanya pada Huong, Taniya, Park, In, dan Ou."
"Tapi
aku belum mengerti Annisa."
"Tanyakan
pada mereka. Maafkan aku, aku akan melanjutkan pekerjaanku."
"Okey,
sebenarnya aku datang,kemari hanya untuk mendengar jawabanmu."
Annisa
menatap lurus pintu kamar diseberang lalu menunduk dan berkata.
Kamu pernah dengar kriteria suami yang kuinginkan?”
“Ya”
“Lalu
kamu bisa?”
Aku
menatapnya lekat – lekat. Annisa membuang pandangannya. “Tidak. Aku belum
berpikir untuk menikah, hanya ingin mengenalmu lebih dekat.”
Annisa
tersenyum sini. “Maksudmu pacaran? Aku tidak tertarik dengan itu. Maaf, selamat
malam.”
Aku
masih berdiri meski Annisa telah menutup pintu kamarnya di lantai sepuluh.
Ujian
akhir tinggal seminggu lagi. Malam ini Taniya mengajakku belajar bersama.
Kusanggupi, apalagi Annisa akan datang.
Kira
– kira pukul 07.30 Annisa datang. Dia agak terkejut melihatku. Kami pun mulai
belajar. Aku mulai menerangkan perbedaan ichio dan tortaezu, gachi dan gimi
serta kata – kata yang hampir mempunyai arti yang sama. Kukedipkan mata pada
Huong dan Taniya. Kedua pergelangan tangan Annisa dipegang cewek Rusia dan
Vietnam itu. Pensil jatuh dari pegangannya. Dia meronta dan memohon sedang
kakinya menendangku. Kupegang kedua kaki itu dan secepat kilat kutarik kain
yang selalu menutupi kepalanya. Kinii aku bisa melihat wajah itu dengan jelas
tanpa pembungkus. Rambutnya hitam dan tebal.
"Kawaii...,"
desisku kagum.
"Cantik
sekali kamu, Annisa. Lebih baik kamu nggak dijilbab," timpal Taniya.
Sedang
Huong menatap nanar melihat Annisa menangis. Cewek yang kucintai ini melepaskan
tangannya dan mengambil kerudungnya lalu memakai sekenanya dan berlari keluar
dari kamar Taniya.
ËËË
Sejak
saat itu Annisa masih padaku dan juga kedua kawannya itu. Dua hari setelah
kejadian itu dia absen kuliah. Kami menekan bel kamarnya, meneleponnya, tapi
tak ada jawaban. Hatiku gelisah. Ada rasa sesal, tapi aku bahagia dapat melihat
sebentuk wajah tanpa penutup yang selama ini kuimpikan. Cintaku padanya semakin
besar, bahkan aku bertekad untuk menikahinya. Tapi setiap kali ingat Islam, aku
mencoba menepis semua keinginan itu. Entahlah, ada kekuatan apa yang membawaku
ke perpustakaan kampus dan apartemen di lantai dua untuk mencari buku-buku
tentang Islam. Beruntung aku menemukannya. Buku perbandingan tentang Budha,
Shinto, Kristen, dan Islam yang ditulis oleh Morioka. Kuhabiskan waktuku untuk
membaca buku, apalagi ujian akhir telah selesai. Bulan September ini masa studiku
berakhir, begitu pula dengan teman-temanku, setelah kubaca dan kupahami; aku
mendapat kesimpulan: yang paling ekstrem adalah Islam. Kini aku tahu kenapa Annisa tak membolehkanku masuk ke kamarnya. Aku bukan mahramnya.
Pergaulan dalam Islam begitu terjaga. Zina merupakan dosa besar. Tapi kenapa
harus dilarang? Bukankah itu kebutuhan semua manusia? Dalam buku yang lain, aku
tahu syarat menjadi Muslim dan bagaimana hakikat Tuhan dalam Islam. Mudah
sekali untuk masuk Islam. Ucapkan saja syahadat. Beres!
Aku
bergegas ke apartemennya Mustafa, kenalanku orang Maroko, Dia Muslim dan aku
mengenalnya sewaktu ada pesta di Hotel Century 21. Perkenalan kami berlanjut Kami
sering minum bersama di bar milik Yamada. Mungkin darinya aku akan tahu lebih
banyak tentang Islam.
"Sulit
sekali, Kim san, Annisa bukan sembarang wanita. Dia taat terhadap agamanya tapi
terus terang aku tidak begitu menyukai sikapnya. Terlalu alim, sulit dijangkau.
sikapnya malah membuat orang di luar Islam takut terhadap Islam. Menurutku,
bergaul dengan lawan jenis, pengangan tangan, kiss, berduaan, dan main
di kamar lawan jenis kita boleh. Kamu lihat saja Si Laura yang orang Turki itu,
dia juga kan Muslim tapi dia tidak dijilbab dan bergaul dengan laki-laki. Yang
seperti dia aku suka."
Kuhela
napasku. Aku juga berharap Annisa akan berubah, tapi sejak kami bertemu sampai
sekarang tak sedikit pun dia tergoyahkan.
"Kalo
boleh kusarankan, lupakan saja dia dan cari cewek lain. Gampang kan?"
Kujambak
rambutku sendiri. Pikiranku kalut. Tak semudah itu aku melupakannya.
"Aku
mengerti, berat sekali melupakan dia tapi it's
real. Kamu harus mencobanya."
"Tak
adakah cara lain?" Mustafa meneguk birnya. "Kalo kamu benar-benar
ingin menikah dengannya, ya bilang saja kamu mau masuk Islam."
"Tapi..."
kerongkonganku serasa tercekat. Kuteguk birku lalu kulanjutkan, "Aku tak
mau berurusan dengan segala macam rutinitas dalam Islam."
"What
do you mean?"
"Seperti
salat, puasa, tidak minum, tidak makan daging babi, main Cewek. Itu berat,
Mus."
Mustafa
tergelak. Dia berdiri membuka tirai jendela kamarnya. Udara bulan Agustus papas
sekali. Kulepaskan tiga kancing bajuku dan Mustafa mulai menghidupkan senfuki.
"Kim,
Kim, coba lihat aku. Aku ini Muslin tapi tidak salat, tak puasa, minum bir, dan
bermain cewek. Orang tetap mengatakan aku Muslim. Mengapa kamu tidak? Kamu
berpura-pura saja masuk Islam, setelah menikahinya kamu sebagai suami bebas
memperlakukan dan memerintah istrimu. Wanita Islam itu taat sekali pada
suaminya. Percayalah, aku tahu itu.
Sulit
sekali kupejamkan mata. Kata-kata Mustafa masih terngiang. Aku seolah
mendapatkan jalan terang. Yah, aku bertekad menikahinya, masuk Islam dan
setelah itu urusanku. Aku bisa menyuruhnya menanggalkan jilbabnya dan
menggantinya dengan pakaian modern, mengajaknya ke tempat dansa dan minum bir
supaya dia tahu nikmatnya hidup ini. Aku ingin dia bebas tak terkekang dengan
agama yang tak masuk akal ini.
Aku
menuju kamar Annisa, tapi dibel berkali-kali dia tak keluar. Aku datangi kamar
Taniya. Ternyata Annisa pergi ke Nagoya menghadiri pernikahan kawannya yang
menikah dengan orang Jepang. Ada kemenangan dan peluang emas bagiku. Menikah
dengan orang Jepang artinya orang itu sebelumnya bukan Muslim berarti aku pun
ada kesempatan. Dua minggu menunggunya terasa lama sekali. Dari kabar yang kudapatkan,
sekarang Annisa berada di Osaka di tempat kawan Indonesianya.
Ketika
aku keluar ruangan profesorku dan saat aku melangkah ke ruang komputer, kulihat
Annisa baru saja keluar dari kantor pembimbingnya, Kaneda Sensei. Dia sudah
kembali! Aku mengejarnya dan menyejajarii langkahnya. Annisa menoleh tanpa
menyapaku.
"Annisa,
aku ingin bicara."
"Bicaralah."
"Tapi
ini penting. Mari kita duduk di bangku itu," kataku sambil menunjuk bangku
di taman samping gedung kuliahku.
"Bicaralah
sekarang, Kim San. Aku akan segera memaketkan barang ke kantor pos."
"Kalau
begitu aku antar."
"Tidak,
terima kasih. Bicaralah."
Mengapa
dia masih marah padaku? Tidak bisakah dia memaafkanku?
"Aku
minta maaf atas kejadian waktu itu."
Annisa
membuang muka.
"Aku
tak habis pikir kenapa kamu tak bisa memaafkanku? Baiklah, aku ingin katakan
padamu, aku ingin masuk Islam." Di luar dugaanku, Annisa memandangku tak
percaya kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Aku
ingin menikah denganmu. Aku akan jadi Muslim, salat, puasa, dan melakukan semua
yang kamu lakukan. Aku sungguh-sungguh, Annisa."
Kutunggu
reaksi Annisa. Cewek cantik berkerudung biru langit itu tak bereaksi apa pun.
"Kiiterukai?"
Kulihat
Annisa menggigit bibirnya. "Terima kasih atas perhatianmu padaku.
Kuhargai
ketulusanmu tapi sayang aku tak bisa menerima keinginanmu untuk menikah
denganku."
"Nande?" aku terkejut dan menatap matanya tajam.
"Aku
sudah dilamar dan sepulang dari sini kami akan segera menikah. Maafkan aku. Aku
yakin kau akan mendapatkan wanita yang baik bagimu."
Kucengkeram
pergelangan tangan kirinya, dia meronta. Aku benar-benar tersinggung dengan
jawabannya. Mataku melotot tapi tiba-tiba dia menamparku keras sekali. Dia
berlari meninggalkanku. Kukepalkan tanganku dan kupukulkan ke dinding itu keras
sekali. Tanpa kusadari aku menangis.
Aku
benci sekali wanita itu, aku ingin menghancurkan hidupnya. Yah, aku tak ingin
dia jadi milik orang lain, dia harus kumiliki. Aku akan minta bantuan Mustafa
menyusun rencana. Mustafa sanggup. Kami buat rencana untuk menguncinya saat dia
salat maghrib di ruang C 207. Hari Jumat ada kuliah budaya dari Ishikawa Sensei
dan akan berakhir pada pukul 06. 30 sore. Menurut Mustafa, dia pasti akan salat
di ruangan itu karena jika pulang ke apartemennya memakan waktu cukup lama. Dan
itulah kesempatan untuk mendapatkannya.
Tapi
dasar sial, sejak dimulainya kuliah tambahan ini, aku tak menemukannya. Iseng
kutanya Christina. Oh tidak! Tidak mungkin! Mengapa secepat ini dia pulang ke
negerinya? Mengapa aku selalu sial untuk mendapatkannya.
Catatan:
Sensei: guru, sakubun:
mengarang, arigato:
terima kasih, dodattano: bagaimana, san: nona, tuan, pensiru kashite kureru: bisa meminjamkan pensil, shokudo: kantin sekolah, fuyu:
musim dingin, wakaranai: tidak
tahu, doshite/nande: kenapa, tsumetai: dingin, senfuki: kipas angin.
Nita Setiawati